Tidak Ikut “Mengucapkan Selamat Natal”, Semoga Bisa Dipahami

Menjelang tanggal 25 Desember tiba (Hari Natal), atmosfer perdebatan boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal kembali mengemuka di media massa dan media sosial. Perdebatan usang yang selalu diulang-ulang setiap tahun. Padahal saudara-saudara kita kaum kristiani tidak pernah mempersoalkan umat Islam yang tidak mengucapkan selamat Natal kepada mereka, sama seperti kita yang tidak pernah mempermasalahkan teman-teman kita kaum kristiani yang tidak mengucapkan selamat Idul Fitri kepada kita. Ah, kita saja, terutama media, yang selalu reseh mempersoalkan boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal.

Di dalam Islam sendiri duduk perkara masalah ini sudah jelas dan sudah selesai, yaitu ada dua pendapat ulama terkait mengucapkan selamat Natal kepada saudara kita umat kristini. Pendapat pertama membolehkan, pendapat kedua mengharamkan. Semua pendapat memiliki dasar dan alasan masing-masing. Tinggal kita meyakini pendapat mana yang diikuti, mau mengucapkan Natal silakan, tidak mengucapkan Natal juga silakan. Semua pilihan memiliki konsekuensi hukum masing-masing yang ditanggung oleh masing-masing individu di akhirat kelak.

Pendapat yang mengharamkan sudah diwakili oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengatakan bahwa mengucapkan selamat Natal berarti secara tidak langsung mengakui kelahiran Isa Al-Masih sebagai anak Tuhan. Di dalam Islam dan Kristen kedudukan Isa sangat berbeda, dan ini adalah masalah akidah yang sangat fundamental. Isa dalam keyakinan Islam hanyalah seorang nabi yang membawa wahyu dari Allah, sedangkan dalam keyakinan Kristen Isa (Yesus) adalah anak-Nya yang Tunggal, atau Isa sendiri adalah Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu saya kira wajar jika para ulama di dalam MUI mengingatkan ummat untuk berhati-hati dalam masalah ini, supaya tidak tergelincir ke dalam kemusyrikan. Para ulama memiliki tanggung jawab moral dalam membimbing ummat, dan itulah tugas ulama untuk mengawal akidah ummat.

Adapun pendapat yang membolehkan dikemukakan oleh beberapa ulama dan tokoh Islam, seperti Quraish Shihah, Syafiie Maarif (dari Muhammadiyah), beberapa tokoh NU, dan sebagainya. Alasan yang dikemukakan beragam, mulai dari yang beranggapan bahwa mengucapkan selamat Natal sama seperti mengucapkan selamat pagi, jadi Selamat Natal adalah ucapan basa-basi kepada teman-teman dan saudara kita yang merayakan Natal. Alasan yang lain adalah mengucapkan Natal saja tanpa diikuti dengan keyakinan bahwa Isa adalah anak Tuhan maka tidak apa-apa.

Nah, silakan anda memilih sikap yang mana. Yang tidak mau mengucapkan selamat Natal jangan dituding anti pluralis, intoleran, atau sejenisnya. Begitu juga sebaliknya, yang ikut mengucapkan selamat Natal jangan langsung dituduh kafir. Keduanya adalah pilihan masing-masing. Kalau saya sendiri lebih memilih mengikuti fatwa MUI saja, karena MUI adalah representasi dari seluruh ulama di tanah air, maka fatwanya mengikat secara pribadi bagi yang meyakini. Bagi saya ulama itu adalah sami’na wa ata’na, yaitu saya dengar dan saya taati. Bagi yang tidak meyakini fatwa ulama ya tidak apa-apa, kembali kepada iman kita masing-masing.

Teman-teman dan mahasiswa saya banyak yang beragama Kristen/Katolik. Hubungan saya dengan mereka baik-baik saja, bahkan saya sudah bertahun-tahun membantu pembimbingan Tugas Akhir mahasiswa sebuah perguruan tinggi Katolik, dan semester depan saya akan mengajar mata kuliah di sebuah perguruan tinggi Kristen. Menurut saya teman-teman Kristen/Katolik saya itu adalah orang-orang yang sangat baik. Mereka tidak pernah menghidangkan saya makanan yang tidak halal, bahkan mereka sering menanyakan apakah saya mau sholat dulu dan mau sholat di mana. Sebatas hal itu muamalah, yaitu hubungan dengan sesama manusia, maka tidak ada larangan kita berbuat baik kepada sesama manusia apapun agama dan suku bangsanya. Alangkah indahnya pertemanan itu meskipun kita berbeda keyakinan. Hanya ketika sudah menyangkut akidah atau hablun minnallah, atau hubungan dengan Allah/Tuhan, maka disanalah kita harus tegas dan berbeda.

