Woaaahhh….huff…selamat pagi Atambua! Pagi yang dingin sekali di Atambua. Setelah bermalam di hotel (yang susah payah dicari semalaman untuk menemukan kamar yang kosong), saatnya sekarang berangkat ke Motaain. Jam 7 pagi kami memacu kendaraan kembali ke Motaain. Kenapa harus pagi-pagi, karena untuk urusan administrasi di perbatasan akan memakan waktu yang cukup lama, kira-kira satu jamlah, karena kita membawa kendaraan ke Timor Leste. Waktu satu jam itu sudah termasuk pemeriksaan di pintu perbatasan di sisi Timor Leste.
Di atas kendaraan yang dikendarai Daniel, saya mengamati lingkungan alam sekitar sepanjang perjalanan menuju Motaain. Adem sekali suasana di sisi kiri kanan jalan. Tidak banyak rumah saya lihat, hanya alam yang hening menyertai perjalanan. Satu hal yang paling menakjubkan bagi saya di tanah Timor adalah mataharinya. Matahari di sini bersinar sangat terang benderang bagaikan lampu sorot. Belum pernah saya lihat matahari seperti ini di Bandung atau di pulau Jawa. Begitu perkasa matahari di Pulau Timor. Matahari terlihat berukuran besar. Mungkin karena di Pulau Timor uap air sangat minim sehingga matahari bersinar tanpa ada penghalang. Langit terlihat begitu biru tanpa ada awan.
Kami berhenti sejenak di sebuah ketinggian. Dari sini tampakah negara Timor Leste. Itu negaranya, di balik bukit yang tampak di kejauhan. Tampak pula laut Timor secara samar-samar, seperti foto di bawah ini.
Jam 8.00 sampailah kami di pos perbatasan Motaain. Ternyata pintu pagar masih ditutup. Sebentar lagi kayaknya. Beberapa orang yang hendak menyeberang ke Timor Leste menunggu di luar seperti saya. Suasana di dekat pos perbatasan masih sepi.
Setelah menunggu selama setengah jam, pintu pagar pos perbatasanpun dibuka petugas. Kompleks pos perbatasan ini sangat luas. Di dalamnya banyak gedung baru dan terkesan megah. Pemerintah Indonesia tampaknya membangun pos perbatasan laksana bandara saja.
Seperti halnya kalau kita mau pergi ke luar negeri, kita pun harus melewati pemeriksaan imigrasi. Dari Bandung saya memang sudah membawa paspor. Jadi, di sini kita mengisi kartu kedatangan lalu paspor kita dicap petugas.
Dalam sehari pos perbatasan Motaain melayani ratusan orang yang keluar masuk Indonesia dan Timor Leste. Mereka adalah para pelintas batas yang merupakan pedagang, pelajar, maupun penduduk lokal di kedua negara (maklum penduduk di masing-masing perbatasan masih bertalian darah). Untuk melintas batas kita harus membawa paspor dan membayar visa di pos Timor Leste. Jenis visanya adalah Visa on Arrival yang biayanya 30 dollar. Sebaliknya, warga Timor Leste yang memasuki Indonesia tidak dikenai visa karena Indonesia menerapkan bebas visa untuk sejumlah negara termasuk Timor Leste.
Di ujung kompleks terdapat pos tentara Indonesia. Mereka berjaga-jaga di pintu keluar perbatasan mengamati orang-orang yang keluar masuk.
Nah, di pintu keluar perbatasan dekat pos tentara tersebut terdapat sebuah jembatan yang menghubungkan tanah Timor Leste dan tanah Indonesia. Sungai di bawah jembatan itulah yang memisahkan kedua negara. Uniknya, setengah dari jembatan itu dicat warna merah putih dan setengah lagi berwarna bendera Timor Leste. Di titik tengah jembatan itu terdapat garis kuning yang menjadi batas kedua negara.

Setengah dari jembatan dicat warna merah putih dan setengah lagi berwarna bendera Timor Leste. Di titik tengah jembatan itulah garis batas kedua negara (garis kuning).
Saya melangkahkan kaki di garis kuning di atas jembatan ini. Satu kaki di tanah Indonesia, satu kaki lagi di Timor Leste. Wah, berati satu kaki saya sudah memasuki wilayah negara lain.
Setelah prosedur imigrasi dan bea cukai selesai, kendaraan kami melintasi jembatan itu. Akhirnya sampailah saya di negara Timor Leste meskipun baru di perbatasan saja. Selanjutnya kami memasuki pos perbatasan di sisi Timor Leste yang bernama Batugade. Tiba di sini semua tulisan sudah berganti dengan bahasa Porto, sudah hilang semua tulisan berbahasa Indonesia. Namun, sinyal Telkomsel masih terjangkau di sini, saya masih bisa berkirim kabar lewat Whatsapp dan meng-update status di Facebook.
Pos perbatasan di Timor Leste bangunannya lebih sederhana dibandingkan pos di Motaain. Kesederhanaan itu mungkin mencerminkan negara Timor Leste yang taraf kehidupan rakyatnya yang masih bersahaja.
