Sore hari menjelang waktu buka puasa, lalu lintas menuju kawasan perumahan di Antapani sangat padat. Semua pengendara berpacu agar duluan sampai ke rumah. Berbuka puasa bersama keluarga tentu momen yang selalu dinantikan. Jam-jam rush hour adalah saat sore ketika pulang kantor, yaitu ketika secara bersamaan orang-orang pulang ke rumah. Ruas jalan sempit di samping Jembatan Pelangi Antapani itu disesaki mobil dan motor. Ruas jalan itu tersendat dan sulit bergerak. Semua pengendara tidak mau mengalah, tidak mau antri.
Pengendara motor yang tidak sabaran akhirnya menjajal trotoar yang diperuntukkan bagi pejalan kaki. Satu memberi contoh, lalu diikuti oleh pengendara yang laindi belakangnya.
Tanpa merasa bersalah, pengendara motor – yang pasti orang berpendidikan- melaju di atas trotoar. Memang tidak ada pejalan kaki saat itu. Tapi, melaju di atas trotoar tetap saja salah, bukan?
Pemandangan seperti ini, pada saat lalu lintas padat, sering kita temui di mana-mana. Di bawah ini foto bersumberkan dari Antara. Ceritanya masih sama, pemotor yang tidak sabaran dan maunya menang sendiri.

Pemgendara motor yang tidak sabaran (Sumber foto: Antara)
Beberapa tahun yang lalu pernah ada berita yang menjadi viral di media sosial tentang bocah kecil bernama Daffa yang berani menghadang pengendara motor di atas trotoar. Hebatnya lagi, bocah kecil itu tidak takut dibentak pengendara motor. Dia ingin menunjukkan keyakinannya bahwa berkendaraan di atas trotoar itu salah.

Daffa menghadang pengendara motor di atas trotoar (Sumber foto: Tribunnews.com)
Tapi, viralnya berita tentang Daffa tidak mampu mengubah perilaku pengendara motor. Dengan berlalunya waktu, orang pun melupakan kisah Daffa, pemotor yang menaiki trotoar pun mulai marak lagi.
Kasus pemotor yang menaiki trotoar adalah salah satu contoh bahwa pendidikan katakter di negara kita belum berhasil. Contoh lainnya adalah budaya antri yang belum menjadi perilaku bangsa kita, orang-orang yang membuang sampah makanan dari atas mobil, merokok di sembarang tempat, meludah sembarangan, dan sebagainya.
Boleh saya katakan bahwa pendidikan di negara kita baru sebatas knowing, belum sampai menjadi doing. Murid-murid memang diajarkan agar jangan membuang sampah di sembarang tempat, tapi itu baru sebatas pengetahuan saja. Dalam kesehariannya masih banyak anak-anak bahkan orang dewasa dengan cuek membuang bungkus kemasan makanan dari dalam mobil di atas jalan tol. Makan kacang rebus memang asyik, tapi kulitnya berserakan di atas tanah. Makan permen itu simpel, tapi bungkusnya dibuang ke lantai.
Menyeberanglah di atas zebra cross atau di atas jembatan, tapi orang-orang tetap saja seenaknya menyeberang jalan di mana saja dia suka. Naiklah bus dari halte, tapi orang-orang malas pergi ke halte, mereka menyetop bus atau angkot dari posisi berdirinya sekarang. Supir-supir bus pun menuruti permintaan penumpang yang minta turun di mana saja yang diinginkan penumpang.
Antrilah masuk ke dalam pesawat, tapi orang-orang secara bergerombol berusaha duluan masuk melalui gate tempat pemeriksaan boarding pass. Kenapa mereka tidak mau antri dengan tertib, bukankah nanti semua penumpang akan masuk juga ke dalam pesawat, semuanya sudah mendapat nomor kursi, apa lagi yang dikhawatirkan?
Antrilah naik ke atas kereta, tapi orang-orang berebut naik dan turun kereta. Mungkin untuk kereta commuter yang karcisnya tanpa nomor kursi kita masih bisa agak maklum, mengapa orang-orang adu cepat naik kereta agar dapat tempat duduk, tapi tetap saja fenomena ini menunjukan orang kita malas antri.
Ketika saya berkunjung ke Jepang beberapa tahun lalu, saya kagum dengan budaya antri mereka. Kereta belum datang, tapi orang-orang sudah antri dengan tertib dalam satu line. Ini adalah antrian untuk masuk ke dalam kereta, padahal keretanya sendiri belum sampai ke stasiun. Tidak ada dorong-dorongan, tidak ada yang menyerobot antrian.

Antri dengan tertib menunggu kereta.

Antri dengan tertib menunggu kereta
Selama pola pendidikan di negara kita masih dalam sebatas knowing, maka sangat sulit mengubah karakter bangsa ini. Pendidikan karakter seharusnya sejak dini ditanamkan. Pendidikan karakter yang terbaik adalah by doing, tidak hanya knowing. Saya dapat cerita dari teman, jika di negara kita anak TK diajarkan sebareg pelajaran mulai dari belajar membaca dan berhitung sederhana, maka di Jepang anak-anak TK diajarkan bagaimana naik kereta, bagaimana antri dan bertransaksi di minimarket atau di supermarket. Jadi, pendidikan dini di sana langsung praktek, yang diharapkan akan terbawa jika mereka dewasa. Jika dari kecil sudah terbiasa belajar tertib dan sesuai aturan, maka kelak jika dewasa nanti sudah menjadi perilaku keseharian.
Selain pendidikan dengan pola doing, teladan dari orang dewasa juga memainkan peranan penting. Jika anda membuang sampah dari atas mobil, dan di dalam mobil ada anak-anak anda yang melihat, mereka akan beranggapan membuang sampah dari atas mobil adalah perbuatan biasa yang tidak apa-apa dilakukan. Kelak mereka akan mencontoh apa yang anda lakukan. Anda merokok di rumah, maka anak anda pun akan menirunya.
Jadi, pendidikan karakter itu adalah kombinasi dari by doing dan by simulating. Tidak sulit kalau kita memang ada niat.
Ping balik: Motor, Trotoar, dan Kegagalan Pendidikan Karakter | Pegawai Negeri
Orang-orang cenderung berpikir, “Ah sudahlah”
Betul. Satu lagi adalah kemelekan waktu. Jam karet pun dicontohkan dari kalangan akademisi maupun pejabat tinggi kalau disini