Teman-teman kristiani saya yang baik itu sering mengirim ucapan selamat Idul Fitri setiap hari lebaran (tidak semua sih, tetapi sebagian saja, dan seperti sebagian kita orang Islam yang tidak mengucapkan selamat Natal kepada mereka, sebagian mereka pun tidak pernah mengucapkan selamat Idul Fitri kepada saya, tetapi saya tidak pernah mempermasalahkannya). Bahkan, ada yang mengirimkan selamat memasuki bulan suci Ramadhan dan selamat Idul Adha ketika lebaran haji tiba. Saya begitu terharu dengan perhatian itu. Namun saya tidak dapat membalas perhatian yang sama dengan memberikan ucapan selamat Natal ketika bulan Desember tiba, karena saya memilih mengikuti pendapat ulama yang tidak membolehkan. Alhamdulillah, teman-teman kristiani saya itu tidak pernah mempermasalahkannya. Buktinya kami sampai saat ini baik-baik saja dan tetap berteman akrab. Apakah mereka tahu alasan saya atau tidak, wallahu alam, mudah-mudahan saja mereka bisa mengerti.

Hanya ketika memasuki tahun baru masehi barulah saya mengirimkan ucapan selamat tahun baru kepada teman-teman saya itu, karena tahun baru adalah tahun kita semua dan tidak ada hubungannya dengan kelahiran nabi/anak Tuhan. Penanggalan di negara kita menggunakan dua sistem, yaitu sistem matahari (tahun masehi) dan sistem bulan (tahun hijriyah). Keduanya kita pakai baik di dalam urusan ibadah maupun di dalam kehidupan sehari-hari.

Lalu, ketika Natal tiba apakah saya berdiam saja tanpa mengucapkan perkataan tentang Natal kepada teman-teman kristiani saya itu? Oh, sama sekali tidak. Saya sering say hello kepada teman saya dengan bertanya “bagaimana suasana Natalnya? meriah nggak?” atau “nanti malam kebaktian Natal di mana?” atau “merayakan Natal di mana?” atau “sudah beli pohon terang apa belum?”, dan sebagainya. Nah, hal itu sudah merupakan bentuk perhatian tanpa ikut-ikutan mengorbankan akidah.

Menurut saya meskipun kita tidak ikut mengucapkan selamat Natal bukan berarti kita tidak bertoleransi. Toleransi yang sesungguhnya adalah dengan tidak mengganggu saudara-saudara kita yang beribadah merayakan Natal, serta ikut menciptakan suasana tenang, aman, dan damai kepada mereka yang beribadah. Dan sebenarnya toleransi semacam ini sudah berlangsung sejak dulu, bukan?

Semoga teman-teman saya yang membaca tulisan saya ini dapat lebih memahami pilihan saya. Jika ada yang mengecam saya karena pilihan saya ini, ya tidak apa-apa, saya terima dengan lapang dada. Kita masih tetap bersaudara, sebangsa dan setanah air, seperti ungkapan orang-orang di Indonesia Timur yang sangat terkenal: torang samua basudara, kita semua bersaudara.

Pos ini dipublikasikan di Agama, Indonesiaku. Tandai permalink.

13 Balasan ke Tidak Ikut “Mengucapkan Selamat Natal”, Semoga Bisa Dipahami

  1. Iwan Yuliyanto berkata:

    Saya sependapat dengan Pak Rinaldi. Saya juga lebih memilih mengikuti fatwa MUI, karena MUI adalah representasi dari seluruh ulama di tanah air, maka fatwanya mengikat secara pribadi bagi yang meyakini. Ya sami’na wa ata’na saja. Nyatanya berpuluh-puluh tahun lamanya, kawan-kawan saya yg Kristen & Katolik tidak mempermasalahkannya.

    Betul sekali, pada saat hari Natal, toleransi yang sesungguhnya adalah dengan tidak mengganggu saudara-saudara kita yang beribadah merayakan Natal, serta ikut memberikan suasana tenang, aman, dan damai kepada mereka.