Di pos Batugade kami melewati pemeriksaan imigrasi lagi dan membayar visa on arrival sebesar 30 dolar. Barang-barang kita diperiksa dan melewati detektor X-ray seperti halnya di bandara. Mobil dan isinya pun diperiksa.
Setelah beres pemeriksaan di pos Batugade, kendaraan kami meluncur keluar pos dan siap menuju kota Dili. Perjalanan dari pos perbatasan Batugade menuju kota Dili melewati pinggir pantai dengan pemandangan laut Timor yang indah. Perlu berhati-hati melewati ruas jalan karena di kirinya jurang yang dalam dengan laut di bawahnya. Hii..seram jika jatuh. Beberapa ruas jalan rusak parah, terutama beberapa ruas jalan peninggalan Indonesia, tetapi setelah melewati Liquica hingga Dili jalan aspal mulus. Dari pos perbatasan Baatugade kita akan melewati distrik Bobonaro dan Liquica sebelum sampai ke Dili.
Timor Leste adalah negara termiskin di dunia. Negara ini tidak memiliki sumber daya alam kecuali hasil pertanian. Minyak di celah Timor belum dapat dinikmati negara Timor Leste.
Penduduk Timor Leste hidupnya sederhana, itu terlihat dari rumah-rumah mereka yang sederhana, sebagian masih rumah tradisionil beratap daun gowang.
Seperti halnya di Atambua, matahari bersinar garang di bumi Lorosae. Matahari terlihat begitu besar dengan pancaran sinarnya yang menyala. Kami memburu waktu ke Dili karena kami harus bisa kembali ke pos perbatasan sebelum pukul 16.00 WITA (atau pukul 17.00 waktu Timor Leste. Waktu di Timor Leste mengikuti waktu WIT). Untuk mencapai kota Dili dari pos Batugade diperlukan waktu 2 hingga 3 jam dengan kendaraan.
Melewati jalan-jalan di Timor Leste maka kita dapat menyaksikan kehidupan penduduknya yang sederhana. Anak-anak sekolah terlihat berjalan bersama-sama di pinggir jalan dengan riang gembira. Bangunan sekolahnya seperti bangunan sekolah di kabupaten-kabupaten di Indonesia berupa bangunan memanjang. Bendera Timor Leste berkibar di rumah-rumah maupun sekolah. Tulisan-tulisan yang saya baca di pinggir jalan semuanya berbahasa Tetun atau bahasa Porto. Meskipun demikian, warga Timor Leste masih bisa berbahasa Indonesia.
Mereka memang hidup sederhana, tetapi seperti kata Pak Agustinus, warga Timor Leste tetap merasa bahagia dengan negaranya yang sekarang sudah merdeka, tidak lagi “dijajah” oleh Indonesia.
Dikutip dari sini: Timor Timur dijajah oleh Portugal pada abad ke-16, dan dikenal sebagai Timor Portugis sampai 28 November 1975, ketika Front Revolusi untuk Timor Leste Merdeka (FRETILIN) mengumumkan kemerdekaan wilayah tersebut. Sembilan hari kemudian, Indonesia melakukan invasi dan aneksasi terhadap Timor Timur dan Timor Timur dinyatakan sebagai provinsi ke-27 oleh Indonesia pada tahun berikutnya. Pendudukan Indonesia di Timor Timur ditandai oleh konflik yang sangat keras selama beberapa dasawarsa antara kelompok separatis (khususnya FRETILIN) dan militer Indonesia.
Pada tanggal 30 Agustus 1999, dalam sebuah referendum yang disponsori PBB, mayoritas rakyat Timor Timur memilih untuk lepas merdeka dari Indonesia. Segera setelah referendum, milisi anti-kemerdekaan Timor-Leste – yang diorganisir dan didukung oleh militer Indonesia – memulai kampanye militer bumi hangus. Milisi membunuh sekitar 1.400 rakyat Timor Timur dan dengan paksa mendorong 300.000 rakyat mengungsi ke Timor Barat. Mayoritas infrastruktur hancur dalam gerakan militer ini. Pada tanggal 20 September 1999, Angkatan Udara Internasional untuk Timor Timur (INTERFET) dikirim ke Timor Timur untuk mengakhiri kekerasan. Setelah masa transisi yang diorganisasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara dan secara resmi merdeka dari Indonesia pada tanggal 20 Mei 2002. Sebelumnya bernama Provinsi Timor Timur, ketika menjadi anggota PBB, mereka memutuskan untuk memakai nama Portugis “Timor Leste” sebagai nama resmi.
Memasuki pedalaman Bobonaro ada kejadian yang membuat muka kami agak pucat dan berasa khawatir. Jalan-jalan di Timor Leste lengang dari kendaraan, hanya satu dua kendaraan yang melintas. Justru yang sering melintas adalah ternak seperti kambing dan babi. Daniel mengemudikan mobil cukup ngebut karena mengejar waktu ke Dili. Tanpa disadari seekor babi melintas menyeberang jalan dan kecelakaan pun tidak terhindarkan. Mobil melindas babi itu. Mati. Warga sekitar berlarian untuk melihat babi yang sekarat.
