Bangkok adalah tujuan wisata yang sudah mainstream. Wisata belanja, wisata kuliner, atau menyusuri sungai Chao Praya, adalah beberapa tujuan orang berwisata ke Bangkok. Saya sendiri sudah pernah sekali pergi ke kota Bangkok dalam rangka mengikuti konferensi ilmiah. Tahun ini saya kembali mengunjungi Bangkok dalam perhelatan yang serupa, yaitu mempresentaskan paper hasil penelitian di sebuah konferensi di kampus Thai-Nichi Institute of Technology (TNI), sebuah perguruan tinggi swasta di Thailand. Selama 4 hari 3 malam (4D3N) saya berada di Bangkok.
Kota Bangkok tidak jauh beda dengan kota Jakarta dalam hal juara macet dan keramaian pedagang kaki lima. Bedanya, kota Bangkok lebih teratur dan lebih tertib daripada Jakarta. Baik siang maupun malam lalu lintas di pusat kota Bangkok sangat padat, apalagi saat jam pulang kerja adalah saat rush hour, bisa berjam-jam terjebak kemacetan.
Thailand adalah negara dengan penduduk mayoritas beragama Budha. Orang Thai sangat menghormati para bhiksu, sama seperti orang kita yang sangat menghormati ulama, kyai atau ajengan. Setiap pagi terlihat bhiksu berjalan kaki di kota Bangkok. Warga memberikan sedekah makanan kepada bhiksu yang lewat, memasukkannya ke dalam panci yang dililit di pinggang bhiksu. Bhiksu kemudian menuangkan air suci ke dalam wadah yang disediakan di atas tanah, lalu mendoakan umatnya. Warga berlutut, melepaskan alas kaki, lalu mensedekapkan kedua tangan, ikut berdoa. Sebuah harmoni pagi di kota Bangkok yang saya saksikan di dekat hotel tempat saya menginap.
Meski Thailand adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Budha, lalu apakah sulit mencari makanan halal di Bangkok? Ternyata mencari makanan halal di Bangkok tidaklah sulit. Makanan di restoran atau makan jalanan (street food) di kota Bangkok tersedia beraneka ragam, ada yang halal dan tidak halal.
Untuk memastikan anda membeli makanan yang halal, maka perhatikan apakah kedai-kedai makanan memasang tulisan Halal Food, Muslim Food, atau logo halal dalam aksara Arab. Jika iya, berarti makanan yang dijajajakan adalah halal. Pedagang makanan di kedai halal umumnya orang Pattani dari Thailand Selatan. Pattani adalah wilayah muslim di perbatasan Thailand dengan Malaysia, penduduknya beretnis melayu. Di kota Bangkok sendiri banyak terdapat kantong-kantong pemukiman muslim dari Pattani, perkampungan Jawa, dan etnis muslim lain yang telah berasimilasi menjadi warga Thailand. Saya menemukan cukup banyak masjid di pinggir jalan. Perempuan berkerudung mudah ditemui lalu lalang di keramaian. Di kampus Tha-Nichi saya melihat mahasiswi yang memakai jilbab, begitu juga anak-anak sekolah yang memakai busana muslimah berbaur dengan siswa lainnya.
Jika sudah ada tulisan halal di kedai makanan, maka tenanglah kita makan di sana. Bermacam-macam kuliner yang menggugah selera ada kedai itu, misalnya nasi goreng tom yam, phad thai, som tam, dan lain-lain. Makanan-makanan itu bisa dikombinasikan, misalnya som tam dengan nasi goreng, mie rebus dengan tom yam, dan sebagainya. Pedagang langsung memasaknya di depan kita.
Di kawasan Pratunam, kira-kira 500 meter dari Kedubes RI di Bangkok, ada sebuah rumah makan melayu Pattani dengan nama restoran MAKAN. Ya Makan. Pemiliknya orang Pattani. Saya diajak oleh Abdullah Zulkifli, alumni Informatika ITB angkatan 1990 yang sekarang menjadi diplomat di Kedubes RI di Bangkok, makan malam di restoran Makan. Cukup berbicara dengan bahasa Indonesia, karena pemilik dan pelayannya mengerti bahasa Melayu. Kami memesan som tam, pad thai, ayam kukus daun pandan, dan ikan kembung bakar tetapi tanpa kulit. Phad thai adalah semacam kwetiau namun terbuat dari tepung beras, sedangkan som tam adalah sayuran pedas dari pepaya muda. Ini favorit saya yang suka makanan pedas.
Tentu saja menikmati makanan halal di Bangkok tidak lengkap tanpa menikmati jajanan yang sudah beken, yaitu nasi ketan dengan buah mangga (sticky rice mango), ketannya disiram kuah santan. Rasanya? Bukan enak lagi, sangat enak. Gurih dan manis. Jenis mangganya juga beda. Hmmm…kalau di kampung saya orang makan ketan dengan durian. Di Bandung sudah banyak yang menjual dessert ini, tetapi mangganya diganti dengan mangga harum manis.
Saya menikmati nasi ketan mangga di kedai pinggir jalan, pedagangnya orang Pattani. Ada logo halal di gerobaknya. Saya merasa nyaman saja jika membeli makanan di kedai orang Pattani. Makanan halal itu selain sehat juga barokah.
Thailand memang sangat peduli dengan konsep wisata halal. Pariwisata adalah industri yang menopang ekonomi Thailand. Mereka sadar wisatawan yang datang ke negaranya banyak berasal dari berbagai negara berpenduduk muslim, oleh karena itu mereka menyediakan tempat-tempat yang menjual makanan halal lengkap dengan label halalnya. Bahkan, industri makanan kemasan pun mendapat sertifikasi halal dari MUI Thailand. Jika kita berbelanja makanan kemasan di minimarket, maka untuk memastikan halal tidaknya makanan itu cukup lihat label tulisan halal yang tertera di bagian belakang kemasan.
Tidak hanya makanan, Thailand pun menyediakan mushola di tempat-tempat umum, misalnya mushola di bandara Suvarnabhumi. Saat waktu maghrib datang, saya sholat di sebuah mushola di mal Platinum lantai lima. Di mal Platinum yang megah ini terdapat mushola buat sholat, mushola terpisah untuk mushola pria dan mushola untuk wanita. Bangkok lho ini, bukan di Jakarta atau di tanah air. Saya teringat mal megah di Bandung yang musholanya terletak di basement yang pengap dan bersebelahan dengan toilet dan tempat parkir.
Thailand memang serius menggarap pangsa wisata dari negara-negara berpenduduk muslim. Mereka sediakan segalanya, termasuk wisata halal, tanpa menghilangkan identitas dan ciri khas mereka.
Masya Allah, baarokallah u bapak dan keluarga, terimasih untuk berbagi pengalaman lewat Catatanku. Senang bisa ikut membacanya.