Masa kuliah tingkat sarjana semakin pendek saja. PERMENDIKBUD No 49 tahun 2014 yang terbaru menyebutkan batas maksimal waktu studi kuliah tingkat sarjana (S1) adalah lima tahun. Itu artinya mahasiswa tidak boleh berlama-lama di kampus. Lewat lima tahun artinya D.O alias drop out.
Dulu waktu saya kuliah di ITB tahun 1985, waktu studi maksimal adalah 7,5 tahun. Lama ya? Ya jelas, karena jumlah SKS S1 saat itu 160 SKS (9 semester). Tahun 1990-an batas waktu studi berubah lagi menjadi 7 tahun karena jumlah SKS berkurang menjadi 144 (8 semester). Sejak tahun 2004 batas waktu studi di ITB makin berkurang lagi menjadi maksimal 6 tahun (namun tetap 144 SKS), dan sekarang dengan Permendikbud yang baru itu ITB masih mengkaji pemberlakuan masa studi maksimal 5 tahun.
Saya membayangkan, jika batas studi maksimal 5 tahun diberlakukan, akan banyak konsekuensi yang muncul. Kuliah maksimal 5 tahun itu bagus-bagus saja dari sisi hardskill motivasi mahasiswa, sebab mendorong mahasiswa agar cepat menyelesaikan studi, fokus selalu kuliah dan belajar, jangan sampai mengulang mata kuliah karena tidak lulus, cepat menyelesaikan TA, dsb.
Namun sepertinya akan ada hal yang dikorbankan atau hilang yaitu semarak kehidupan kemahasiswaan. Mahasiswa mungkin enggan untuk ikut berorganisasi atau berkegiatan ekstrakurikuler di kampus karena dianggap menyita waktu. Unit-unit kegiatan mahasiswa yang selama ini membuat kampus ITB tetap hidup siang dan malam (bahkan pada hari-hari libur sekalipun) mungkin akan kehilangan gairah karena mahasiswa berpikir panjang untuk menghabiskan waktunya di unit-unit.
Padahal -menurut saya- justru aktivitas kemahasiswaan diluar perkuliahan itulah yang menjadi sarana pendidikan softskill mahasiswa. Pendidikan tidak hanya di dalam ruang-ruang kuliah, di lab-lab, atau di ruang perpustakaan, namun pendidikan juga ada di luar ruang-ruang akademis. Saya meyakini tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter manusia, dan sarana pembentukan karakter itu lebih banyak diperoleh dari aktivitas berorganisasi dalam kegiatan ekstrakurikuler maupun aktivitas kemahasiswaan lainnya yang menjalin interaksi dan komunikasi, baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Jika mahasiswa hanya memikirkan urusan kuliah saja (karena batas waktu studi yang semakin pendek saja) dan enggan terlibat atau melibatkan diri dengan kegiatan kemahasiswaan, maka kelak mereka akan menjadi sarjana tukang yang baik yang tidak boleh salah, yang menurut dan nunut dengan perintah atasan, serta tidak mencoba mencari jalan yang lebih baik karena daya kritisnya tumpul. Pengalaman para pendahulu menunjukkan bahwa kesuksesan dalam karir dan pekerjaan lebih banyak ditentukan dari keaktifan berorganisasi selama kuliah di kampus.
Baiklah, mungkin pendapat saya di atas mewakili pandangan pesimistis saja terhadap kebijakan batas waktu studi maksimal lima tahun. Boleh jadi efeknya terhadap kehidupan kemahasiswaan tidak seburuk yang dibayangkan apabila dunia kemahasiswaan dapat beradaptasi dengan kebijakan tersebut. Misalnya saja dengan membuat kegiatan dan kaderisasi yang padat, mangkus dan sangkil. Pada dasarnya manusia itu cepat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Semoga saja demikian nantinya.
Saya setuju, pendidikan tidak hanya didapat dari bangku kuliah saja. Dengan masa study maks 5 tahun, sepertinya akan sulit bagi mahasiswa. Apalagi Fakultas Teknik, Kedokteran, MIPA etc yang rata-rata ditempuh dalam waktu 5-7 tahun… (*pengalaman pribadi :D)
Malah sekarang ada juga wacana SKS untuk S2 sebanyak 75 SKS yang harus ditempuh dalam waktu 2 tahun. Terbayang dalam 1 semester harus mengambil min 24 SKS agar ketika TA bisa sedikit longgar
S1 di Indonesia memang kelamaan Pak. 5 tahun juga masih lama untuk tingkat Bachelor. Di LN rata2 bachelor 3 tahun saja, dan kualitasnya jauh lebih bagus dari Indonesia tuh. Yg gak perlu dimasukkan ke kurikulum di Indonesia. TPB adalah masa buang2 waktu saja.
