Mengunjungi Rumah Boscha di Kebun Teh Malabar, Pangalengan

Minggu lalu saya dan teman-teman di kampus mengadakan rapat jurnal di perkebunan teh Malabar, Pangalengan, Jawa Barat. Kami menginap di Malabar Tea Village, yaitu sebuah tempat penginapan (hotel) yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara 8. Penginapan ini menjadi unik karena menyatu dengan sebuah rumah peninggalan bersejarah, yaitu Rumah Boscha.

Rumah Boscha
Tampak depan

Pernah mendengar nama Boscha? Tentu saya yakin anda pernah. Siapa yang tidak kenal dengan Observatorium Boscha di Lembang. Siapa sebenarnya Boscha? Dikutip dari sumber ini, Boscha atau nama lengkapnya Karel Albert Rudolf Boscha adalah orang Belanda yang pertama kali membangun perkebunan teh di Malabar pada tahun 1896. Rumah Boscha ini dibangun bersamaan dengan pembangunan perkebunan teh Malabar. Boscha menggunakan rumah ini sebagai tempat peristirahatannya. Karena kebun teh Malabar yang dimiliki Boscha ini sangat luas, selain itu dia juga memiliki kebun teh di tempat lain, maka Boscha dijuluki juga Raja Teh Priangan. Selain teh, Boscha juga menanam kina untuk obat Malaria.

Boscha adalah seorang yang pecinta ilmu pengetahuan. Dia menyumbangkan sebagian kekayaannya untuk pembangunan observatorium Boscha di Lembang, karena itulah namanya diabadikan sebagai nama observatorium. Bosscha juga salah seorang yang ikut mendirikan kampus TH (Technische Hoogeschool) di Bandung yang sekarang menjadi kampus ITB.

Rumah Boscha tampak dari samping kanan. Ada cerobong asap di atasnya, di bawahnya tungku untuk menghangatkan badan

Memasuki rumah Boscha kita seolah-olah dibawa ke masa silam. Hampir semua perabotan peninggalan Boscha seperti lemari, kursi, lampu, masih terawat dengan baik. Saya memasuki rumah Boscha yang terdiri dari beberapa bagian (ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, dapur, dan kamar tidur). Terdapat juga sebuah ruang basement yang di dalamnya terdapat meja biliar yang digunakan oleh Boscha untuk bermain. Di bawah ini beberapa foto di dalam rumah Boscha:

Ruang tengah. Foto di dinding adalah Karel Albert Rudolf Boscha
Ruang tamu. Beberapa furnitur mungkin sudah diperbarui
Tungku perapian kayu untuk menghangatkan badan pada saat udara dingin
Ruang tengah

Di ruang tengah ini terdapat sebuah piano buatan tahun 1837 yang masih berfungsi dengan baik. Saya mencoba memainkan tuts-tuts piano, suaranya masih terdengar bagus dan jernih.

Piano merek Zeitter – Winkellmann, Braunchweig Georg. 1837

Lalu di manakah kamar Boscha? Pegawai hotel menunjukkan kamar Boscha yang sekaligus menjdi ruang kerjanya. Letaknya di sayap kanan rumah, masuk dari ruang makan. Kamar ini sudah dilengkapi dengan bed yang baru, tetapi meja kerja Boscha yang asli masih terdapat di dalamnya. Kata pegawai hotel, kamar ini tidak disewakan kepada tamu hotel, hanya menjadi tempat kenangan yang dirawat dengan baik.

Kamar tidur Boscha
Meja kerja Boscha

Boscha menghabiskan hidupnya di rumah ini sampai dia meninggal pada tahun 1923. Menurut alkisah, Boscha meninggal karena penyakit tetanus akibat terluka setelah dia terjatuh dari kudanya di Bukit Nini, sebuah bukit yang terletak di belakang rumahnya. Dia meninggal di pangkuan pegawainya. Boscha dimakamkan di tengah perkebunan teh, tidak jauh dari rumahnya. Saya tidak sempat melihat makamnya saat itu karena sudah mau pulang.

Rumah Boscha memang berada di area pertengahan kebun teh Malabar. Kebun teh ini sangat luas,sekitar 2000 hektar, sampai ke perbukitan di sekitarnya. Kita dapat berjalan-jalan menyusuri kebun teh yang luas itu, menikmati udara segar pegunungan yang dingin. Kita juga dapat melihat para pekerja memetik daun teh. Saat saya ke sana pada hari Minggu pemetik daun teh sedang libur, sehingga kita tidak dapat melihat pemandangan khas para wanita yang sedang memetik pucuk teh.

Kebun teh Malabar, di depan rumah Boscha

Oh ya, untuk melihat-lihat rumah Boscha pengunjung tidak perlu menginap di bangunan penginapan di samping rumah Boscha. Pengunjung dapat masuk melihat-lihat ke dalamnya dengan tiket masuk Rp5000. Jika menginap di kamar penginapan kelas standard harganya 600 ribu per malam, dan jika di rumah kayu (cottage) di belakang rumah Boscha harganya 1,2 juta per malam (di dalam satu cottage terdapat dua kamar tidur).

Saya telah membuat video kunjungan ke rumah Boscha di kanal saya di YouTube. Silakan menontonnya dengan mengklik video di bawah ini:

Dipublikasi di Cerita perjalanan, Seputar Bandung | 1 Komentar

ART Kami Telah Tiada

Tiga minggu yang lalu kami mendapat kabar yang mengagetkan. ART (pembantu) kami yang sudah bekerja dengan kami selama 15 tahun telah dipanggil oleh Allah SWT di Cibatu, Garut. Dia wafat pada har Rabu pagi tanggal 5 Juli 2022. Tidak menyangka secepat itu.

Sejak awal tahun yang lalu ART kami ini sudah sakit-sakitan. Beberapa kali dia on-off-on-off masuk kerja. Sengaja dia mengontrak sebuah kamar di RW tetangga agar dekat ke rumah kami sehingga bisa berjalan kaki ke rumah (ART kami tidak menginap, dia masuk kerja pagi dan pulang sore, sejak dulu seperti itu, sejak 15 tahun yang lalu). Sejak suaminya wafat pada awal tahun 2021, dia seperti kehilangan pegangan dan sering sakit. Meskipun sudah berulang kali tidak masuk kerja, namun dia tetap ingin bekerja di rumah kami (Baca: ART yang Kembali Lagi). Dia betah bekerja di rumah kami, buktinya sudah 15 tahun dia bekerja sejak anak bungsu kami masih berusia 6 bulan!

Awal tahun 2022 dia sudah mulai mengeluh pada kakinya. Sudah tidak kuat berjalan, namun dia tetap memaksakan diri untuk bekerja. Sudah saya katakan kepadanya, tidak apa-apa dia beristirahat saja dulu, tidak usah bekerja, tetapi dia tidak mau. ART kami juga menderita diabetes, kadar gulanya tinggi.

