Setelah ujian akhir selesai, perkerjaan dosen adalah memberi nilai akhir. Nilai akhir mata kuliah sudah lazim hanya 5 kemungkinan saja, yaitu A, B, C, D, dan E. Nilai E sudah pasti tidak lulus, nilai D bisa lulus bisa tidak (di ITB, untuk S1, nilai-nilai tahap sarjana tidak boleh D, dengan kata lain D = tidak lulus). Nilai huruf ini biasanya diekivalenkan dengan nilai numerik sehingga kita dapat menghitung indeks prestasi (IP dan IPK) mahasiswa. Dengan sistem A = 4, maka nilai numerik setiap indeks tersebut adalah:
A = 4
B = 3
C = 2
D = 1
E = 0
Saya termasuk tipe dosen yang selalu mengumumkan seluruh komponen nilai setiap mahasiswa(UTS, UAS, tugas, dll), tidak hanya indeks nilai akhir berupa A, B, C, D, dan E saja. Rumus nilai akhir juga saya umumkan agar mahasiswa bisa menghitung sendiri nilai akhirnya. Sejak beberapa tahun yang lalu saya tidak lagi mengumumkan batas-batas nilai akhir untuk memperoleh nilai indeks. Pengalaman saya, jika batas-batas nilai akhir diumumkan, maka selalu saja ada mahasiswa dengan nilai-nilai di “perbatasan” datang menghadap untuk memohon “kebijaksanaan” agar diberi tugas khusus supaya nilainya bisa naik. Tetapi, semua permintaan itu saya tolak, sebab tidak memenuhi rasa keadilan. Temannya yang lain yang juga mempunyai nilai di perbatasan tentu harus diberi perlakuan yang sama. Jika hal ini diteruskan maka timbullah kerancuan sampai sejauh mana sebuah nilai disebut terletak di perbatasan? Akhirnya, yang namanya perbatasan itu menjadi fuzzy.
Misalnya begini, umpamakan saya membuat aturan bahwa mahasiswa mendapat nilai B jika nilai akhirnya antara 71 sampai 81. Nah, seorang mahasiswa dengan nilai 70,9 – yang tentu saja mendapat C dengan aturan ini – datang menemui saya meminta bagaimana caranya agar nilainya bisa dinaikkan 0.1 lagi supaya bisa memperoleh B, misalnya diberi tugas tambahan dan sebagainya. Jika permohonannya saya kabulkan, maka mahasiswa lain dengan nilai 70,6 misalnya juga menuntut agar diberi tugas tambahan supaya nilainya bisa naik menjadi B. Akhirnya hal ini merembet ke mahasiswa-mahaisswa lain yang mempunyai nilai akhir di bawah 70,6, sehingga nilai perbatasan itu menjadi kabur karena tidak jelas hingga sejauh berapa disebut perbatasan.
Bagaimana solusinya? Saya punya usul agar indeks nilai akhir dibuat lebih variatif untuk mengakomodasi kasus-kasus di atas. Maksud saya, variasi indeks nilai akhir tidak hanya 5 macam, tetapi bisa lebih. Misalnya sistem 7-nilai sebagai berikut (berikut ekivalensi nilai numeriknya):
A = 4
B+ = 3,5
B- = 3,0
C+ = 2,5
C- = 2,0
D = 1
E = 0
Jadi, dalam menentukan nilai akhir kita dapat membuat ketentuan nilai sebagai berikut:
Nilai akhir > 81 ==> indeks nilai = A
Nilai akhir: 75,5 s/d 81 ==> indeks nilai = B+
Nilai akhir: 71 s/d 75,5 ==> indeks nilai = B-
Nilai akhir: 65,5 s/d 71 ==> indeks nilai = C+
Nilai akhir: 55,5 s/d 65,5 ==> indeks nilai = C-
Nilai akhir: 45,5 s/d 55,5 ==> indeks nilai = D
Nilai akhir kurang dari 45,5 ==> indeks nilai = E
(dahulu, nilai B+ sering dijuluki “B gemuk”, B- dengan “B kurus”, dan seterusnya)
Tentu saja solusi itu tidak seluruhnya menjawab persoalan, sebab masih menyisakan masalah bagi nilai-nilai di perbatasan, tetapi setidaknya solusi ini masih lebih baik ketimbang hanya 5 jenis indeks nilai seperti sebelumnya. Tentu saja sistem 7-nilai di atas tidak dimaksudkan hanya untuk mengatasi nilai-nilai di perbatasan, tetapi untuk mempersempit jarak satu nilai dengan nilai lainnya sehingga bisa memetakan nilai mahasiswa secara lebih proporsional.
