Sesama “Urang Awak” tetapi Pakai Bahasa Indonesia

Kalau bertransaksi dengan pedagang “urang awak” (sebutan buat suku Minang di rantau), saya lebih suka pakai Bahasa Indonesia saja. Saya agak kapok kalau pakai bahasa kampung sendiri, alias bahasa Minang. Ini berdasarkan pengalaman saya berbelanja ke Pasar Baru Bandung, yang notabene pedagangnya kebanyakan urang awak. Waktu itu saya membawa keluarga yang datang dari Padang hendak berbelanja. Ketika tahu pegawai toko itu urang awak, saudara saya lalu menawar pakai bahasa Minang. Apa yang terjadi? Pegawai toko itu tetap berbicara dalam Bahasa Indonesia, bahasa Indonesia logat Minanng yang khas, gitu. Saya sudah katakan, pakai bahaso awak se lah da, tetapi dia tetap bergeming, tetap keukeuh (ini bahasa Sunda) pakai bahasa Indo.

Tidak sekali dua kali pengalaman saya bertemu dengan pedagang urang awak yang perilakunya seperti itu. Maksud hati pakai bahasa Minang supaya lebih akrab, eh malah pedagangnya terlihat kurang senang. Kalaupun dia membalas pakai bahasa Minang terkesan agak terpaksa dan agak kurang ramah melayani. Lama saya berpikir kenapa begitu, akhirnya saya ketemu jawabannya dari teman. He..he, ternyata pedagang urang awak itu enggan memakai bahasa Minang karena khawatir pembelinya yang sesama urang awak itu minta harga lebih murah. Ya ampuuunnn…., kok begitu sih, padahal niat berbicara dengan bahasa Minang ya itu tadi, supaya terkesan akrab saja karena sama-sama sekampuang, tetapi keakraban itu disalahartikan oleh pedagang karena ingin minta murah. Barangkali para pedagang itu pernah punya pengalaman dimana pembeli yang kebetulan urang awak merayu-rayu minta harga lebih murah dengan alasan samo-samo sakampuang, masak samo-samo urang awak harga dimahalkan. Gitu kali….

Agak berbeda saya perhatikan dengan perantau Jawa. Bagi orang Jawa di Bandung, jika pembelinya orang Jawa juga dan berbicara pakai bahasa Jawa, maka pedagangnya terlihat sangat senang melayani, mereka akan saling berbalas bahasa Jawa seolah-olah pedagang itu sudah lama tidak ketemu dengan orang Jawa. Padalah kota Bandung ini di Pulau Jawa juga, hanya saja Jawa Barat tidak dianggap Jawa. Jawa itu adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Coba deh anda makan soto Jawa Timur di Pasar Simpang Dago, lalu ada pembeli yang kebetulan mahasiswa asal Jawa sudah selesai makan dan akan membayar. Dia menanyakan berapa seluruhnya yang harus dia bayar untuk soto tadi (dalam bahasa Jawa tentunya), maka si pedagang dengan semangat menjawabnya dalam bahasa Jawa juga. Kadang-kadang si pedagang menanyakan asal si pembeli, jawane ndi, mas? (maksudnya, Jawanya di mana, mas), dan sebagainya, dan sebagainya. Tidak ada kesan memakai Bahasa Jawa itu supaya harga sotonya bisa lebih murah, he..he (padahal nasi soto lima ribu rupiah itu sudah sangat murah).

Di Bandung ini ada ratusan ribu perantau Minang beserta keturunannya. Cukup banyak juga jumlah itu, maklum Bandung dekat dengan kota Jakarta yang menjadi tujuan utama para perantau. Sebagian besar mereka berprofesi sebagai pedagang, mulai dari pedagang kaki lima hingga yang mempunyai toko permanen seperti di Pasar Baru, ITC Kebon Kelapa, Pasar Palasari, dan masih banyak lagi. Kalau tidak jadi pedagang ya jadi pengusaha rumah makan padang, mulai dari rumah makan kaki lima hingga restoran besar yang sudah punya nama. Tiap satu kilometer pasti ada saja rumah makan padang. Tidak susah bagi urang awak yang selera fanatiknya tidak bisa makan dengan masakan Sunda mencari makan di sini. Oh iya, selain pedagang dan usaha rumah makan, ada lagi profesi yang lain, yaitu membuka usaha photo copy. Bisnis photo copy di Bandung berkembang pesat karena Bandung adalah kota pelajar, banyak perguruan tinggi terdapat di sini.

Ikatan perantau di antara urang awak sangat kuat, terbukti di Bandung ini banyak organisai perantau yang berbasiskan kampung/nagari, misalnya ikatan perantau dari Solok, dari Payakumbuh, dari Pariaman, dari Bukittinggi, dan sebagainya. Meskipun banyak populasi urang awak di bandung, tetapi kalau sudah urusan bisnis mereka memang tidak mau membeda-bedakan antara pembeli urang awak dengan pembeli etnis lain. Bisnis ya bisnis, man, kalau urusan nostalgia kampung halaman bukan pada urusan jual beli, tapi setelah selesai transaksi saja. Barulah setelah itu mereka dengan hangat berbagi cerita tentang asal kampung dan sebagainya.