Karena kadar gula yang tinggi itulah makanya dia belum pernah mendapat vaksinasi covid. Ketika musim covid varian delta lagi parah-parahnya pada tahun 2021, saya dan seisi rumah sudah berhati-hati supaya tidak ada yang terkena covid. Si Bibi (ART) tergolong komorbid, beresiko tinggi jika terkena covid. Namun alhamdulillah tidak ada di antara kami yang terkena covid pada tahun 2021. Si bibi pun di rumah selalu pakai masker dan kami mewanti-wanti agar dia menghindar bertemu orang banyak, selalu pakai masker jika ketemu keluarga, dan lain-lain.

Namun pada bulan Februari 2022 istri saya terkena covid varian ommicron sepulang dari Surabaya. Istri pun harus isolasi di rumah, dan demi keselamatan semua, termasuk ART, kami pun merumahkannya, tidak mengizinkannya kerja dirumah. Dia pun pulang ke Garut, ke rumah anaknya.

Setelah istri sembuh dari covid, satu bulan kemudian, si bibi masuk kerja lagi. Namun hanya sebentar, dia sering sakit, dan puncaknya setelah dia mengeluh sudah tidak kuat berjalan. Ada keropos pada tulang kakinya. Dia pun pulang ke rumah anaknya di Garut kembali. Sejak saat itu kami tidak pernah bertemu dia lagi, sampai akhirnya pada suatu hari keluarganya di Bandung mengabarkan dia sudah tiada.

Dua minggu yang lalu kami sekeluarga mendatangi rumah anaknya di Cibatu, Garut, dengan maksud bertakziah dan berziarah. Si bibi dikuburkan di makam keluarganya, tidak jauh dari rumah anaknya. Kami sudah mengikhlaskan semuanya, termasuk semua utang bibi kepada kami. Kami pun meminta maaf kepada anak dan menantunya jika selama si bibi bekerja kami melakukan kesalahan.

Bagaimanapun ART kami sudah banyak “berjasa” kepada keluarga kami. Saya dan istri bekerja (sekarang istri saya sudah tidak bekerja lagi). Kami perlu ART yang tidak hanya mengerjakan pekerjaan rumah (mencuci, menyetrika, beres-beres rumah), tetapi juga menjaga dan menyiapkan kebutuhan anak selama kami bekerja di kantor. Anak saya masih kecil-kecil saat itu, si bungsu masih berusia 6 bulan ketika dia mulai bekerja, dua anak lain masih sekolah. ART kami yang memandikan si bungsu, memberi makan, menidurkan, lalu menunggu anak yang lain pulang sekolah, menyiapkan makan siangnya, dan sebagainya.

Satu pengalaman yang tidak terlupakan bagi saya adalah ketika si bungsu yang saat itu berusia 2 tahun hampir saja tidak bisa bernapas setelah tak sengaja buah lengkeng tertelan masuk ke tenggorokannya. Saya yang tidak ngeh saat itu tidak melihat kejadiannya. Istri saya yang melihat dan panik. Tetapi untunglah dengan sigap si bibi langsung memukul tengkuk si bungsu sehingga buah lengkeng itu keluar dari mulutnya. Terlambat sedikit bisa fatal. Saya yang tidak punya pengalaman tentang kasus seperti ini tentu juga panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Namun si bibi mungkin sudah punya banyak pengalaman hidup mengasuh anak sehingga dia tahu apa yang harus dilakukan.

Alfatihah buat si bibi, ART kami yang setia. Semoga Allah SWT melapangkan kuburnya dan menempatkannya pada tempat yang layak di sisi-Nya.

Dipublikasi di Romantika kehidupan | 1 Komentar

Pengalaman PPDB SMA di Kota Bandung Tahun 2022 (Bagian 2)

Setelah mengetahui PPDB Tahap 1 dari jalur prestasi rapor tidak lolos, anak saya bersedih hati. Dia mengurung diri di kamar. Harapan untuk bisa bersekolah di SMA negeri tidak berhasil. Saya pun gundah gulana dan timbul penyesalan kenapa tidak melihat pergerakan skor nilai di SMA lain sebelum memutuskan memilih pilihan 1 dan pilihan 2 seperti yang saya ceritakan pada tulisan bagian ke-1.

Tapi masih ada tahap 2 yaitu seleksi melalui jalur zonasi, artinya mencoba mendaftar ke SMA negeri dekat rumah. Sistem zonasi ini berdasarkan jarak rumah ke sekolah. Jarak yang dimaksud adalah jarak garis lurus, diukur dengan menggunakan Google Map. Jadi, meskipun jarak dari rumah ke sekolah menggunakan kendaraan bermotor melalui jalan umum bisa mencapai lebih dari satu km, tetapi jarak garis lurusnya di Google Map bisa jadi hanya beberapa ratus meter saja.

Di sekitar Antapani hanya ada dua SMA negeri yang bisa dipilih, yaitu SMAN 23 di Jalan Malangbong dan SMAN 16 di Jalan Mekarsari, Kiaracondong. Jarak garis lurus dari rumah kami ke SMAN 23 sekitar 1,2 km, sedangkan jarak garis lurus ke SMAN 16 adalah 512 meter. Tahun lalu siswa yang diterima di SMAN 23 paling jauh jaraknya sekitar 600-an meter. Jadi hopeless lah ya ke SMAN 23. Sedangkan di SMAN 16 tahun lalu siswa yang diterima paling jauh sekitar 500-an meter. Jadi ada harapan lah ya. Kami pun mendaftarkan Fajar pada tahap 2 ini dengan salah satu pilihannya adalah SMAN 16.

Di bawah ini adalah rekapitulasi hasil PPDB tahun 2022 jalur zonasi untuk semua SMA negeri di kota Bandung (perhatikan kolom tabel bagian kanan saja). Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata jarak terjauh yang diterima adalah di bawah 1 km. Hanya tiga SMAN yang jarak terjauhnya di atas 1 km, yaitu SMAN 21, SMAN 25, dan SMAN 27. Jarak terjauh terkecil yang diterima adalah di SMAN 14, yaitu 307 meter.

Dari tabel rekapitulasi di atas dapat diketahui bahwa jarak terjauh yang diterima di sekolah negeri dari tahun ke tahun semakin berkurang saja jaraknya, semakin mendekat ke sekolah. Padahal pemukiman penduduk di kota Bandung semakin lama semakin ke pinggiran kota. Apakah penyebabnya ini? Apakah semakin banyak warga memiliki rumah yang semakin dekat dengan sekolah negeri?