Setahu saya, Program Pasca Sarjana di UGM dan beberapa universitas di Malaysia sudah lama menggunakan sistem 7-nilai ini. Apakah ITB mau menerapkan sistem nilai seperti ini? Tentu harus dipertimbangkan dulu baik dan buruknya sebelum menggantikan sistem 5-nilai yang sudah biasa digunakan selama ini.
Kamu setuju dengan sistem nilai yang baru ini?
Saya sangat setuju pak, namun ada hal lebih dahulu yang harus dilakukan untuk permasalahan nilai ini, yaitu mengenai standarisasi yang jelas terhadap penilaian dari semua dosen. Saya sering mengalami ada beberapa dosen di IF yang masih kurang adil dalam menentukan kebijakan nilai, seperti yang tiba-tiba mengambil nilai Tugas sebagai komponen utama sehingga menjadi porsi yang lebih besar daripada UTS, ataupun UAS. Dan ini menurut saya lebih memperihatinkan keadaannya. Banyak anak-anak IF sering berdiskusi dengan saya tentang permasalahan ini, dan sepertinya prodi IF belum mengadakan evaluasi. Mungkin Pak Rinaldi bisa membantu…
Kebijakan perubahan komposisi nilai memang merupakan hak prerogratif dosen. Seleksi komposisi nilai bisa dilakukan berdasarkan komponen mana yang memiliki skew positif terbesar, artinya komponen tersebut mahasiswa benar-benar terseleksi, mana yang pantas dapat nilai bagus dan mana yang nilainya biasa-biasa saja.
Dan memang nilai tugas seharusnya mendapat porsi besar, sebab tugas bisa diberikan di sepanjang semester. Nilai didapat dari perjuangan mahasiswa selama 1 semester, bukan cuma 2 hari UTS dan UAS saja. Dan yang paling menggambarkan ini adalah tugas.
Hm, saya setuju pak. Lebih adil. Btw, saya boleh dibilang sering mendapatkan keuntungan nilai-nilai kurus, beberapa kali A kurus, kadang-kadang B kurus, C kurus juga pernah. Dan itu saya ngerasa kadang-kadang nggak enak sama teman yang kerjanya jauh lebih keras tapi dapetnya sama seperti saya.
Menurut saya, di balik simbol/nilai2 tersebut, yang jauh lebih penting adalah: ILMUNYA DAPAT TIDAK? Percuma dapet nilai A tapi kalo ditanya g tau/ilmunya kosong. Kecuali kalau niatnya cuman dapet kertas transkrip bertaburan nilai A buat ambil S2/S3, ato cari kerja yg syaratnya IPK > 3,5. Nilai itu penting, tapi ketahuilah, di dunia luar/nyata, ilmu dan penerapannya (jam terbang) yang jauh lebih penting.
Oya, kalau teman2 mahasiswa IF ITB calon sajrana niatnya pengen S2/S3, silakan cari nilai A sebanyak mungkin. Atau kalau pengen masuk perusahaan BUMN/Swasta bonafid yg mensyaratkan IPK tinggi, silakan juga cari nilai A banyak2. Tapi setahu saya, perusahaan2 IT g terlalu lihat IPK, yang mereka lihat adalah skill dan kemampuan kerja. Apalagi kalau mau wiraswasta, Anda g butuh transkrip 😀 .
Sekali lagi, nilai bagus harus ditunjang juga dengan ilmunya, kalo nggak sama saja Anda menipu diri sendiri.
saya setuju pak,untuk apa nilai A,kalau ilmunya gak nyangkut,,,,,,,,di otak
nilai kan ukuran ilmu. kalo pembelajarannya adil apakah bisa dibilang yang dapat nilai C lebih berilmu dari yang dapat nilai A? nah kenapa bisa dapat A tapi ilmunya kosong?
nah doktrin yang anda katakan itu doktrin menyesatkan. dulu saya kuliah banyak senior bilang yang penting skill, ipk tinggi malah susah masuk kerja. eh kenyataannya? banyak sekarang perusahaan IT besar mensyaratkan ipk diatas 3,5. gimana mau menunjukkan skill kita kalo seleksi administrasi kita sudah gak lolos. harusnya di doktrin cari nilai A sebanyak mungkin, biar mudah dikemudian hari (mudah cari kerja, mudah melanjutin kuliah). gimana biar orang ngejar nilai A? ya yang pastinya belajar. kalo belajar pasti skill dan ilmunya dapet kan?