Benar Pak, saya setuju. Saya juga melihat dari sisi lain. Semakin muda anak yang kini masuk, katakanlah, ITB. Jika ia masuk pada umur 18 tahun -ada yang 17- dia “dipaksa” lulus pada umur 22 tahun. Jika ia ingin mengembangkan diri di kampus dengan berbagai kegiatan, dia hanya sedikit menikmatinya. Saya ingin ITB melihat dan memperhitungkan “waktu” kuliah dengan lebih komprehensif.
Menurut saya pak, sudah bagus sistem yang 6 tahun skrg. Jadi, hal ini memberi kesempatan kepada mahasiswa yang memang ingin cepat lulus (mencintai akademik) maupun mahasiswa yang senang mengembangkan softskillnya dengan berorganisasi, yg mengakibatkan dia lulus di atas 5 tahun.
Menurut saya, tidak ada yang salah dengan sistem yang sekarang. Bagaimana menurt bapak/ibu?
ada baiknya ada buruknya juga tergantung yang menjalani…….
Lebih baik sistem seperti di UK, 3 tahun Bachelor, setahun master dan 3 tahun Doktor. 7 tahun sudah doktor. Kalau di Indonesia 6-7 tahun baru S1. Wasting time.
Organisasi dipelajari di perusahaan atau dunia bisnis ! dengan real money dan real people terlibat, bukan mahasiswa-mahasiswa sok tau yang belum pernah punya asam garam di dunia nyata !
Belajar organisasi di kampus itu hanya masturbasi mental saja. Samasekali tidak ada gunanya. Kampus itu untuk belajar teori. titik. Selesaikan teori secepat mungkin dan berkaryalah di dunia nyata, bukan berkutat di menara gading kampus yang jauh dari dunia nyata.
Aktivis-aktivis kampus adalah pecundang-pecundang di dunia nyata. Dan ini saya buktikan terus menerus, hampir semua aktivis kampus yang dulu saya kenal sekarang hanya menjadi pecundang.
Bisa dicoba diterapkan tapi kualitas pengajar dan fasilitasnya juga diperbaiki. Di Universitas Harvard juga 90% mahasiswanya lulus tepat waktu dengan IPK rata-rata mahasiswanya 3,6 tapi kegiatan organisasi disana juga tetap berjalan baik.
Dari pengalaman saya banyak dosen ITB yang kurang pandai mentransfer ilmunya kepada mahasiswa.
Saya juga sedan pusing kalau memikirkan waktu kuliah. Sudah semester 10 teknik elektro masih banyak sks belum selesai. Mk wajib tdk setiap semester ada, jadi begitu ngga lulus harus nunggu satu semester kosong baru bisa ambil. Jadinya serba nervous…
Semakin cepat lulus, semakin banyak sarjana pengangguran. Harus ada langkah kongkrit dari pemerintah untuk membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Jangan bandingkan sama harvard ataupun oxford yang kualitas pendidikannya jauh lebih tinggi dari kita dan tentu saja mereka mampu dan mau untuk lulus cepat. Wong jumlah pengangguran di Inggris cuma 1,8 Juta orang, Banding sama di indonesia yang mencapai 7,24 juta orang. Sekolah itu penting, supaya kita tau bahwa sekolah itu tidak penting. Banyak hal yang harus kita pelajari diluar akademik. Pengalaman, Life skill, kemampuan berorganisasi, yang tidak bisa kita dapatkan dari kuliah. Jadi, ayo mbolos kuliah. Urip rak mung sekedar nyatet karo garap tugas dosen. Boleh main tapi jangan sampai ganggu kuliahmu, Boleh kuliah tapi jangan sampe ganggu mainmu. Jelajahi duniamu, tambah pengalamanmu, pelajari hidup.
Pandangan anda terhadap permasalahan ini sangat bagus…. ☺ dan sya sangat setuju…
Saya sebagai mahasiswa seni sangat prihatin dengan nasip sahabat2 saya yg keseharianY berkarya dan melukis juga bereksperimen d sela waktu kuliah sehingga kuliah mreka menjadi lebih lama dri mhasiswa yg lain…. Kalau masa studi 5 tahun, mungkin tidak ada lagi mahasiswa seni yg gondrong….
SC di aula timur udah ngga ada lagi ya pak?
Nongkrong di SC rata2 lulus 6-7 tahun, hehehe…
Ping balik: Pengaruh Eksternal terhadap kepuasan mahasiswa (Manajemen Bisnis) - aditiaabdurachman's blog