Dari komentar-kementar orangtua di akun instagram @disdikjabar yang kesal dan marah karena anaknya tidak lolos jalur zonasi meskipun rumah dekat dengan sekolah, saya menangkap kesan bahwa jalur zonasi ini rawan kecurangan. Para orangtuaa melaporkan bahwa teman anaknya yang rumahnya jauh dari sekolah lolos jalur zonasi, sedangkan anaknya yang dekat dengan sekolah malah tidak lolos. Benar atau tidak, hal ini perlu diselidiki lebih jauh kenapa bisa demikian. Kejadian ini banyak terjadi di kota dan kabupaten lain di Jawa Barat, saya tidak tahu di kota Bandung apakah ada kasus seperti ini.

Namun saya menduga masalah ini terjadi karena pada tahun ini banyak orangtua melakukan modus menumpang KK (Kartu Keluarga) ke rumah orang lain yang dekat dengan sekolah. Jadi misalnya rumah calon siswa jauh dari sekolah, tapi karena ingin masuk ke SMA negeri tertentu, maka orangtuanya menumpang KK ke pemilik rumah yang dekat sekolah (tentu saja dengan imbalan uang). Anehnya, cara menumpang KK ini diperbolehkan (legal) asalkan ada pernyataan persetujuan dari pemilik rumah. Panita PPDB di sekolah tidak memiliki kewenangan menyelidiki kebenaran alamat siswa yang sesungguhnya, mereka hanya bekerja berdasarkan data yang diterima (bukti KK).

Orangtua teman anak saya pada tahun lalu pernah ditawari pemilik rumah dekat sebuah SMA negeri untuk ditumpangkan nama anaknya di KK pemilik rumah dengan bayaran 15 juta rupiah. Namun dia tidak mau karena itu sama saja melakukan kebohongan.

PPDB jalur zonasi ini selalu bermasalah setiap tahun. Selalu muncul celah untuk mengakali aturan, seperti memanipulasi KK, menumpang KK, dan sebagainya. Tujuan awal jalur zonasi ini adalah agar siswa tidak perlu jauh-jauh besekolah, namun faktanya banyak siswa yang jauh dari sekolah diterima, sedangkan siswa yang dekat dengan sekolah justru tidak diterima karena adanya modus menumpang KK tersebut. Hak siswa dekat sekolah dirampas oleh siswa yang jauh dari sekolah.

Saya dari dulu agak kurang setuju seleksi jalur zonasi ini dengan kuota yang sangat besar (50%). Jalur zonasi terkesan “menguntungkan” bagi siswa yang tinggal dekat sekolah negeri. Mereka tidak perlu belajar rajin-rajin, tidak perlu berkompetisi, karena nanti sudah pasti diterima di sekolah dekat rumah. Hanya siswa-siswa yang rumahnya di dekat sekolah saja yang bisa bersekolah di sana, sedangkan siswa lain yang rumahnya jauh tidak akan pernah bisa. Kondisi seperti ini akan berlangsung secara turun temurun jika aturannya tetap seperti itu. Masalahnya sekolah negeri di Bandung (dan di Jawa Barat umumnya) tidak merata persebarannya, ada wilayah yang padat penduduk tetapi tidak mempunyai sekolah negeri atau hanya memiliki satu sekolah negeri. Kasihan dengan anak-anak yang memiliki prestasi tetapi tidak dapat masuk sekolah negeri karena rumah mereka sangat jauh dari sekolah. Mau masuk melalui jalur prestasi juga gagal karena kuotanya sedikit sekali. Mau masuk sekolah swasta belum tentu mampu. Bahkan banyak sekolah swasta, terutama yang berkualitas bagus, sudah tutup pendaftaran sebelum PPDB sekolah negeri. Mau sekolah di mana lagi? Maka, PPDB tahun 2022 meninggalkan banyak cerita sedih dan derai air mata dari siswa dan orangtua yang kecewa karena PPDB yang dianggap tidak fair dan banyak masalah.

Untuk tahun-tahun selanjutnya aturan PPDB ini perlu dievaluasi dan diperbaiki. Pak menteri yang membuat aturan PPDB ini sebaiknya mengubah Permendikbudnya. Berikan kesempatan yang besar bagi anak-anak berprestasi masuk sekolah negeri. Kuota jalur prestasi ditingkatkan hingga 50 persen, sedangkan kuota jalur zonasi cukup 25% saja. Tegakkan aturan yang tegas tentang kartu keluarga, jangan sampai ada kecurangan memanipulasi KK.

Oh ya, saya lupa menceritakan bagaimana hasil seleksi jalur zonasi anak saya? Alhamdulillah, Fajar diterima di SMAN 16 karena jarak rumah ke sekolah 512 meter, sedangkan jarak terjauh yang diterima 527 meter. Hampir saja tidak lolos mengingat banyaknya pendaftar ke sekolah itu. Apalagi SMA ini terletak di wilayah pemukiman penduduk yang padat, tentu banyak pendaftar yang rumahnya dekat sekolah. Sempat hopeless juga, dan untuk jaga-jaga saya mendaftarkan Fajar ke sebuah sekolah swasta sebagai cadangan jika tidak lolos masuk sekolah negeri. Namun mungkin rezeki anak kami bisa lolos ke sana. Saya berikan pilihan kepadanya, mau mengambil sekolah swasta itu atau SMAN 16, dan dia memilih di SMAN 16 saja.

Tampak depan SMA Negeri 16 Bandung
Bagian dalam sekolah dan lapangan upacara
Ruang-ruang kelas lainnya

SMA Negeri 16 itu berada di gang pemukiman yang rapat penduduk. Untuk menuju ke sekolah ini kita melewati jalan yang tidak terlalu lebar. Dari luar terlihat kecil, tetapi setelah kita masuk ke dalamnya, wow lumayan luas juga. Tidak menyangka di balik pemukiman penduduk yang padat terdapat sekolah yang luas. Ruang kelasnya banyak dan bangunannya terlihat cukup bagus. Semoga saja Fajar betah sekolah di sana. Ini PPDB terakhir buat dia dan buat keluarga kami. Tidak ada lagi anak saya yang akan ber-PPDB. Anak kami tiga orang, dan Fajar adalah anak bungsu. Sekarang tinggal menyiapkan dia untuk belajar yang rajin agar bisa masuk perguruan tinggi negeri kelak. (TAMAT)

Dipublikasi di Pendidikan, Seputar Bandung | 2 Komentar

Pengalaman PPDB SMA di Kota Bandung Tahun 2022 (Bagian 1)

Penerimaan Peserta Didik baru (PPDB) SMA dan SMK negeri di Jawa Barat tahun 2022 sudah selesai. Hasil seleksi tahap 2 (jalur Zonasi) untuk SMA dan SMA sudah diumumkan pada tanggal 8 Juli 2022, daftar ulang juga sudah tuntas, dan minggu depan tanggal 18 Juli 2022 sudah dimulai tahun ajaran baru yang diawali dengan MPLS (masa pengenalan lingkungan sekolah).