Mobil kami pun berhenti. Pak Agustinus dan Daniel berjalan menghampiri warga. Untungnya Pak Agustinus yang memang berasal dari Timor Leste dapat berbicara dengan bahasa Tetun. Dia berbicara kepada warga dan meminta maaf telah menabrak babi sehingga tewas. Warga bisa memahami karena babi memang sering lalu lalang menyeberang jalan. Kami mengganti harga babi yang mati itu dengan uang 100 dolar. Wah, menurut saya mereka “beruntung” sebab daging babi bisa mereka makan dan dapat uang 100 dolar pula. 🙂
Kami mengisi dulu di pom bensin di Bobonaro. Di pos bensin ini terdapat minimarket yang menjual berbagai makanan, sabun, sahampo, rokok, tidak ketinggalan bir dan wine. Ini wine impor dari Australia dan Portugis. Banyak dari barang yang dijual di sana berasal dari Indonesia. Timor Leste memang masih bergantung kepada Indonesia untuk barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Pukul 13.00 siang akhirnya kami memasuki kota Dili. Karena waktu yang terbatas, maka kami hanya mengunjungi istana Perdana Menteri yang dulu pernah menjadi Kantor Gubernur Timor Timur. Istana yang cantik bekas peninggalan Portugis.
Pelabuhan Dili terhampar di seberang istana Perdana Menteri. Sebuah plaza di pinggir pantai menjadi tempat yang bagus untuk berjalan kaki menikmati laut dan kal-kapal yang berlabuh. Hmmm…saya membayangkan sore hari waktu yang pas untuk duduk-duduk di sini. Dua orang anak menghampiri saya menawarkan buah mangga yang telah dipotong-potong. Satu dolar saja, kata anak-anak itu. Tetapi saya tidak membawa uang dolar, jadi saya tidak bisa membelinya. Rupiah tentu tidak laku di sana.

Anak penjual mangga di pantai Dili. Mau beli, tapi uang rupiah tidak laku. Mereka cuma bisa bertransaksi menggunakan USD (Credit photo by Tutun Juhana)
Kami tidak bisa berlama-lama di Dili karena harus mengejar waktu kembali ke pos perbatasan di Batugade. Jika kami terlambat sampai ke pos perbatasan, pintu ditutup sehingga kami tidak bisa kembali ke Atambua hari itu, terpaksa harus kembali lagi ke Dili. Jadi, rencana melihat patung Yesus raksasa, rumah uskup Bello, rumah Xanana Gusmao pun tidak kesampaian. Bahkan rencana saya untuk shalat Dhuhur di Masjid An-Nur Dili pun tidak sempat karena waktu yang kasip. Secara berkelakar teman saya berkata kita nanti melewati rumah Raul Lemos, suami penyanyi Krisdayanti.
Beberapa foto yang saya abadikan merekam suasana kota Dili dan aktivitas pasar yang masih tradisionil.
Demikianlah kunjungan singkat saya yang hanya satu jam berada di kota Dili. Benar-benar singkat dan belum bisa mengeksplorasi lebih jauh tempat-tempat menarik di Dili. Mungkin nanti jika ada kesempatan saya kembali lagi ke Dili.
Mantap kawan, jangan lupa mampir ke blog saya juga. Heheheh
Cuma bingung kawan mau buat iklan otomatis vertvkasi ke ads
Indah sekali Timor leste. Seharusnya pemerintahnya bisa memanfaatkan untuk tujuan wisata.
Sebagai pebisnis, melihat tulisan ini ide-ide liar saya muncul untuk membuat Timor Leste negara yang kaya dari sektor pariwisata. Tapi saya tidak tahu bagaimana faktor keamanan dan kemudahan berbisnis di negara tersebut.
Thanks for the insight pak @Rinaldi.
Halo, Pak. Saya sangat senang setelah membaca ketiga seri tulisan Bapak tentang perjalanan ke Kota Atambua dan Negara Timor Leste. Beberapa foto yang Bapak ambil mengingatkan saya pada jembatan, gedung bahkan jalan yang pernah saya lewati dulu sekali. Saya juga ingat pengalaman saya dan keluarga ketika aksi jejak pendapat dan pemisahan diri Timor Leste dari Indonesia. Saya ingat ketika kami sekeluarga harus meninggalkan rumah, dan mengungsi di Camp Pengungsian (Kota Atambua) selama kurang lebih satu bulan. Pada saat itu, saya belajar bahwa perang itu apapun bentuknya adalah hal yang sangat merugikan.
Terima kasih sudah menuliskan pengelaman yang sangat luar biasa, Pak.
Salam.
Sama-sama, semoga bisa kembali mengunjungi Timor Leste
Wah, menarik cerita perjalanannya. Salam kenal. Salam hangat.