Kenaikan harga BBM pekan kemarin pasti berimbas pada kenaikan harga barang dan jasa, antara lain kenaikan harga bahan pangan.
Seorang ibu penjual nasi kuning langganan saya di Antapani tetap tidak menaikkan harga nasi kuningnya meski harga BBM sudah naik berkali-kali. Sejak dulu sampai sekarang tetap harganya Rp7000 saja per porsi. Satu porsi nasi kuning dengan irisan telur dadar, oseng tempe orak-arik, sambal, dan kerupuk.
Ketika saya tanya kenapa tidak dinaikkan harga nasi kuningnya kira-kira Rp500 atau Rp1000 (sementara pedagang nasi kuning lain sudah Rp10.000 per porsi), si ibu hanya tersenyum kecil.
“Ah, biarin segini aja harganya. Kalau dinaikkan kasihan pelanggan”, jawabnya.
Bagi pedagang kecil seperti ibu itu, kehilangan pembeli atau pelanggan lebih menakutkan daripada kehilangan keuntungan sesaat yang tidak seberapa. Sebenarnya dia ingin mengatakan bahwa ia lebih khawatir pembelinya akan lari jika harga dagangannya dinaikkan, tidak akan pernah datang lagi. Kenaikan harga 500 atau 1000 efeknya besar sekali, maklum pelanggannya juga orang-orang kecil seperti mang ojek, mang beca, tukang parkir, dll.
Bagi pedagang kecil, kelestarian pelanggan adalah hal yang utama. Lebih penting mempertahankan kelangsungan usahanya daripada meraih keuntungan yang lebih besar. Tidak apalah margin keuntungan berkurang asal pembeli tetap.
“Biar untungnya kecil tetapi awet”, demikian kira-kira yang ingin diucapkannya. Awet maksudnya pelanggannya tidak hilang. Sebuah cara pikir yang sederhana, khas orang-orang kecil yang polos dan jujur.
Suka kalimat terakhir, khas orang kecil yang polos dan jujur.
Kalo khas orang besar? 🤔