Mengoreksi tanpa mempermalukan murid

Tulisan ini adalah contoh karakter dosen/guru yang patut dicontoh, saya peroleh dari sebuah grup whatsapp (kemudian saya terjemahkan dari Bahass Inggris):

Seorang lelaki tua bertemu dengan seorang pemuda yang bertanya: “Apakah Bapak ingat saya?”

Dan orang tua itu menjawab tidak. Kemudian pemuda itu mengatakan kepadanya bahwa dia adalah muridnya, dan gurunya bertanya: “Apa pekerjaanmu sekarang?”

Pemuda itu menjawab: “Yah, aku sekarang menjadi seorang guru.”

“Ah, bagus sekali, seperti aku?” Tanya orang tua itu.

Pemuda itu menjawab: “Saya menjadi guru karena Bapak menginspirasi saya untuk menjadi seperti Anda.”

Orang tua itu penasaran, bertanya kepada pemuda itu kapan dia memutuskan untuk menjadi seorang guru. Dan pemuda itu menceritakan kepadanya kisah berikut:

“Suatu hari, seorang teman saya, juga seorang murid, datang dengan sebuah jam tangan baru yang bagus, dan saya pun menginginkannya. Aku mencurinya, aku mengambil dari sakunya.

Tak lama kemudian, teman saya menyadari jam tangannya hilang dan langsung mengadu kepada guru kami, yaitu Bapak.

Kemudian Bapak berbicara kepada kelas dengan mengatakan, ‘Jam tangan siswa ini dicuri selama pelajaran hari ini. Siapapun yang mencurinya, tolong kembalikan.’

Saya tidak mengembalikannya karena saya tidak mau. Bapak menutup pintu dan menyuruh kami semua berdiri dan membentuk lingkaran.

Bapak akan menggeledah saku kami satu per satu sampai jam tangan itu ditemukan. Namun, Bapak menyuruh kami menutup mata, karena Bapak hanya akan mencari arlojinya jika kami semua menutup mata.

Kami melakukan seperti yang diinstruksikan.

Bapak merogoh saku ke saku, dan ketika Bapak merogoh saku saya, Bapak menemukan arloji itu dan mengambilnya. Bapak terus menggeledah saku semua orang, dan setelah selesai Bapak berkata ‘buka mata kalian. Saya menemukan arlojinya.’

Bapak tidak memberi tahu saya dan Bapak tidak pernah menyebutkan kejadian itu. Bapak juga tidak pernah mengatakan siapa yang mencuri jam tangan itu. Hari itu Bapak menyelamatkan harga diriku selamanya. Itu adalah hari paling memalukan dalam hidupku.

Tapi ini juga hari dimana aku memutuskan untuk tidak menjadi pencuri, orang jahat, dll. Bapak tidak pernah mengatakan apa pun, Bapak bahkan tidak memarahiku atau mengajakku ke samping untuk memberiku pelajaran moral.

Saya menerima pesan Bapak dengan jelas. Terima kasih kepadamu Pak, saya memahami apa yang perlu dilakukan oleh seorang pendidik sejati. Apakah Bapak ingat kejadian ini, profesor?

Profesor tua itu menjawab, ‘Ya, saya ingat situasi jam tangan curian, yang saya cari di saku setiap orang. Aku tidak mengingatmu, karena aku juga memejamkan mata saat merogoh setiap saku.’

Inilah hakikat mengajar: Kalau untuk mengoreksi harus mempermalukan; kamu tidak tahu cara mengajar.”

Dipublikasi di Pendidikan | Meninggalkan komentar

Kirim pesan WA kepada dosen pada hari libur

Seorang mahasiswaku yang sudah alumni mengirimi saya pesan via aplikasi whatsapp (WA). Dia bertanya apakah saya tidak keberatan jika dia menghubungi saya dan mem-follow up tentang surat rekomendasi S2 buatnya pada akhir pekan? Jika saya lebih suka pada weekdays, dia akan follow up pada hari kerja.