Oke, oke, paham sekarang. Saya memakai bahasa Minang lihat-lihat situasi saja. Kalau makan di rumah makan padang, yang melayani saya belum tentu urang awak. Bisa jadi pemilik rumah makan padang itu memang urang awak, tetapi para pegawainya belum tentu urang awak. Saya pakai bahasa Indonesia saja, pasti pegawainya tidak akan mengerti kalau saya bertanya ini dan itu dalam bahasa Minang. Nanti waktu membayar saja kita dilayani oleh pemiliknya yang urang awak itu, barulah kadang-kadang saya pakai bahasa Minang, tetapi lebih banyak pakai Bahasa Indo saja. Tetapi jika bertransaksi dengan pedagang kaki lima atau pedagang di Pasar Baru, saya lebih suka pakai Bahasa Indo saja. Ogah dikira minta harga lebih murah, he..he.

Pos ini dipublikasikan di Cerita Minang di Rantau. Tandai permalink.

11 Balasan ke Sesama “Urang Awak” tetapi Pakai Bahasa Indonesia

  1. Ikhwan berkata:

    Hoho begtu ya pak. Jadi, sesama urang awak d tanah rantau blum tentu mau brbahasa minang.. πŸ™‚ tp harus diakui memang urang awak sangat ada dmana2 πŸ™‚

  2. ray rizaldy berkata:

    hihi, daku pernah tinggal sekamar sama orang minang waktu di Asrama TPB dulu. kalau makan cuma mau di warung padang di tubagus itu. justru malah sering dapat kortingan karena daku orang non-minang yang mau belajar bahasa minang.

    paling tidak “patin cie, sayuah, nasi. Bara, Uni?” πŸ˜€

  3. otidh berkata:

    Kalau saya setiap bertemu pedagang dari Jawa, saya mesti pakai bahasa Jawa pak ngomongnya. Dapet lebih murah belum tentu, tapi terasa lebih akrab jadinya. Kalo beruntung kadang-kadang dikasih bonus. Harga tetap sama, tapi biasanya dikasih lebihan. Biasanya kalo pas beli makanan sih pak. Hehehe.

  4. berakkuda berkata:

    wah,saya juga punya pengalaman di bandung.bawa motor utk dicuci di tempat cucian motor di jalan dipatiukur (setelah pom bensin dari arah simpang).lagi duduk nunggu motor dicuci langsung disamperin empunya usaha,”dari pakan diak?” mungkin dia ngeliat motor saya nopolnya BM makanya berani nyamperin.akhirnya berlanjut ngobrol sampe motor saya beres.dan dimurahin seribu rupiah,lumayan bisa dipake bayar parkir di tempat lain,hehe πŸ˜€

  5. Nitra berkata:

    wuah,,,,awak bangga jadi urang minang…

  6. baroka berkata:

    g boleh seperti itu pak. jgn hanya gara2 1 pedagang tamak terus jd enggan memakai basa minang.
    sy belanja di pasar baru pake basa minang terus kalau ketemu pedangang minang. tp emang sih ada pedangang minang sok jaim kalau ketemu dengan orng dr kampuang.

  7. yos berkata:

    waktu saya dan adik belanja di tanah abang sedang mencari rok hitam, saat pencarian tsb saya dengar pedagang tsb sedang nelpon pakai bahasa minang , kebetulan saya juga minat dengan produknya dan kami menawar pakai bahasa minang, alahamdulillah dapat harga lebih murah pak.

  8. Ridha Anwar berkata:

    Yang jaleh pasti lebih akrab, Pak πŸ™‚ Pertanyaan pertamo, di maa Padangnyo Da/Uni? Oi sakampuang awak mah … hehe. selanjutnyo beda-beda carito. ado ndak dapek diskon, ado nan indak. Tapi lbh acok dapek diskon sih πŸ™‚

  9. Finni berkata:

    Kalo saya pribadi (yang juga pedagang), ga mau membeda-bedakan customer berdasarkan sukunya gitu. Jadi mau satu suku atau tidak kalau tawarannya masuk di akal ya kasih aja. Rejeki Allah sudah atur. Mau diajak bahasa Padang pun kalo tawaran harga gak cocok ya jangan dikasih lah tawarannya kenapa harus pura2 ga mau/bisa bahasa Padang ya..? Aneh saja kalau dilihat dari segi bisnis itu merugikan pedagang itu sendiri, ga jadi langganan karena Jaim hehe πŸ™‚

  10. yan berkata:

    kadang urang awang belagu juga, udah jelas bahasa Indonesia nya kacau sok berbahasa Indonesia padahal di aleknya jelas benar-benar dari kampung, kadang juga urang awak sok belagu

  11. Maya berkata:

    Saya dari Jawa Timur daerah tapal kuda yang fasih berbahasa madura. Pernah merantau ke Pariaman dan Padang. Saya perhatikan memang tiap etnis memiliki ciri khas interaksi masing-masing.

    Sesama orang madura bila bertemu di daerahnya sendiri biasa aja. Bahkan terkadang malah agak ketus. Tapi bila bertemunya di perantauan, bisa heboh dan ramahnya minta ampun.

    Ketika saya bertemu orang jawa di perantauan, rata2 cukup ramah, tapi jauh tidak seramah orang madura.

    Sesama minang bertemu di daerah minang, meskipun tidak saling kenal tapi bisa ngobrol banyak sekali seperti kawan lama. Jika bertemunya di “luar” biasa aja.

    Namanya pengamatan tentu sangat subyektif dan relatif. Bisa benar bisa tidak.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.