Ini merupakan PPDB terakhir untuk anak saya yang bungsu. Kakaknya sudah mengikuti PPDB ketika mendaftar ke SMP dan SMA negeri. Si bungsu yang bersekolah di sebuah SMP negeri di tahun ini lulus SMP dan melanjutkan ke SMA. Saya (dan juga anak) memang penganut negeri-minded, selalu memilih sekolah negeri. Bukan karena alasan sekolah negeri itu murah, tetapi lebih karena saya ingin anak menjalani belajar di lingkungan yang heterogen untuk menumbuhkan semangat egaliter dan kebangsaan. Di sekolah negeri siswa-siswanya berasal dari latar belakang ekonomi keluarga yang berbeda, suku dan agama yang berbeda, serta kebiasaan hidup yang berbeda pula. Hanya ketika SD saja saya memilih sekolah swasta Islam agar anak memiliki landasan agama yang kuat untuk bekal hidupnya nanti.

Pada tulisan ini saya hanya membahas PPDB SMA saja ya, karena sekolah yang dituju adalah SMA. PPDB SMA di Jawa Barat ada dua tahap atau dua gelombang. Tahap 1 adalah seleksi untuk jalur afirmasi (KETM, ABK, kondisi tertentu), jalur perpindahan tugas orangtua/anak guru, dan jalur prestasi (prestasi rapor dan prestasi kejuaraan). Jika tidak lulus pada tahap 1, calon siswa masih bisa mengikuti tahap 2, yaitu jalur zonasi. Jalur zonasi ini adalah seleksi berdasarkan jarak garis lurus dari rumah ke sekolah tujuan. Makin dekat jaraknya, makin besar peluang diterima.

Poster PPDB SMA-SMK-SLB Jawa Barat 2022

Fajar, anak bungsu saya dari SMP Negeri 44 kota Bandung, ikut seleksi tahap 1, yaitu seleksi jalur prestasi berdasarkan nilai rapor. Karena Ujian Nasiona(UN) sudah ditiadakan, maka satu-satunya alat ukur seleksi adalah nilai rapor lima semester dari kelas 7 sampai kelas 9. Nilai rapor semua pelajaran (12 pelajaran) pada setiap semester dijumlahkan lalu dihitung rata-ratanya. Nilai rata-rata rapor semua semester dijumlahkan, dan itulah yang menjadi skor nilai. Tahun lalu perhitungan skor lebih rumit karena menggunakan rumus kalibrasi dan memperhitungkan ranking di kelas. Tahun ini lebih sederhana yaitu berupa rata-rata nilai rapor saja.

Namun disinilah masalahnya, yang menjadi kelemahan PPDB jalur prestasi rapor. Tidak ada standar nilai rapor antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Nilai 80 di sebuah sekolah untuk sebuah pelajaran tentu tidak sama dengan nilai 80 di sekolah lainnya untuk pelajaran yang sama. Ada sekolah yang guru-gurunya sangat ketat dalam memberikan nilai, sebaliknya ada sekolah yang gurunya sangat “pemurah” dalam memberikan nilai. Siswa yang berasal dari sekolah yang pemurah memberikan nilai rapor akan diuntungkan karena skor rapor mereka akan tinggi-tinggi dibandingkan siswa yang sekolahnya sangat ketat dan selektif dalam memberikan nilai. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa nilai di dalam rapor siswa bukan nilai murni tetapi nilai yang dikatrol agar melewati nilai KKM.

Inilah yang terjadi pada hasil seleksi PPDB jalur prestasi tahun ini. Di sebuah SMA negeri “favorit” di jalan Belitung, urutan rangking 1 sampai 12 yang diterima semuanya “dikuasai” oleh siswa-siswa hanya dari sebuah SMP swasta saja. Siswa-siswa tersebut juga menguasai SMA favorit lainnya di kota Bandung, mengalahkan siswa-siswa dari SMP lain. Skor nilai rapor siswa dari SMP tersebut hampir semuanya di atas 480, paling tinggi 495. Jika dibagi lima semester, 495/5 = 99, berarti nilai rata-rata per semester di rapor siswa tersebut adalah 99. Kebayang kan nilai-nilai pelajaran di rapor siswa tersebut banyak bernilai 100, hanya satu dua saja yang benilai 98 atau 97. Secara logika ini tidak wajar, hampir sulit bisa menerima ada siswa yang nyaris sempurna untuk semua pelajaran di sekolah, termasuk pelajaran olahraga, seni budaya, atau bahasa Sunda? Biasanya kan siswa bagus dalam pelajaran tertentu dan kurang dalam pelajaran yang lain. Tapi ya sudahlah, wallahualam, saya tidak mau berspekulasi macam-macam tentang nilai rapor siswa-siswa yang menakjubkan tersebut. Positive thingking saja, mungkin saja betul kualitas siswanya luar biasa sehingga pantas menerima nilai pelajaran nyaris sempurna di dalam rapor mereka.

Di bawah ini adalah rekapitulasi hasil PPDB SMA negeri di kota Bandung jalur prestasi rapor yang diresumekan dari situs http://ppdb.disdik.jabarprov.go.id (perhatikan kolom tabel Jalur Prestasi Rapor saja, untuk jalur zonasi akan dibahas pada seri tulisan kedua nanti). Terlihat passing grade (nilai skor terendah yang diterima) SMA negeri di kota Bandung tinggi-tinggi. Passing grade tertinggi terdapat di SMA Negeri 3 Bandung, yaitu 473.545, selanjutnya SMA Negeri 5 (465.067), SMA Negeri 8 yaitu 463.455, SMA Negeri 2 (463.067), SMA Negeri 20 (454), SMA Negeri 1 (453), SMA Negeri 24 (452.273), dan SMA Negeri 4 (450.545). Itulah delapan SMA negeri yang dipersepsikan warga kota Bandung sebagai SMA “favorit”, istilah yang tidak pernah bisa hilang meskipun penerimaan siswa sekarang ini paling banyak melalui jalur zonasi.

Lalu bagaimana dengan anak saya? Dia tidak lulus pada jalur prestasi nilai rapor ini, baik pada pilihan 1 (SMAN 1 Bandung) maupun pilihan 2 (SMAN 14 Bandung)! Padahal kami mendaftar pada hari terakhir untuk melihat perkembangan nilai-nilai pendaftar yang sudah masuk. Saya tidak menyangka passing grade yang tinggi-tinggi itu, bahkan pilihan 2 di SMA negeri yang “sedang” sekalipun tidak lulus. Bisa dipahami kenapa demikian, sebab pendaftar jalur prestasi rapor ini luar biasa banyak, sedangkan kuotanya sedikit sekali (jalur prestasi kuotanya hanya 25%, itupun dibagi dua untuk kuota prestasi rapor dan prestasi kejuaraan). Di SMA Negeri 1 Bandung misalnya, jumlah pendaftar jalur prestasi rapor hampir mencapa 500 orang, sedangkan kuotanya hanya 68 orang saja. Sedikit sekali.