STOP bilang ke mahasiswa baru yang penting Skill dibanding IPK. Kuliah harus dapetin nilai A sebanyak mungkin. caranya? ya belajar…. pastinya kalo kayak gini, skill dapet ipk dapet.
Di Universitas Harvard saja 50% lebih mahasiswanya memiliki GPA 3,5 ke atas. Karena ortu-ortu mahasiswa pada protes ke profesor-profesor di Univ Harvard jika anak-anaknya gagal dalam seleksi administrasi di perusahaan karena GPA nya rendah, karena mereka sudah membayar SPP milyaran rupiah buat kuliah di Univ Harvard. Toh lulusan-lulusan Univ Harvard tetap berkualitas. http://www.thecrimson.com/article/2013/12/3/grade-inflation-mode-a/
ITB sok-sokan pelit nilai dan menghancurkan impian mahasiswa-mahasiswanya untuk mendapatkan beasiswa atau melanjutkan kuliah pascasarjana di luar negeri dengan mengobral nilai C dan D. Bangga ya dosen-dosen ITB mengobral nilai C dan D, supaya mereka merasa lebih pinter dari mahasiswa2nya?
Kalau mau lulusan ITB berkualitas, perbaiki kualitas mengajar dosennya jangan malah pelit nilai, dosen jangan hanya curhat sama papan tulis, harus lebih interaktif sama mahasiswanya. Lihat video2 perkuliahan dari universitas top Amerika seperti MIT di Youtube, dosen2nya mampu menumbuhkan minat belajar dan keingintahuan mahasiswanya. Dosen yang gak bisa mengajar lebih baik kerjanya difokuskan di riset dan penelitian saja, jangan pernah mengajar mahasiswa lagi.
Sistem 7 nilai? Setuju Pak. Di RWTH-Aachen, malah bukan hanya 7 nilai tapi berbagai nilai ^^, yaitu 1.0, 1.3, 1.7, 2.0, 2.3, 2.7, 3.0, 3.3, 3.7, 4.0, 4.3, dan 5.0 (tidak lulus). Dan dengan variasi nilai yang lebih banyak, kalau anak ITB mau kuliah di sini, IPK yang diakui oleh RWTH-Aachen mungkin bisa naik dan kemungkinan diterima jadi mahasiswanya jauh lebih besar.
@budiono: Hmm…soal kebijakan nilai yang berbeda-beda, itu memang bisa dimengerti. Ada kuliah yang lebih baik jika nilai diambil dari nilai tugas, ada yang dari ujian (terutama jika ujian akhir). Namun, jika nilai akhir diambil tanpa kejelasan bagaimana perhitungannya itu yang runyam dan perlu dipersoalkan..
Kenapa tidak semua nilai jadi basis-100 saja. Nanti yang 0-20 -> tidak lulus, 20-40 -> pas … 80-100 -> sangat baik, eh… jadi balik ke A B C D E yah 😛
@Budiono: tidak ada (atau belum ada) standardisasi penilaian di kalangan dosen IF, suka-suka saja, karena dosen diberi otoritas terhadap mata kuliah yang diampunya (meluluskan, tidak meluluskan, menentukan rumus penilaian, dll). Coba kalau IF nanti mau ikut standard ABET, pasti gak boleh begitu. Sekarang di STEI giliran EL dulu yang dinilai oleh komisi ABET.
Kalau di UI, bukannya lebih banyak lagi ya variasinya? Kalo ga salah ada A, A-, B+, B, B-, C+, C, dst… 4, 3.7, 3.3, 3, 2.7, 2.3, 2, dst… Kalo ga salah…
DI UNDIP variasi nilainya mirip dengan usulan Pak Rin. A, AB, B, BC, C, D, E.
Mungkin lebih mudah bagi mahasiswa dalam mendapat nilai ‘bagus’. Akan tetapi pertimbangan pemberian nilai jadi lebih rumit. Saya sempat mengalami kesulitan dalam membedakan nilai untuk mahasiswa yang sangat mahir (A ataukah AB), mahasiswa mahir (AB ataukah B), mahasiswa yang agak mahir (B ataukah BC), dengan mahasiswa biasa (C).
