Pagi-pagi dia sudah berkeliling perumahan di Antapani dengan sepedanya, menjajakan bacang yang masih hangat. Tiga buah bacang harganya sepuluh ribu. Saya yang olahraga jalan kaki setiap pagi selalu bertemu dengan mamang ini. Saya lupa menanyakan namanya, sebut saja Mang Aryo.
“Bacaaaanggg…bacaaaanggg...”,teriak Mang Aryo dengan suara khas sambil terus mengayuh sepeda.
Bacang adalah penganan yang terbuat dari beras ketan dan diisi dengan daging cincang (ayam atau sapi) yang dimasak dengan kecap dan bumbu-bumbu lainnya, kemudian dibungkus dengan daun bambu, lalu dikukus sampai matang.
Bacang berbentuk limas segitiga. Dulu saya kira bacang adalah penganan khas Sunda, karena orang Sunda suka makan bacang. Ternyata saya salah, bacang adalah penganan khas Tionghoa (cina), dan tentu saja daging di dalam bacang adalah daging babi. Dalam budaya lokal, bacang diadaptasi yang tadinya daging babi menjadi daging sapi atau daging ayam.
Di Bandung bacang mudah ditemukan di warung atau di kedai kue basah. Ia dijajarkan dengan jajanan seperti bala-bala, risoles, kue sus, dan sebagainya. Bacang lebih enak dimakan dalam keadaan hangat, terutama yang baru dikukus.
Dikutip dari situs ini, “Bacang adalah tradisi Tionghoa. Bacang sudah menjadi makanan yang bisa ditemukan setiap hari oleh para pedagang di pasar. Namun sebelum dijual secara umum, makanan ini hanya dimakan pada saat perayaan suku Tionghoa di Indonesia, yaitu festival Peh Cun.
Pada festival ini, orang-orang Tionghoa akan sembahyang kepada para leluhur dan mempersembahkan bacang yang sudah dibuat. Pada festival ini juga ada perlombaan perahu naga. Festival Peh Cun dirayakan setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek.“
Anak saya yang sekarang kuliah onlen suka makan bacang. Makanya, ketika saya jalan pagi dan ketemu Mang Aryo, saya beli bacangnya untuk penganan anak saya. Kalau saya sendiri sih kurang suka makan bacang karena rasa dagingnya manis. Lidah Minang saya masih susah menerima masakan yang rasanya manis seperti gudeg, abon, termasuk bacang, meskipun saya sudah puluhan tahun di tanah Sunda. Bagi saya masih lebih enak makan lemang daripada makan bacang.đŸ™‚
Bacang yang dijual Mang Aryo memang bukan dia sendiri yang membuatnya, tetapi bersama-sama dengan temannya. Dia menjual beberapa puluh ikat di dalam box di belakang sepedanya. Ketika matahari baru terbit di timur, saat sebagian orang masih di dalam selimut, dia sudah mengayuh sepeda keliling Antapani menjajakan bacangnya.
Keuntungan menjual bacang yang tidak banyak itu memang tidak seberapa. Tetapi saya salut dengan usahanya yang gigih mencari nafkah halal dengan berjualan bacang.
Usai menyerahkan tiga buah bacang di dalam kantong keresek, Mas Aryo segera mengayuh sepedanya lagi menawarkan bacangnya.
“Bacaaaanggg…bacaaaanggg...”,teriaknya sambil terus mengayuh sepeda.
Semoga rezeki yang diperolehnya setiap pagi barokah.