Tidak masalah, jawab saya. Saya memang tidak keberatan dihubungi mahasiswa atau alumni pada hari libur, akhir pekan, bahkan malam hari sekalipun. Apalagi mereka menghubungi saya kan via chat dengan whatsapp, yang bisa saja dibalas nanti atau kapan-kapan saat santai, tidak harus segera saat itu juga. Bahkan kalau memang sangat penting dan ingin langsung call juga saya layani. Selagi bisa dibantu ya saya bantu, selagi bisa dijawab ya saya jawab. Ya kan…

Tapi saya juga menyadari bahwa tidak semua dosen suka dihubungi mahasiswa pada akhir pekan atau hari libur, sebab dianggap tidak sopan, tidak beretika, nir-adab, dsb. Oleh karena itu mahasiswa juga harus tahu karakter dosen yang akan dihubungi. Mahasiswa pun harus menghormati dosen yang tidak menginginkan dihubungi pada hari libur, seperti kasus yang pernah viral sbb:

Saya teringat anak saya yang sudah lulus kuliah. Tahun lalu dia begitu kesulitan menghubungi salah seorang dosen pembimbing TA-nya. Padahal dia dikejar deadline pendaftaran sidang, tapi tanda-tangan dan revisi laporan TA dosen pembimbing belum juga dapat. Saat itu hari Sabtu, sedangkan pendaftaran terakhir hari Selasa. Terlihat dia begitu gelisah, tiap sebentar dia lihat hape, menunggu kabar revisi dari dosennya.

Saya sarankan agar dia menjapri dosen pembimbing saja biar tenang. Namun anak saya keukeuh tidak mau menghubungi dosennya pada hari itu, sebab ini akhir pekan. Dia takut salah karena menghubungi dosen pada akhir pekan, dianggap tidak sopan, takut dosennya marah. Dia akan sabar menunggu siapa tahu dosen pembimbing TA mengirim pesan kepadanya tentang revisi laporan TA nya itu. Kalau tidak ada juga, barulah nanti pada hari Senin dia akan datang ke kampus, duduk menunggu di depan ruang dosen pembimbingnya.

Dipublikasi di Pendidikan | Meninggalkan komentar

Ketika ART naik haji

Saat jalan pagi, saya berpapasan dengan seorang perempuan lansia sedang berjalan bergegas. Dia menyapa saya dan memanggil saya Pak Haji 🙂 . Dengan wajah sumringah dia mengatakan hendak pergi manasik haji di sebuah masjid di Antapani. Saya sedikit terkaget, tidak menyangka dia bisa pergi menunaikan ibadah haji tahun ini.

Namanya Mbak Suratmi (bukan nama sebenarnya), dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah rumah dan tinggal di sana. Setiap saya jalan pagi sering ketemu dia sedang menyapu jalan di depan rumah majikannya. Dia ramah kepada setiap orang yang lewat, setiap orang yang lewat di depan rumahnya disapanya, termasuk saya. Jadi, dia mengenali saya tadi saat berpapasan, lalu saya tanyakan dia mau ke mana.

Mbak Suratmi mendapat majikan yang baik. Dia sudah bekerja di sana selama 38 tahun, sejak anak majikannya masih bayi berusia dua minggu dan sekarang anak-anak majikannya malah sudah punya anak. Jadi, anak majikan yang diasuh oleh Mbak Suratmi sudah beranak pula. 🙂

Dari hasil bekerja sebagai ART, Mbak Suratmi menyisihkan gajinya untuk ditabung buat haji. Tahun 2003 dia mulai rutin menabung untuk ongkos naik haji, 6 juta dia tabung setiap tahun, tahun 2013 dia mendaftar haji. Setelah 11 tahun menunggu, akhirnya tahun 2024 ini dia mendapat porsi haji. Dipanggil oleh Allah swt datang ke rumah-Nya di Baitullah. ONH tahun ini sekitar 59 juta rupiah dan Mbak Suratmi sudah cukup tabungan untuk melunasinya.

Mbak Suratmi hidup sebatang kara, tidak punya suami dan tidak punya anak.

Orang-orang seperti Mbak Suratmi inilah yang nanti dapat meresapkan nikmatnya ibadah haji, hasil perjuangan selama puluhan tahun mengumpulkan sedikit demi sedikit uang jerih payah hasil bekerja sebagai ART untuk ke Baitullah.

Semoga Mbak Suratmi mabrur hajinya nanti. Amiin.

