Pembantu (ART) di rumah kami sudah bekerja sejak si bungsu umur 6 bulan. Sekarang si bungsu sudah berumur 14 tahun, berarti ART sudah bekerja lebih dari 13 tahun. Awet ya. Sistemnya tidak menginap, dia datang pagi pukul 9 lalu pulang sore pukul 5, karena dia juga punya suami di kontrakan. Kami sejak dulu selalu mencari pembantu yang tidak menginap, lebih nyaman saja begitu. Pekerjaannya rutin biasa saja, urusan cuci-mencuci, setrika pakaian, beres-beres rumah. Tidak masak karena kami membeli makanan atau memasak sendiri. Sekalian dia juga menjaga anak di rumah dan menyediakan makan karena kami keduanya bekerja. Santailah kerjanya, tidak berat-berat amat. Dia juga suka dengan kerja seperti itu makanya kerasan.
Akhir tahun lalu saat pandemi suaminya wafat. Bukan karena covid, tetapi karena penyakit jantung. Sejak itu dia mulai sakit-sakitan dan banyak pikiran. Beberapa kali on off masuk kerja. Saya maklumi saja, saya juga belum berniat mencari pengganti.
Akhirnya karena sakit terus, bahkan pernah pingsan, si bibi pulang ke kampungnya di Garut, tinggal di rumah anak lelakinya yang sudah berkeluarga. Kami pun mulai mencari pengganti ART, tetapi tidak cocok, akhirnya dihentikan. Karena masih pandemi dan WFH di rumah, maka ketiadaan ART juga tidak masalah bagi saya. Semua pekerjaan rumah sudah biasa kami kerjakan.
Lama tiada kabar, kemaren si bibi datang ke rumah, langsung dari Garut diantar anak lelakinya naik motor. Dia mengatakan ingin bekerja lagi. Selama tinggal di rumah anaknya di Garut dia tidak punya pekerjaan. Anaknya juga susah hidupnya, hanya pegawai office boy di sebuah bank. Hidup “menumpang” di rumah anak terus menerus juga kurang nyaman baginya. Dia biasa hidup mandiri dan punya penghasilan sendiri. Biasa bekerja lalu berhenti tentu bisa menimbulkan penyakit bagi dirinya. Kata dia, bekerja itu membuat dia sehat karena tubuh selalu bergerak. Diam di rumah saja malah sakit-sakitan. Kesal di rumah terus.
Kami pun menerima dia kembali bekerja harian di rumah. Sudah belasan tahun dia bekerja di rumah kami tentu sudah kerasan baginya. Sulit bagi dia melupakan anak-anak kami, apalagi si sulung yang ABK. Teringat terus, katanya. Katanya lagi, justru dia merasa bahagia kerja di rumah kami. Nggak tahu kenapa ya. Mungkin karena kerjanya nggak berat dan gajinya juga lumayan gitu? Hahaha…
Ya sudah, hari ini dia mulai masuk kerja lagi, datang pagi pulang sore. Saya tanya kenapa dia ingin bekerja lagi. Katanya, dia tidak punya uang. Saya pun mengerti. Saya teringat kata ibu saya, perempuan di mana pun di dunia ini perlu memegang uang di tangannya. Jika perempuan tidak memegang uang rasanya ada yang kurang nyaman dalam hidupnya. Benarkah begitu?
Ping balik: ART Kami Telah Tiada | Catatanku