Minggu lalu saya dan teman-teman di kampus mengadakan rapat jurnal di perkebunan teh Malabar, Pangalengan, Jawa Barat. Kami menginap di Malabar Tea Village, yaitu sebuah tempat penginapan (hotel) yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara 8. Penginapan ini menjadi unik karena menyatu dengan sebuah rumah peninggalan bersejarah, yaitu Rumah Boscha.
Pernah mendengar nama Boscha? Tentu saya yakin anda pernah. Siapa yang tidak kenal dengan Observatorium Boscha di Lembang. Siapa sebenarnya Boscha? Dikutip dari sumber ini, Boscha atau nama lengkapnya Karel Albert Rudolf Boscha adalah orang Belanda yang pertama kali membangun perkebunan teh di Malabar pada tahun 1896. Rumah Boscha ini dibangun bersamaan dengan pembangunan perkebunan teh Malabar. Boscha menggunakan rumah ini sebagai tempat peristirahatannya. Karena kebun teh Malabar yang dimiliki Boscha ini sangat luas, selain itu dia juga memiliki kebun teh di tempat lain, maka Boscha dijuluki juga Raja Teh Priangan. Selain teh, Boscha juga menanam kina untuk obat Malaria.
Boscha adalah seorang yang pecinta ilmu pengetahuan. Dia menyumbangkan sebagian kekayaannya untuk pembangunan observatorium Boscha di Lembang, karena itulah namanya diabadikan sebagai nama observatorium. Bosscha juga salah seorang yang ikut mendirikan kampus TH (Technische Hoogeschool) di Bandung yang sekarang menjadi kampus ITB.

Memasuki rumah Boscha kita seolah-olah dibawa ke masa silam. Hampir semua perabotan peninggalan Boscha seperti lemari, kursi, lampu, masih terawat dengan baik. Saya memasuki rumah Boscha yang terdiri dari beberapa bagian (ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, dapur, dan kamar tidur). Terdapat juga sebuah ruang basement yang di dalamnya terdapat meja biliar yang digunakan oleh Boscha untuk bermain. Di bawah ini beberapa foto di dalam rumah Boscha:
Di ruang tengah ini terdapat sebuah piano buatan tahun 1837 yang masih berfungsi dengan baik. Saya mencoba memainkan tuts-tuts piano, suaranya masih terdengar bagus dan jernih.
Lalu di manakah kamar Boscha? Pegawai hotel menunjukkan kamar Boscha yang sekaligus menjdi ruang kerjanya. Letaknya di sayap kanan rumah, masuk dari ruang makan. Kamar ini sudah dilengkapi dengan bed yang baru, tetapi meja kerja Boscha yang asli masih terdapat di dalamnya. Kata pegawai hotel, kamar ini tidak disewakan kepada tamu hotel, hanya menjadi tempat kenangan yang dirawat dengan baik.
Boscha menghabiskan hidupnya di rumah ini sampai dia meninggal pada tahun 1923. Menurut alkisah, Boscha meninggal karena penyakit tetanus akibat terluka setelah dia terjatuh dari kudanya di Bukit Nini, sebuah bukit yang terletak di belakang rumahnya. Dia meninggal di pangkuan pegawainya. Boscha dimakamkan di tengah perkebunan teh, tidak jauh dari rumahnya. Saya tidak sempat melihat makamnya saat itu karena sudah mau pulang.
Rumah Boscha memang berada di area pertengahan kebun teh Malabar. Kebun teh ini sangat luas,sekitar 2000 hektar, sampai ke perbukitan di sekitarnya. Kita dapat berjalan-jalan menyusuri kebun teh yang luas itu, menikmati udara segar pegunungan yang dingin. Kita juga dapat melihat para pekerja memetik daun teh. Saat saya ke sana pada hari Minggu pemetik daun teh sedang libur, sehingga kita tidak dapat melihat pemandangan khas para wanita yang sedang memetik pucuk teh.
Oh ya, untuk melihat-lihat rumah Boscha pengunjung tidak perlu menginap di bangunan penginapan di samping rumah Boscha. Pengunjung dapat masuk melihat-lihat ke dalamnya dengan tiket masuk Rp5000. Jika menginap di kamar penginapan kelas standard harganya 600 ribu per malam, dan jika di rumah kayu (cottage) di belakang rumah Boscha harganya 1,2 juta per malam (di dalam satu cottage terdapat dua kamar tidur).
Saya telah membuat video kunjungan ke rumah Boscha di kanal saya di YouTube. Silakan menontonnya dengan mengklik video di bawah ini: