Menulis dengan Kapur

Sudah lama saya tidak mengajar menggunakan papan tulis hitam dan memaki kapur tulis. Hari ini di kampus ITB Jatinangor saya kembali menggunakan papan tulis dan kapur.

Di gedung Prodi saya di kampus Gnaesha tidak ada papan tulis memakai kapur, semuanya sudah berupa whiteboard dan menggunakan spidol. Kalau mengajar di depan kelas, saya menggunakan spidol berwarna-warni.

Jauh sebelum papan hitam itu diganti dengan papan putih, semua ruang kuliah di ITB hanya tersedia papan tulis hitam. Dosen harus membawa kapur tulis sendiri ke ruangan kelas. Dosen dan guru itu zaman dahulu adalah kuli kapur. Banyak orang yang tidak suka pakai kapur karena berdebu dan abunya bisa terhirup oleh saluran pernafasan. Maka, satu persatu papan tulis hitam dan kapur diganti dengan papan putih dan spidol.

Semuanya? Tidak juga. Di di gedung perkuliahan lama seperti GKU ITB, Gedung TVST, Gedung Oktagon, dan bahkan GKU baru (baik di kampus Ganesha maupun di kampus Jatinangor) tetap disediakan papan tulis hitam selain papan tulis putih.

Menulis di papan pakai kapur tulis itu terasa jadul banget, seolah sebuah nostalgia masa lalu, masa sekolah dulu dan masa kuliah. Ada beda rasa menulis pada papan tulis pakai kapur, terasa lebih mantap tekanannya. Menikmati bunyi tekanan kapur ke papan ada kesan tersendiri. Kalau pakai spidol tidak ada bunyinya.

Kampus-kampus di Amerika dan Eropa pun saya lihat di Youtube tetap menggunakan papan tulis hitam dan kapur. Dosen lebih suka menuliskan rumus dengan kapur. Jadi, ini sebuah pilihan saja, lebih suka yang mana. Kalau saya, menggunakan keduanya di kelas Kampus ITB Jatiangor seperti pada foto di atas.

Pos ini dipublikasikan di Pendidikan, Seputar ITB. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.