Hingga saat ini saya masih setia berlangganan koran cetak. Rasanya sudah sejak lama saya berlangganan koran, ya sejak saya berumahtangga lah. Dulu saya berlangganan dua koran, satu koran ibukota dan satu lagi koran lokal. Sekarang tinggal satu koran saja, koran lokal Bandung. Itupun tidak bisa (atau tidak sempat) saya baca setiap hari, hanya lihat-lihat isinya secara garis besar, lalu ditaruh lagi. Besok hari koran itu sudah masuk ke keranjang koran bekas.
Pada zaman digital ini koran-koran dan media cetak seperti menunggu lonceng kematiannya saja. Orang-orang sudah jarang membaca koran sebab beritanya kalah cepat dengan media daring. Lagipula, budaya membaca pada bangsa kita masih rendah, kalah dengan budaya debat atau ngegosip di media sosial.
Lihatlah koran-koran sekarang, makin tipis saja, jumlah halamannya semakin susut, iklannya minim. Oplahnya juga sudah berkurang. Tengoklah koran Komp*s, koran terbesar di tanah air, dulu berjaya dengan tiras (oplah) yang sempat mencapai 500.000 lebih per hari, iklannya pun berlimpah. Saking banyak iklannya, jumlah halamannya pun bisa sampai 64 halaman, tebal sekali. Sekarang, hanya tersisa 20 halaman, sudah menipis, dengan iklan yang sudah jauh berkurang. Dunia memang fana, segala yang berjaya pasti ada masa surutnya.
Dengan berubahnya budaya masyarakat pada era digital, berubah pula cara pandang orang tentang media. Apakah koran cetak masih dibutuhkan di era informasi digital yang berubah dengan cepat?
Bagi saya jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah: masih dibutuhkan. Alasannya bukan karena saya ingin membaca berita di dalam koran itu, sebab hal itu sudah tergantikan dengan informasi di media daring. Alasannya satu: Saya masih mempertahankan berlangganan koran hingga hari ini karena kasihan saja dengan si mang koran, dia akan kehilangan penghasilan jika saya berhenti berlangganan. Tidak tega saya.

Tukang koran langganan saya, setiap pagi selalu setia mengantarkan koran lokal ke rumah, biar lagi sakit sekalipun.