Ketika terbang dengan pesawat Sriwijaya Air dari Tanjungpandan (di Pulau Belitung) ke Jakarta beberapa waktu yang lalu, saya menemukan pemandangan langka. Surprise! Baru kali ini saya menemukan pramugari pesawat domestik memakai busana muslimah berupa kerudung atau jilbab, dan pramugari itu ada di pesawat Sriwijaya Air yang sedang saya naiki.

Pramugari Sriwijaya Air yang memakai jilbab
Kenapa saya sebut surprise, karena selama ini belum pernah ada pramugari di dalam pesawat memakai jilbab. Menjadi pramugari tampaknya tertutup bagi wanita yang menggunakan busana muslimah. Iklan lowongan kerja pramugari secara eksplisit mensyaratkan si pelamar harus tampil menarik, cantik, dan enak dipandang, dan secara implisit tentu tidak boleh menggunakan kerudung atau jilbab. Foto si pelamar harus memperlihatkan pose setengah badan dan pose penuh untuk memperlihatkan kecantikan dan proporsional tubuhnya.
Oh ya, tadi saya sebut belum pernah ada pramugari di dalam pesawat memakai jilbab, namun ada beberapa pengecualian. Pramugari yang melayani penerbangan haji atau umrah umumnya menggunakan kerudung, tetapi pramugari tersebut menggunakannya hanya selama penerbangan haji/umrah saja, setelah itu mereka tampil seperti biasa (tanpa jilbab) pada penerbangan lainnya.
Nah, pramugari Sriwijaya Air yang ini tampaknya memang sehari-harinya memakai jilbab, dan dia tetap berjilbab ketika melaksanakan tugasnya di dalam pesawat. Dari nametag-nya saya mengetahui nama pramugari itu adalah Kiki Seftika. Dia tampak begitu cekatan dan ramah melayani penumpang pesawat.

Kiki Seftika sedang menutup kabin penumpang
Jilbab yang digunakannya sama sekali tidak menghalanginya untuk menjalankan tugasnya di atas pesawat, tidak ada bedanya dengan pramugari lain yang kebetulan tidak berkerudung. Dia mondar-mandir di dalam pesawat sambil memastikan semua penumpang sudah memasang sabuk keselamatan, memperagakan pemakaian alat keselamatan, dan melayani penjualan barang (inflight shop).

Kiki Seftika sedang melayani penumpang
Saya mengapresiasi manajemen dan pemilik maskapai Sriwijaya Air yang menerima pramugari berjilbab. Rasa salut saya buat mereka karena berani melawan arus. Mereka bersikap terbuka terhadap wanita berjilbab yang ingin menjadi pramugari. Menurut pandangan saya, yang dinilai dari seorang pramugari adalah kemampuannya melaksanakan tugas melayani penumpang, bukan memakai jilbab atau tidak. Busana pramugari asalkan sopan tidak masalah, yang penting profesionalitasnya dalam menjalankan tugasnya selama di atas pesawat.
Keberadaan pramugari yang memakai busana muslimah di dalam pesawat menurut saya adalah pilihan yang baik dan bijak karena berkaitan dengan rasa nyaman. Penumpang pesawat dari kalangan yang bermacam-macam status sosial, kepercayaan, dan kebiasaan. Ada penumpang yang merasa nyaman jika dilayani pramugari berjilbab, ada penumpang yang risih jika dilayani pramugari dengan pakaian ketat, sebaliknya ada juga yang senang dilayani pramugari yang berbusana biasa saja. Ibarat supermarket, penumpang diberikan banyak pilihan, mana yang menurut anda nyaman saja.
Dalam beberapa kasus, perempuan yang berbusana muslimah seringkali mengalami diskriminasi karena pakaiannya. Ia ditolak bekerja karena berjilbab. Saya masih ingat kasus seorang penyiar televisi bernama Sandrina Malakiano. Dia adalah penyiar cemerlang di sebuah stasiun televisi berita ternama (anda pasti tahu nama televisinya). Namanya identik dengan nama stasiun televisi tempatnya bekerja. Ketika dia memutuskan berjilbab, stasiun televisi tersebut tidak lagi membolehkan dia menjadi host atau pembaca berita. Dia diberi tempat di belakang layar saja, yang secara halus artinya ‘menghukumnya’ karena berjilbab. Sampai akhirnya Sandrina keluar dari televisi tersebut, dia ditolak menjadi penyiar karena jilbabnya, padahal dia adalah penyiar yang cerdas dan piawai. Sikap islamophobia yang ditunjukkan televisi berita tersebut sungguh tidak layak terjadi di negeri ini, apalagi mayoritas penduduk Indonesia beragama Isla. Syukurlah saat ini di beberapa stasiun televisi lain sudah dibolehkan penyiar televisi berhijab menutup aurat.
Kembali ke pramugari berjilbab tadi. Mudah-mudahan keberadaannya di maskapai Sriwijaya Air terus dipertahankan. Mudah-mudahan semakin banyak maskapai yang menerima pramugari yang berjilbab. Mudah-mudahan semakin banyak perusahaan yang berhubungan dengan publik seperti media, hotel, pariwisata, dan lain-lain yang tidak melarang pegawainya memakai busana muslimah. Tidak hanya membolehkan busana yang menutup aurat, tetapi juga membolehkan pramugarinya beribadah seperti menunaikan sholat di sela-sela tugasnya di atas pesawat seperti kisah pramugari Garuda ini. Jazakallah.
Wah keren nih, anti mainstream!
bagus banget ini, saya juga belup pernah ketemu pramugari yg berjilbab
Di NAM Air yang anak perusahaan Sriwijaya juga pramugarinya berjilbab dan cantik-cantik. Iya, saya jadi salut sama maskapai satu ini karena lebih terbuka menerima karyawan. Semoga bisa diikuti maskapai lainnya.
Alhamdulillah… pernah berkeinginan tpi blm kecapaian juga..
nice info pak Dosen..sebuah terobosan besar di dunia penerbangan,.semoga kebaikan2 seperti ini bisa ditiru baik oleh maskapai lain#berharap
Ia ditolak bekerja karena berjilbab. Saya masih ingat kasus seorang penyiar televisi bernama Sandrina Malakiano. Dia adalah penyiar cemerlang di sebuah stasiun televisi berita ternama (anda pasti tahu nama televisinya). Namanya identik dengan nama stasiun televisi tempatnya bekerja. Ketika dia memutuskan berjilbab, stasiun televisi tersebut tidak lagi membolehkan dia menjadi host atau pembaca berita. Dia diberi tempat di belakang layar saja, yang secara halus artinya ‘menghukumnya’ karena berjilbab” Kutipan tulisan ini benar juga, tapi kalau kita melihat siapa Pemred, mungkin penulis maklum dan banyak tulisan-tulisan di medsos dari karyawan di televisi terkait yang mengeluh tentang aktivitas Islam di sana