Agak salah strategi juga kami dalam memilih pilihan 1 dan pilihan 2, luput memperhatikan ada SMAN lain yang kemungkinan besar bisa lolos. Sayangnya di website PPDB tidak ditampilkan hasil seleksi sementara yang memuat peserta yang lolos sementara dari nilai tertinggi hingga passing grade (nilai terendah yang diterima). Hanya ada data pendaftar saja, jadi saya coba mengurutkan sendiri skor nilai di SMA negeri yang dipilih. Kalau tidak lolos di SMAN 1 ya setidaknya lolos di SMAN 14. Namun sampai hari terakhir pendaftaran belum semua data pendaftar masuk ke website PPDB, masih diverifikasi oleh petugas sekolah sehingga saya tidak tahu lagi nilai-nilai pendaftar lain yang belum masuk tersebut.

Menurut pendapat saya, jalur prestasi rapor ini seharusnya “hak” siswa-siswa yang rumahnya jauh dari sekolah negeri, sebab kalau pakai jalur zonasi pasti mereka akan kalah oleh siswa-siswa yang rumahnya dekat dengan sekolah. Namun kenyataannya, siswa-siswa yang dekat sekolah pun (yang seharusnya bisa diterima melalui jalur zonasi) mencoba peruntungan nasib dengan ikut seleksi jalur prestasi rapor. Karena tidak ada larangan untuk ikut jalur prestasi, maka mereka pun mencoba jalur ini. Hak siswa yang jauh dari sekolah seolah-olah “terampas” oleh mereka.

Sebaiknya PPDB seleksi jalur prestasi tidak dilakukan pada tahap 1, tetapi pada tahap 2. Seleksi jalur zonasi terlebih dahulu (tahap 1), sehingga siswa-siswa yang tidak diterima pada jalur zonasi ini (karena rumahnya jauh dari sekolah) akan berjuang pada jalur prestasi. Kuota jalur prestasi juga seharusnya dinaikkan menjadi 50% karena mayoritas siswa bertempat tinggal sangat jauh dari sekolah, bahkan ada pemukiman yang tidak mempunyai SMA negeri. Kuota jalur zonasi cukup 25% saja yang diperuntukkan bagi siswa-siswa yang rumahnya dekat sekolah. Usulan lainnya adalah menampilkan hasil seleksi sementara yang memperlihatkan pergerakan skor dari tertinggi ke terendah di setiap sekolah, sehingga ketika nilai passing grade sementara diketahui, orangtua siswa dapat memindahkan pendaftaran anaknya ke SMA lain yang masih punya harapan untuk bisa lolos.

Berbagai rumor bertebaran di media sosial terkait rekayasa nilai rapor jelang PPDB. Meskipun rumor tersebut sulit dibuktikan, namun faktanya memang ada. Saya mendengar dari seseorang, dirinya ditawari oleh oknum sebuah seolah untuk menaikkan nilai rapor anaknya agar bisa diterima di SMA negeri favorit tapi dengan imbalan 15 juta. Syukurlah dia tidak mau, karena dia tidak ingin mengawali sekolah anaknya dengan perbuatan curang, nanti bisa jadi anaknya akan melakukan hal yang sama jika besar nanti. Tidak barokah, demikian intinya.

Untuk tahun-tahun selanjutnya, jika seleksi jalur prestasi tetap memakai nilai rapor seperti saat ini, maka akan membuka peluang terjadinya berbagai penyimpangan dan kecurangan. Guru akan terpacu memurahkan nilai rapor agar semakin banyak siswanya diterima di sekolah negeri. Mengubah nilai rapor atau me-mark up nilai rapor, yang mungkin saja dengan imbalan uang, agar nilai rapor siswa tinggi-tinggi sehingga peluang lolos PPDB makin besar, akan semakin marak dilakukan oleh oknum di sekolah (baca berita ini: Oknum Wali Kelas SMPN 1 Padang Curang, Dongkrak Nilai 49 Siswa agar Bisa Ikut PPDB SMA Jalur Prestasi). Kenapa bisa demikian, karena rapor siswa saat ini tidak lagi berbentuk buku, tetapi berupa lembaran kertas yang dicetak dengan printer. Lembaran tersebut bisa dicetak ulang lagi setelah rapor diubah dan ditanda-tangani ulang. Semudah itu. Mutu pendidikan menjadi tidak penting lagi, yang penting nilai (dan uang).

Jalur seleksi PPDB yang paling fair tetaplah seperti pada zaman kami sekolah dulu, yaitu berdasarkan NEM (nilai Ebtanas murni), atau nilai UN (ujian nasional). Sayangnya Mendikbud yang sekarang sudah menghapus UN untuk semua jenjang (SD, SMP, dan SMA). Tidak adalagi alat ukur yang adil untuk melakukan seleksi ke jenjang pendidikan selanjutnya. Padahal UN itu sudah bagus untuk mengukur capaian pembelajaran siswa, selain juga dapat digunakan sebagai kriteria seleksi masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya. Tapi ya sudahlah, kita ini hanya rakyat biasa tidak bisa berbuat apa-apa.

(BERSAMBUNG ke tulisan seri ke-2)

Dipublikasi di Pendidikan, Seputar Bandung | 10 Komentar

Beda Hari Raya Idul Adha (lagi)

Tahun ini terjadi perbedaan hari raya Idul Adha di Arab Saudi dan di Indonesia. Pemerintah Saudi menetapkan tanggal 10 Zulhijjah jatuh pada hari Sabtu 9 Juli 2022, sedangkan Pemerintah Indonesia pada hari Minggu 10 Juli 2022 (kecuali Muhammadiyah menetapkan Hari Raya Idul Adha pada hari Sabtu, sama dengan Saudi). Dua-duanya benar karena masing-masing pihak punya alasan dan dalil yang sama kuat.

Yang menjadi pertanyaan, lalu puasa sunnah Arafah pada hari apa? Hari Jumat atau Sabtu? Di Saudi hari wukuf di Arafah (9 Zulhijjah) jatuh pada hari Jumat, sedangkan di RI dan ASEAN tanggal 9 Zulhijjah jatuh pada hari Sabtu.

Bagi yang meyakini puasa Arafah pada saat wukuf di Arafah maka mereka melaksanakan puasanya pada hari Jumat, sama seperti di Saudi. Sedangkan bagi yang mengikuti ketetapan Pemerintah maka ia akan puasa Arafah pada hari Sabtu.

Saya memilih yang terakhir, yaitu pada hari Sabtu, ikut ulil amri saja. Alasannya, puasa Arafah itu adalah pada tanggal 9 Zulhijjah, dan tanggal 9 Zulhijjah itu di negara RI dan ASEAN ditetapkan pada hari Sabtu.

Jika meyakini puasa Arafah pada saat wukuf di Arafah (yaitu hari Jumat nanti), maka negara-negara yang waktunya 10 jam lebih lambat dari Saudi (misalnya di Amerika, CMIIW), maka mereka tidak akan pernah bisa puasa Arafah, sebab saat itu di negara mereka masih malam,dan jika mereka puasa Arafah pada keesokan harinya, maka wukuf di Arafah di Saudi sudah selesai.