  2. darsonogentawangi berkata:

    Yupz, akhir2 ini di medsos memang bnyk yang bersilang pendapat perihal ucapan selamat hari natal…
    Ternyata para ulama kita pun berbeda pendapat…
    So, sbg manusia yg cetek perihal mslh agama, terutama keislaman, saya ikut yang mana ya ?
    Mau ikut MUI atau Ikut pendapat ulama yg lain ya ?
    Ah, menurut kata hati saya saja ah…. Semoga hati saya tidak musyrik…
    🙂

  3. Ario berkata:

    Saya kebetulan adalah salah seorang yg sependapat dgn kebanyakan ulama2x NU dan Pak Syafii Maarif, bagi saya mengucapkan Selamat Natal boleh2x saja, tapi saya juga menghargai pendapat Pak Rinaldi dan teman2x yg berpendapat mengucapkan Selamat Natal itu haram.

    Yang saya sesalkan adalah mreka2x yg menuduh orang2x spt saya adalah kafir, sesat dan sebagainya, juga buat mreka2x yg berusaha membesar2xkan, menghasut orang2x muslim lainnya utk mengikuti keinginan mereka.

    Juga dalam men-share pendapat kalian, hendaklah dengan menggunakan cara yang baik, sopan dan tidak melukai perasaan teman2x kita yg Nasrani, mungkin bisa di-contoh cara Pak Rinaldi di atas dalam men-share pendapat pribadi beliau.

  4. Jumadi berkata:

    Ijin share ya, Pak..

  5. Mohamad Fachrur Ridwan berkata:

    Assalamu’alaykum pak rinaldi, mohon izin untuk share ya pak 🙂
    Terima kasih, wassalamu’alaykum

  6. pemikirulung berkata:

    akhir2 ini saya merasa yang banyak ga toleran ke muslim justru sesama muslim sendiri. terkait dengan natal ini yang paling banyak. seperti yang pak rinaldi bilang, yang mengucap selamat natal dianggap kafir, dan yang gamau mengucap dianggap tidak toleran, oleh sesama muslim. padahal ini ikhtilaf ulama

    yang saya baca sih, majelis ulama Eropa yang membolehkan, itu karena di sana Islam minoritas. berhubung saya di Indonesia, mui bilang haram, ya sudah ikut

  7. sri hartono berkata:

    hai orang kafir,aku tak akan menyembah yang kamu sembah,dan kamu bukan menyembah TUHAN yg aku sembah, dan aku tidak akan menyembah yg kamu sembah dan kamu tidak akan PERNAH PULA menjadi penyembah TUHAN yg aku sembah. UNTUKMU AGAMAMU UNTUKKU AGAMAKU

  8. ayufialfarisi berkata:

    Ijin share pak 🙂

  9. Najmia berkata:

    ijin share ya Pak…

  10. Abu Khayra berkata:

    Pak Rinaldi, sedikit koreksi mengenai Tahun Baru Masehi. Acara Tahun Baru merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi yang mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun. (G Capdeville “Les épithetes cultuels de Janus” inMélanges de l’école française de Rome (Antiquité), hal. 399-400). Fakta ini menyimpulkan bahwa perayaan tahun baru sama sekali tidak berasal dari budaya kaum muslimin. Pesta tahun baru masehi, pertama kali dirayakan orang kafir, yang notabene masyarakat Paganis (penyembah berhala) Romawi. Acara ini terus dirayakan oleh masyarakat modern dewasa ini, walaupun mereka tidak mengetahui spirit ibadah Pagan adalah latar belakang diadakannya acara ini. Mereka menyemarakkan hari ini dengan berbagai macam permainan, menikmati indahnya langit dengan tiupan terompet, semarak cahaya kembang api, dsb. Padahal terompet merupakan alat syiar kaum Yahudi dan api merupakan berhala kaum Majusi.

  11. Ubah Hari Natal dengan Hari Kemerdekaan Israel. Saya yakin banyak Muslim yang semangat mengucapkan selamat Natal akan ragu atau menolak mengucapkan selamat Hari Kemerdekaan Israel.

    Jaman sekarang, urusan politik jauh lebih penting daripada aqidah.

Tinggalkan Balasan ke Ario Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.