OOT, Saya teringat dulu di ITB pernah dapat 79,9 (B yang sangat gemuk) di kuliah Pak OS dan saya pasrah. hehe
Pak Rinaldi, pengindeksan nilai di sini (JKU Linz, Austria) mirip dengan di ITB, tapi pakai angka: 1 (sangat baik) – 5 (sangat buruk). Cara mengindeks nilai dari 0-100 ke 5-1 kelihatannya bervariasi tergantung dosennya.
Dulu saat di ITB saya menggabung antara pengindeksan dengan batas yang tegas dengan selisih nilai-nilai yang ada. Diusahakan agar selisih nilai, misalnya antara A kurus dan B gemuk sebesar mungkin. Misalnya kita patok dasar >81 untuk nilai A. Ternyata kita temukan nilai-nilai (terturut)… 78 80 80.5 81 81…. Jadinya saya ambil >80 sebagai nilai A. Tapi penurunan/penaikan standar nilai tsb juga diusahakan tdk terlalu ekstrim.
BTW, saya jadi terpikir mengapa tidak menggunakan standard clustering algortihm. Bisa jadi salah satu topik TA, tuh. 🙂
@Saiful: salam buat keluarga di sana. Saya juga memakai cara yang sama denganmu, urutkan nilai dari besar ke kecil, lalu cari dimana terjadi gap nilai yang besar, itulah batas untuk sebuah nilai.
Ide bagus, saya malah belum terpikir. Tapi agak sulit diterapkan di kampus yang sudah mematok batas nilai standar.
sebenarnya saya kurang setuju pak dengan pemetaan ke a, b, c dst karena menurut saya tidak adil terhadap mahasiswa yang berusaha lebih baik. contoh, saya pernah mendapat nilai a untuk fisika dasar dengan nilai akhir hanya 76 saja, kan tidak adil dengan teman saya yang mendapat nilai akhir 98. sebenarnya, apa sih pak tujuan nilai dipetakan menjadi a, b, c ini?
ITS juga…
ada
A
AB
B
BC
C
D
E
aneh juga tapi ideal… 🙂
Amat sangat setuju.
Setuju ama qbel!!!
Iyah, harusnya nilai itu apa adanya…
Jadi ya kalo nilainya 90, tulis aja 90, kalo 87, yah 87…
Kalo ke-IPK-in-nya, mungkin gak begitu susah juga…
Misal, bagi dengan 25 (jadi yang 100 dapet IPK 4)… Misal sih…
Saya setuju dengan perubahan tersebut.
Seharusnya sih nilai apa adanya seperti yang disebut @Zakka. Karena variasi nilai cuma ada 5 sehingga ketika dipecah dari nilai sebenarnya jadi tidak mencerminkan kualitas aslinya. Analoginya sama seperti sampling (digitize) lagu dengan 8kHz dengan 16kHz akan berbeda kualitas –> Maaf Pak jadi OOT.
Pengennya nilainya kayak jaman SD aja: ada 10,9,8,6,7,5,4,3,2,1,0
Setuju..secara logika dengan sistem itu makin banyak kecil rentang nilai dalam suatu frekuensi nilai
Jangkauan Nilai = 100 (0-100)
Klo sistem ABCDE (cuman lima kelas), perbedaan antara tertinggi dan terendah bisa jauh banget
Dengan sistem (tujuh kelas), nilai rentangan tiap kelas nilai makin kecil
maka makin banyak frekuensi kelas, makin banyak yang terakomodasi kepentingannya, sedangkan masalah konversi ke IPK nggak akan ada masalah dengan berapa banyak kelas nilai yang terbentuk.
Masalahnya apakah hal ini dapat diterapkan? penentuan sistem ini mau tidak mau harus dalam skup universitas (ITB) karena mata kuliah suatu prodi dapat diikuti oleh mahasiswa prodi lainnya.
hhhh
pak kayak jaman SD aja 1-10. Persis kayak di TU Delft… heheh jadi berasa kalo dpt jelek :p
Saya cenderung setuju dengan penilaian dari 0-10 (atau 0-100). Rentang itu lebih apa adanya. Toh, nilai yang didapat mahasiswa cuma sebagai pemanis tambahan dalam menghadapi dunia kerja. Saya sendiri berpandangan, jika saya berada pada posisi pemberi nilai, saya akan lebih menitik beratkan pada tugas (tugas dalam hal karya nyata). Karena karya nyata lebih mengena daripada teori.