Begitulah logika saya yang awam tentang agama. CMIIW. Maunya sih hari raya itu tidak ada perbedaan hari, inginnya serentak dan sama, bersatu gitu, baik NU, Muhammadiyah, maupun Pemerintah. Tapi perbedaan pendapat seperti ini sudah cukup sering berlangsung sejak zaman dulu, dan untunglah orang Islam di Indonesia tidak pernah mempersoalkan perbedaan hari raya itu. Mau duluan satu hari atau dua hari, mau telat satu hari atau dua hari, biasa-biasa saja. Silakan meyakini pilihan mana yang dianggap benar.

Dipublikasi di Agama, Indonesiaku | Meninggalkan komentar

Inspirasi dari Prof. Hariadi P. Soepangkat (alm)

Prof. Hariadi Paminto Soepangkat sudah dua tahun yang lalu wafat. Beliau adalah dosen Fisika ITB sekaligus mantan Rektor ITB. Sewaktu saya menjadi mahasiswa ITB, rektor ITB dijabat oleh Prof. Hariadi.

Secara pribadi saya tidak mengenal Prof Hariadi. Saya hanya tahu dia adalah rektor saya. Itu saja. Pun, saya tidak pernah diajar Fisika Dasar oleh Prof Hariadi ketika tahap TPB dulu.

Hari ini saya mendapat kiriman tulisan yang ditulis oleh Jansen Sinamo, salah satu mahasiswa Departmen Fisika ITB yang pernah menjadi murid Pak Hariadi. Tulisannya sangat berkesan bagi saya, sebab dari ceritanya itu saya mendapat gambaran seperti apa sosok Prof Hariadi dalam mengajar. Sungguh Prof Hariadi adalah seorang yang sangat inspirasional. Semoga saya bisa mencontoh hal yang positif ini dari Prof Hariadi dalam mendidik mahasiswa saya di ITB. Saya bagikan tulisan dari Jansen Sinamo ini kepada pembaca.

Prof. Hariadi P. Soepangkat (Sumber: Tempo)

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bandung, 1980

Pada sebuah ruang kuliah bangunan Belanda di ITB

Sekitar dua puluh menit setelah kuliah Fisika Kuantum berlangsung, usai menggambar orbit-orbit lintasan elektron pada atom hidrogen di papan tulis, tiba-tiba dipanggilnya nama saya.

“Saya, Pak,” jawab saya terkejut sambil mengangkat tangan.

Beliau lalu menanyakan kota asal saya. Saya katakan berasal dari Sidikalang. Langsung beliau ingat dengan seorang kawannya, Andi Hakim Nasution dari IPB konon daerah saya terkenal dengan kopinya.

Sambil menuruni panggung kuliah yang rapat dengan papan tulis dan berjalan mendekati saya di barisan depan.

“Dari Medan, berapa kilometer jauh, dan berapa ongkosnya?”

“Seratus lima puluh kilometer, dengan ongkos bus lima ribu rupiah, Pak”

“Kalau uang Saudara cuma tiga ribu, sampai di mana itu?”

“Berastagi, Pak.”

Sesudah kembali ke panggung, sambil memandang semua mahasiswa, Pak Hariadi berkata, “Kira-kira inilah yang dimaksud dengan energi ambang. Jika uang Saudara Jansen Sinamo cuma tiga ribu, ia tidak akan sampai ke Medan. Lima ribu adalah uang ambang yang diperlukan agar dia bisa sampai ke Medan dari Sidikalang.”

“Demikian pula elektron: ia butuh energi ambang, yaitu energi minimum yang harus ia miliki untuk pindah ke orbit yang lebih tinggi.”

Dengan cara mengajar yang menarik tersebut, membuat saya kagum dan senang dengan mata kuliah Fisika Kuantum yang disampaikan oleh Doktor lulusan Universitas Purdue tersebut. Selain Teori Relativitas Umum, mata kuliah tersebut adalah mata kuliah bergengsi dengan nilai kredit empat.

Rupanya cara mengajar beliau itu berpengaruh besar terhadap prestasi saya.

Sejak saat itu, rasa suka saya pada Pak Hariadi Paminto Soepangkat kian berlipat ganda. Sebagai akibatnya, berlipat ganda pula minat saya pada Fisika Kuantum. Singkat cerita, pada ujian akhir semester saya mendapat nilai A. Bagi saya, hal ini sungguh tidak lazim. Jarang sekali saya mendapat nilai A. Di antara angkatan 1978 lainnya, saya adalah mahasiswa rata-rata: mayoritas nilai saya C, beberapa B, tapi nilai A sungguh sangat sedikit.

Tapi, mendapat A untuk Fisika Kuantum rasanya selangit. Buat saya, hal itu setara dengan nilai A untuk sepuluh mata kuliah lain. Fisika Kuantum adalah salah satu mata kuliah paling bergengsi di Jurusan Fisika, dan kreditnya maksimum: empat.

Mengapa saya mendadak jadi sangat pintar? Saya akhirnya menyadari bahwa itu semua dikarenakan cara mengajar Pak Hariadi yang, buat saya, luar biasa.

Betapa tidak. Dia selalu sudah ada di kelas sepuluh menit sebelum kuliah dimulai. Sedangkan hampir semua mata kuliah lain, mahasiswanya yang menunggu dosen. Pak Hariadi sebaliknya.

Pak Hariadi selalu tampil necis. Beliau juga selalu memastikan kelasnya bersih. Dia membersihkan sendiri papan tulis dengan kain lap basah yang dibawanya. Ada tiga papan tulis besar di kelas kami. Dibersihkannya dulu papan tulis ketiga saat ia mulai memakai papan tulis pertama, sehingga papan tulis ketiga itu sudah kering saat ia akan memakainya. Demikian seterusnya sampai kuliahnya yang berdurasi 120 menit itu selesai.

Selama lima tahun masa perkuliahan saya, tidak pernah saya bertemu dengan dosen lain yang mampu menyamai kerapihan dan keindahan tulisan tangan Pak Hariadi.

Pak Hariadi juga pekerja cepat. Jika hari ini diadakan ujian, esok harinya jawaban soal-soal sudah tertempel di papan pengumuman. Di Jurusan Fisika, hanya Pak Hariadi yang mampu dan cukup disiplin untuk berbuat demikian.

la pun hafal nama semua mahasiswa yang diajarnya. Ia mampu memanggil nama mahasiswa secara acak, dan, seperti saya sebelumnya, setiap mahasiswa yang disebut namanya diajaknya berinteraksi. Dari interaksi pendek tersebut, keluarlah ilustrasi yang menjelaskan konsep Fisika Kuantum. Ilustrasi yang membumi tersebut tidak hanya sangat menolong. Dalam tataran psikologis, mahasiswa juga merasa dilibatkan, bahkan dijadikan bintang dalam momen pendek tersebut. Tak pelak, kuliah Pak Hariadi selalu digandrungi. Fisika Kuantum jadi mudah dimengerti, gampang diikuti, dan menarik untuk ditelusuri.

