Pagi tadi saya duduk di depan rumah setelah menikmati sarapan. Seorang mamang lewat berjalan kaki membawa dagangan dari bambu. Ada tangga, ada sapu panjang, dan penjolok buah-buahan. Sungguh tidak tega melihat dia membawa barang dagangan yang berat itu di bahunya. Saya membayangkan betapa berat sekali beban dagangan yang dipikul di pundaknya. Saya saja satu tangga pun tidak sanggup memikulnya, apalagi sepuluh buah. Dia berkeliling kampung memikul barang dagangan yang berat itu dengan berjalan kaki.
Mamang penjual tangga bambu itu berasal dari Cicalengka, tepatnya di daerah Curug Cinulang, yaitu daerah wisata yang terkenal dengan air terjunnya. Dari Cicalengka dia naik mobil elf membawa barang dagangannya dengan mobil elf (elf adalah sebutan orang Bandung untuk mobil angkutan umum berukuran kecil). Barang dagangan ditaruh di atap mobil elf, ongkos naik elf ke Bandung Rp7.500. Barang dagangan yang di atap mobil elf dihitung sebagai satu penumpang, jadi dia harus membayar Rp15.000 seluruhnya.
Di terminal Cicaheum dia turun, kemudian berjalan kaki menyusuri jalan-jalan pemukiman di Bandung Timur menawarkan dagangannya. Jika tidak habis sehari, dia tidak akan pulang-pulang ke kampungnya di Cicalengka dan menginap di mana saja bersama dagangannya. Satu hari bisa saja tidak laku satu buah pun. Barang dagangan itu biasanya baru habis dua hingga empat hari, barulah setelah habis dia pulang kembali ke Cicalengka.
Saya membeli sapu panjangnya satu buah, harganya Rp35.000. Kalau tangga bambu harganya Rp60.000. Sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan sapu itu, saya membelinya karena tidak tega saja melihatnya. Menurut si mamang, seluruh dagangannya itu tidak dibuatnya sendiri, tetapi diambil dari perajin di Cicalengka. Untuk setiap sapu yang dia jual dia hanya mendapat keuntungan sekitar Rp5.000. Jika seluruh barang dagangannya habis, maka keuntungannya tidak sampai 100 ribu rupiah, diluar biaya makan dan lain-lain. Seratus ribu rupiah untuk berkelana selama empat hari. Saya sungguh terharu mendengarnya. Seorang asisten pelatihan di sebuah workshop saja bisa mendapatkan minimal Rp50.000/jam, sementara untuk si mamang mendapatkan Rp50.000 perlu waktu berhari-hari berjalan kaki.
Mamang yang tidak tamat SD itu mempunyai dua orang anak. Anak pertamanya yang gadis sudah dinikahkan ketika berumur 16 tahun. Di kampung-kampung anak perawan dinikahkan pada usia demikian muda untuk meringankan beban orangtuanya. Satu orang anak lainnya masih sekolah di SD. Istri si mamang tidak bekerja, jadi dialah yang menjadi tiang keluarga. Dialah yang menjadi tumpuan hidup keluarganya. Di rumah anak istrinya tentu menanti kepulangannya menunggu rezeki si bapak yang tidak banyak itu. Entah kapan dia pulang, entah hari itu, atau dua hari lagi.
Barakollah untuk rezeki yang tidak seberapa itu, Mang.
Hmppp semoga selalu dikuatkan bapak penjual itu dan semoga rezekinya berlimpah, bapak saya juga sama halnya seperti itu, beliau bukan orang yang mengecam pendidikan tinggi hampir sama bahkan sd saja tidak lulus tapi dengan keja kerasnya yg luar biasa beliau mampu mengubah hidupnya dan membuat anak-anaknya merasakan bangku kuliah.
subhanallah, saya benar-benar terharu membacanya. Saya sering melihat para pedagang yang seperti itu. Saya sama sperti mas Budi, setiap kali melihat pedagang demikian suka ingin membeli semua, andai saya mampu.
Setidaknya dia tidak menjadi pengemis ya pak.
Reblogged this on viscaive and commented:
kerennn
keren brooww mamang nya semoga saja di brikan rizky yang berlimpah buat mamang.
amin..
http://galanganbambu.blogspot.co.id/2012/11/tangga-bambu.html
Mamang is the best
Mamang is the best