Ada dosen saya yg suka nya menaruh dendam pada mahasiswa nya. padahal sebetulny kesalahan ada pada dosen sy itu. saya dan teman-teman saya sebagai mahasiswa, hanya ingin menagih hak sbg mahasiswa (karna dosen yg tidak pernah masuk dan memberikan materi kuliah, lalu tiba-tiba diadakan ujian). setelah itu beliau dendam akhirnya semua mahasiswa yg mengajukan protes nya diberikan nilai D. Adil kah itu menurut Anda jika anda sbg dosen???!!!
Saya malah sebaliknya. Ada mahasiswa yang jarang masuk, tugas ga pernah kerjain, ujian jelek, saya kasih E, nagih supaya dapet C, atau kalau bisa di atasnya.
Ga perlu komplein. Langsung saja ikut kuliah taun depan, usahakan ambil dosen berbeda.
cara nilai disttharapan medan sama tapi kalo dapat nilai d naik pa gak utk mahasiswa harapan ???
@saiful : ASALAMIALAIKUM , PAK SAYA boleh nanya gmana kalau nilainya A-,B+, DAN B-
BERAPA ipk nya pak maksh wasalam
1585 Mahasiswa di Negeri Seribu Warung Kopi Says thank you for this great read!! I definitely enjoying every little bit of it I have you bookmarked to check out new stuff you post
3442 Kebaya Modern Says thank you for this great read!! I definitely enjoying every little bit of it I have you bookmarked to check out new stuff you post
hhhmmm…..
Bagaiaman seandainya mahasiswa mendapatkan bobot akhir 75,5 or 65,5 or 55,5 apakah ia mendapatkan nilai B+ or B- or C+ or C+ etc
wah..jadi kangen jaman2 kuliah, pak Rin 🙂
Assalamualaikum
maaf pak rinaldi saya mahasiswa UAD yg lagi meneliti tentang masalah penilaian tersebut .
kalo boleh saya mau minta jurnal fuzzy yang berkaitan dengan masalah tersebut
kalo boleh loooh pak + CP nya pak buat tanya tanya 🙂
terima kasih sebelumnya
MAAF PAK DOSEN YANG BAIK HATI, SAYA MAHASISWA UT MEMINTA KALAU BISA NILAI D TOLONG DINAIKKAN KE NILAI C.
Bisa, ulangi lagi kuliah di tahun depannya, belajarlah lebih keras lagi
kalo tb 0111 apa tu mas ? bingung
Di kampus saya penilaian ada 10 tingkat, yaitu:
A
A-
AB
B+
B
B-
BC
C+
C
D
E
Jadi tidak ada mahasiswa yang merasa dirugikan
Saya ingin bertanya pak..semester ini saya mendapat masalah mengenai nilai saya.
Pada smster 5 yng lalu ada 3sks mata kuliah yng saya ikuti.dan ternyata saya tidak dpt ikut UAS dikarenakan absen saya sudah melebili 30% ketidakhadiran.akan tetapi dosen mata kuliah tsb mengeluarkan nilai B+ kpd saya.ternyata setelah smstr 8 ini itu mnjadi permasalahan.dosen tsb membatalkan nilai itu dan memberi TL.dan pada akhirnya saya tidak dapat wisuda tahun ini.saya harus mengulang mata kuliah tsb dismster 9.saya sudah bertanya kepada rektor bagian akademik dikampus saya,tetapi belum ada kepastian.saya ingin bertanya pak..apakah tindakan dosen tsb sudah benar?dan bagaimana sbenarnya kekuatan nilai yng sudah dikeluarkan oleh dosen?trimakasi pak.
Dosen tersebut sudah lalai dalam memberikan nilai, tapi beliau merevisi kelalaiannya. Sebaiknya Anda ambil lagi kuliah tersebut, dan buktikan bahwa Anda berhak untuk mendapat nilai A dengan usaha keras Anda, bukan cuma B+.
Pak saya mau bertanya kalau nilai salah satu matkul TPB dapet D tapi IP >2 apakah matkul tersebut bisa diulang di tingkat 2? Makasih
Masih bisa, tapi beresiko. Jika ternyata menjadi E maka anda terpaksa D.O dari ITB karena TPB max 2 tahun.
saya mau tanya apakah nilai c satu saja berpengaruh tidak sama mata kuliah lain lalu apakah dosen bersangkutan menyuruh mahasiswanya ngulang tahun depan
The only way to achieve happiness is to cherish what you have and forget what you don’t have