Pak Hariadi bukanlah tipe dosen yang merasa puas jika kuliahnya sukar diikuti. la bukan tipe pengajar yang berbahagia melihat mahasiswa pusing tujuh keliling, lalu jadi takut dan jeri pada pelajarannya. Tak ada sedikit pun perangai galak padanya, apalagi killer. la memenuhi ciri orang cerdas menurut Albert Einstein: orang cerdas ialah orang yang mampu membuat perkara sulit menjadi mudah, sedangkan orang bodoh malah membuat perkara mudah menjadi sukar. Fokus keguruan Pak Hariadi adalah membantu mahasiswanya memahami pelajaran dengan mudah, supaya tumbuh gairah dan kecintaan pada pelajaran tersebut. Jadi, sebenarnya tidak terlalu mengherankan jika saya bisa dapat nilai A.

Saat liburan ke Sidikalang, sensasi nilai A itu masih terbawa. Tak tahan, saya menulis surat kepada pak Hariadi mengucapkan rasa syukur dan terimakasih dan apresiasi saya terhadap cara beliau mengajar.

Dengan cepat surat itu dibalasnya, yang mengatakan dari 30 mahasiswa yang mendapat nilai A, hanya saya yang berkirim surat. Beliau juga mengucapkan terimakasih atas apresiasi saya. Di penutup surat, usai menitipkan salam kepada orang tua saya, beliau mengundang saya untuk datang ke kantornya usai liburan.

Saya ceritakan hal itu kepada orangtua, dan mereka lalu menitipkan ulos, selain kopi Sidikalang yang pernah beliau sebut saat perkuliahan.

Sampai di Bandung, saya pun menghadap ke kantor Dekan F-MIPA. Di ujung percakapan, tanpa saya duga Pak Hariadi meminta agar saya bersedia menjadi asistennya untuk semester berikut. Terhenyak saya. Tubuh saya mendadak ringan seperti kapas di awang-awang. Tanpa pikir panjang, tawaran itu segera saya sambut.

Ketika Pak Hariadi sadar bahwa saya membawa cinderamata ulos, dia sempat tertegun lalu berkata, “Wah, istri saya harus ikut bersama saya menerima ini. Terima kasih. Ini penghargaan yang sangat tinggi.” Malam itu juga, di rumah Pak Hariadi di bilangan Sangkuriang, saya menjadi tamu keluarga. Saya diundang untuk makan malam dan bercakap-cakap dengan akrab. Dalam momen itulah saya menyerahkan ulos dan kopi Sidikalang.

Hingga saya tamat kuliah pada akhir 1983-saat itu Pak Hariadi sudah menjabat sebagai Rektor ITB-saya membantunya sebagai asisten kuliah Fisika Kuantum. Diajar oleh Pak Hariadi dan menjadi asistennya merupakan salah satu pengalaman akademik paling berkesan dan terpenting untuk saya selama kuliah di ITB Bandung.

Andai semua guru Matematika, Fisika, dan Kimia di semua SMA di negeri ini sanggup mengajar seperti Pak Hariadi, niscaya semua mata pelajaran sulit itu tidak akan menjadi momok untuk generasi muda kita. Malah, Matematika dan Sains akan menjadi mata pelajaran favorit.[]

Sumber: Buku 8 Etos Keguruan Jansen Sinamo

Dipublikasi di Pendidikan, Seputar ITB | Meninggalkan komentar

Hari gini mahasiswa belum punya paspor?

Suatu siang saya ngobrol-ngobrol dengan mahasiswa bimbingan TA yang akan wisuda bulan Juli nanti.

+ Sudah punya paspor?

Belum, pak.

+ Hah, hari gini mahasiswa belum punya paspor? Udah mau lulus lagi.

Iya pak, belum terpikir

+ Katanya kamu udah diterima bekerja di perusahaan X tersebut. Kalau tiba-tiba kamu ditugaskan ke Singapore atau ke India, bagaimana? Kamu belum punya paspor. Tidak cepat lho mengurus paspor itu, tidak bisa mendadak dua hari sebelum pergi.

Banyak dari mahasiswaku yang tingkat akhir, dan sebentar lagi akan wisuda, sudah mendapat pekerjaan tetap sebelum lulus. Perusahaan tempat mereka bekerja rata-rata perusahaan ternama dengan gaji wah. Ada yang di Jakarta, Singapura, Jepang, dan lain-lain. Kalau mahasiswa yang sudah pasti dapat pekerjaan di luar negeri tentu sudah mengurus paspor. Tapi bagi yang bekerja di dalam negeri juga sudah seharusnya memiliki paspor, karena ada kemungkinan tiba-tiba mendapat tugas ke luar negeri. Tanpa paspor tentu orang tidak bisa menyeberangi perbatasan.

Saya jadi teringat tulisan Rhenald Kasali tentang paspor (pernah saya tulis pada postingan ini: Passport, Tiket Untuk Melihat Dunia (Tulisan Inspiratif dari Rhenald Kasali). Paspor adalah surat izin untuk memasuki dunia global. Tanpa paspor, kita tidak bisa pergi ke mana-mana. Mau jalan-jalan ke luar negeri, mau sekolah atau magang di LN, mau pergi dinas, mau pergi umrah dan haji, tentu membutuhkan paspor.

Dulu saya berpikiran membuat paspor itu membutuhkan waktu setidaknya satu minggu, mulai dari memasukkan berkas persyaratan, antri wawancara, sesi foto, sampai mendapat paspor yang berupa buku setebal buku nikah. Tetapi sekarang ada e-paspor yang lebih cepat lagi prosesnya. Malah saya baru tahu kalau sekarang juga bisa membuat paspor dalam waktu sehari saja, yang tentu saja biayanya lebih mahal (tiga kali lipat). Baca: Cara Membuat Paspor dalam Waktu Satu Hari.

Jadi, sudah saatnya mahasiswa mengurus paspornya mulai dari kini. Siapa tahu tiba-tiba Anda mendapat kesempatan magang atau pertukaran pelajar di luar negeri, atau sekedar refreshing saja menjadi turis backpacker ke negara tetangga.

Ngomong-ngomong paspor saya sudah habis masa berlakunya dan harus diperpanjang lagi. Ke kantor imigrasi dulu ah…

Dipublikasi di Gado-gado, Pendidikan, Seputar ITB | 2 Komentar

Oleh-oleh dari Kampung dari Mahasiwa Bimbingan

Suatu hari mahasiswaku datang mau bimbingan Tugas Akhir (TA). Dia membawa oleh-oleh dari kampung halamannya. Kebetulan saat itu baru selesai libur lebaran dan kampus sudah buka kembali.

