Ada dua orang mahasiswaku yang sangat “berbeda”, keduanya seperti ditakdirkan untuk dititipkan kepadaku. Keduanya adalah mahasiswa ABK (anak berkebutuhan khusus). Mahasiswa pertama penyandang asperger, dia mahasiswa waliku, sedangkan mahasiswa kedua adalah anak gifted, dia mahasiswa bimbingan TA-ku. Asperger itu salah satu spektrum autisme, tetapi high performance alias cerdas, ber-IQ tinggi, sedangkan gifted artinya anak berbakat
Mereka keduanya tergolong mahasiswa yang cerdas, diperkirakan IQ-nya di atas 135. Selama kuliah mereka termasuk tipe mahasiswa yang sulit bergaul karena sulit berkomunikasi. Jadi, di lingkungan teman seangkatannya mereka tergolong “lonely child“, selalu sendirian dan kesepian. Karena sulit bergaul dan berkomunikasi, maka mereka jarang dapat teman kelompok tugas. Mungkin teman-temannya enggan mengajak sekelompok, atau memang dasarnya mereka sulit berkomunikasi. Oleh karena itu, mereka umumnya mengerjakan tugas kuliah sendirian saja, tidak sekelompok dengan temannya.
Namun teman-temannya tidak pernah membuli, mengolok-olok, atau mempermainkannya. Teman-teman mereka baik, mereka tidak diperlakukan secara berbeda. Mahasiswa kami tidak ada yang nakal atau bertingkah aneh-aneh. Semua mahasiswa bisa memahami kondisinya.
Selama menjadi mahasiswa wali, tidak terhitung orangtuanya selalu intens berkomunikasi dengan saya, mengabarkan ini itu, memohon pengertian, konsultasi akademik putranya, dll. Saya bisa memahami dan mengerti, anak-anak seperti ini perlu perhatian lebih, pendampingan, dan pemakluman.
Sudah lama saya tidak bertemu dengannya sejak pandemi. Lalu pada hari ini saya menanyakan kabarnya, mengirim pesan WA, apakah dia sudah sidang Tugas Akhir. Sudah pak, balasnya. Alhamdulillah, saya senang mendengarnya. Artinya dia sudah menyelesaikan studinya, tinggal wisuda saja nanti. Terbayang dulu betapa sulitnya lika-liku dia menyelesaikan studinya, jatuh bangun, drop, on-off-on-off dengan kondisinya seperti itu, hingga melewati batas waktu studi dan diberi perpanjangan waktu.
Tinggal satu orang lagi, mahasiswa gifted yang menjadi bimbingan TA-ku. Semoga saja dia bisa melewati fase perjuangan ini. Saya belum tahu cara mendekati dia agar mau mengerjakan TA. Tiap kali ditanya tentang TA nya, dia tampak ketakutan.
Seperti yang saya tulis pada kalimat pertama, Tuhan seperti mentakdirkan mereka “dititipkan” kepadaku. Mungkin karena saya di rumah juga dianugerahi Tuhan anak sulung yang ABK juga? Wallahualam