“Ini buat bapak”, katanya, sambil menyerahkan sebuah plastik keresek berisi kue khas kampung halamannya.

Saya tahu niat baiknya, tulus, namun saya tidak bisa menerimanya karena dia masih dalam penilaian saya. Dia mahasiswa bimbingan saya, nilai tugas akhirnya tergantung dari saya.

“Bagikan saja buat teman-temanmu di kosan ya”, kata saya sambil tersenyum. Saya tidak ingin menyakiti perasaannya, jadi oleh-oleh tersebut tetap bermanfaat bagi teman-temannya di kos-kosan. Alhamdulillah, dia bisa memahami dan mengerti sikap saya tersebut. Akhirnya bimbingan TA pun dilanjutkan kembali tanpa terganggu dengan kejadian tadi.

Meskipun saya tahu ini adalah budaya keramahtamahan bangsa kita, yaitu sering membawa oleh-oleh ketika bertamu, namun menurut saya momennya tidak tepat.

Saya pun paham mereka memberi itu tidak punya maksud apa-apa sih, tetapi prinsip tidak menerima pemberian apapun dari orang yang berada di bawah tanggung jawab kita, di bawah penilaian kita, harus diterapkan. Dengan demikian kita tidak punya beban dalam menilai mereka. Tidak terikat dengan pemberian yang pernah mereka berikan.

Saya tidak akan menyebut itu gratifikasi atau pun istilah lainnya. Selama mahasiswa masih terikat dengan saya, baik mahasiswa wali, maupun mahasiswa bimbingan kita, saya tidak mau menerima apapun dari mereka.

Sebaiknya mahasiswa tidak usah memberi kami apa-apa. Menurut saya itu sikap yang terbaik agar kami juga tidak serba salah menanggapinya.

Dipublikasi di Pengalamanku | Meninggalkan komentar

Tegak lurus yang tidak tepat

“Kita harus tegak lurus mengikuti arahan Ibu Ketua Umum”, kata Puan Maharani kepada kader partai PDIP (Berita: “Puan Bertekad PDIP Hattrick Menang Pemilu, Kader Tegak Lurus Megawati” )

“Golkar selalu tegak lurus pada peraturan,” kata Nurul Arifin dalam keterangannya, Senin (11/4/2022).
Nurul menyampaikan selama ini Golkar selalu mengikuti aturan terkait Pemilu, termasuk Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden. (Berita: “Dukung Pemilu 2024, Nurul Arifin: Golkar Selalu Tegak Lurus pada Aturan” )

Relawan Jokowi Plat K meneguhkan sikap mendeklarasikan untuk tegak lurus setia 2024 bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam acara Silahturahmi Daerah (Silatda) eks karesidenan Pati Plat K yang terdiri dari Kabupaten Pati, Rembang, Grobogan, Blora, Kudus, Jepara. (Berita: Relawan Plat K Tegak Lurus Setia Bersama Jokowi hingga 2024)

“Menteri-menteri harus tegak lurus dengan kebijakan presiden”, kata seorang pengamat politik dalam penjelasannya di Jakarta kemaren.”

Saya sering mendengar dan membaca pernyataan seperti itu, kata tegak lurus. Ini pengunaan istilah matematika yang tidak tepat. Kenapa digunakan istilah “tegak lurus”? Bukankah tegak lurus itu berarti berbeda 90 derajat? Satu ke barat satu ke utara, atau satu ke timur ssatu ke selatan. Berarti tidak sejalan kalau begitu. Ibarat dua vektor yang ortogonal, hasil kali titiknya sama dengan 0. Saling meniadakan.

Istilah yang tepat adalah “paralel” yang berarti “searah” atau “sejalan”, jadi tidak ada perbedaan. Atau “selaras”, “sinkron”, dan sebagainya. Tererah pakai istilah yang mana yang lebih pas.

Jadi, seharusnya:

“Kita harus sejalan mengikuti arahan Ibu Ketua Umum” atau “Kita harus selaras mengikuti arahan Ibu Ketua Umum”

“Golkar selalu searah pada peraturan,” atau “”Golkar selalu paralel pada peraturan,””

“Menteri-menteri harus selaras dengan kebijakan presiden” atau “Menteri-menteri harus sejalan dengan kebijakan presiden”

Dipublikasi di Gado-gado | Meninggalkan komentar

Di dalam doa anakku, namaku disebut

Si bungsu (yang masih SMP) setiap selesai sholat, baik sholat sendiri maupun sholat berjamaah di rumah atau di masjid, selalu berzikir dan berdoa cukup lama. Beda dengan diriku yang bezikir dan berdoa sebentar lalu cepat berdiri setelah sholat. Jadi malu sendiri dengan anakku 🙂

Karena sering lama seperti itu, maka suatu kali, setelah selesai berdoa, saya pun iseng bertanya kepadanya.

Apakah ada kamu selipkan ayah dan ibumu di dalam doamu, Nak?, tanyaku kepadanya.

Ada, jawabnya pendek.

Alhamdulillah, di dalam doa anakku namaku disebut (pinjam judul lagu penyanyi cilik, Nikita, Didoa Ibuku Namaku Disebut).

Tissu mana tissu. 😢

Tentu saja saya merasa terharu. Saya tidak pernah meminta dia mendoakan kami, tidak pernah menyuruh. Mungkin dia dapat ilmu itu dari guru agama di sekolah, atau dari guru mengajinya di TPA waktu masih SD dulu? Entahlah…

Salah satu kebahagiaan orangtua jika mereka sudah tiada nanti di dunia ini adalah doa anak yang sholeh yang mendoakan ibu-bapaknya. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim berbunyi begini (dikutip dari sini):

Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah bersabda: “Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya.” (HR Muslim).

Jadi, meskipun kita nanti sudah tidak ada di dunia ini, sudah dipanggil oleh Allah SWT, amal pahala kita masih terus mengalir dari sedekah jariyah yang pernah kita berikan selama di dunia, dari ilmu yang bermanfaat yang pernah kita ajarkan kepada orang lain, dan jika tidak ada keduanya, maka minimal dari anak sholeh yang selalu mendoakan kita.

Saya tahu hadis ini sejak kecil. Dulu ketika ibu bapak saya masih hidup, saya sering mendoakan mereka setiap selesai sholat, Sekarang pun, meski saya sudah yatim piatu (sudah tidak punya kedua orangtua lagi), namun saya tetap selalu mendoakan mereka yang sudah berada di alam sana setiap selesai sholat. Doa apakah itu? Doa memohon kepada Allah SWT untuk mengampuni kedua orangtuaku.

Mudah-mudahan anak-anakku selalu menyelipkan nama kami di antara doa-doanya. Harta yang paling berharga adalah anak yang sholeh, bukan?

Dipublikasi di Agama | 1 Komentar