Dipublikasi di Romantika kehidupan | 1 Komentar

Spill gaji dosen (spill gajiku?)

Beberapa waktu yang lalu di dalam media sosial X (dulu Twitter) dan tiktok ramai hashtag #janganjadidosen dan #spillgajidosen. Hashtag itu muncul karena keprihatinan terhadap gaji dosen di Indonesia.

Berapa gaji dosen di Indonesia? Jawabannya berbeda-beda, bergantung pada apakah dosen PTN atau PTS. PTN/PTS lama atau PTN/PTS baru? PTN/PTS bonafid atau PTN/PTS kurang terkenal? PTN dibagi lagi menjadi PT-BHMN atau PTN non-BHMN. Tidak sama, kan?

Dosen juga ada yang berstatus dosen PNS, dosen tetap non-PNS, dosen kontrak, atau dosen luar biasa. Dosen PNS mendapat gaji dari Pemerintah, sedangkan dosen PTS mendapat gaji dari perguruan tingginya. Gaji dosen per bulan berupa gaji pokok dan tunjangan jabatan fungsional. Selain itu, jika dosen sudah mendapat sertifikasi dosen (serdos), maka dosen dapat tambahan tunjangan serdos yang besarnya hampir sama dengan satu kali gaji pokok.

Selain gaji pokok, tunjangan jabatan fungsional, dan tunjangan serdos, dosen perguruan tinggi juga mendapat honor-honor tambahan seperti honor insentif kinerja, honor satgas ini satgas itu, honor kepanitiaan, tunjangan makan dosen PNS, dan lain-lain, namun honor tambahan itu tidak rutin setiap bulan (kecuali tunjangan makan dosen PNS).

Berapa rata-rata gaji dosen di Indonesia? Dikutip dari hasil survey yang dilakukan oleh UGM dan Unram terhadap 1.196 responden dosen dari seluruh Indonesia (sumber dari sini). Hasilnya dapat dilihat pada grafik pie sebagai berikut:

Dari grafik di atas ternyata masih banyak dosen yang berpenghasilan kurang dari 3 juta per bulan (sekitar 43 persen). Dosen yang gajinya di atas 5 juta per bulan hanyalah sekitar 27 persen. Sebagai catatan, rata-rata upah minimum provinsi (UMP) di Indonesia berkisar pada angka Rp 2.910.632 pada 2023. Jadi, secara umum penghasilan dosen-dosen di Indonesia tergolong pas-pasan ketimbang disebut jauh dari layak.

Karena gaji atau penghasilan dari kampus kecil, maka banyak dosen mencari tambahan penghasilan seperti mengajar di kampus lain sebagai dosen honorer, mengerjakan proyek, menulis buku, berjualan, bahkan ada yang nyambi jadi driver gojek/gocar. Pokoknya usaha tambahan yang halal lah.

Lalu, bagaimana gaji dosen ITB? Dosen ITB ada tiga kategori: dosen tetap PNS, dosen tetap non-PNS (diistilahkan dosen BHMN), dan dosen tidak tetap. Dosen tetap PNS mendapat gaji dan tunjangan dari Pemerintah (gaji PNS) dan insentif dari ITB. Dosen tetap non-PNS dan dosen tidak tetap mendapat gaji dari ITB sendiri. Dosen tetap non-PNS dan dosen tidak tetap direkrut ITB sendiri sebagai konsekuensi perguruan tinggi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Perguruan tinggi BHMN sudah jarang mendapat alokasi formasi CPNS, oleh karena itu perguruan tingi harus memutar otak untuk mendapat staf akademik baru dengan cara merekrut sendiri dosen baru dan menggaji sendiri.

Sebagai perguruan tinggi mapan, ITB juga memikirkan penghasilan dosennya. Selain gaji pokok, tunjangan jabatan fungsional, dan tunjangan serdos (bagi yang sudah lulus serdos), ada honor-honor tambahan lain yang tidak selalu rutin diterima setiap bulan. Honor tambahan itu berupa insentif beban lebih, insentif peningkatan kinerja (setiap 3 bulan atau 4 bulan, saya kurang hafal), honor tim adhoc (biasanya setelah selesai kegiatan adhoc, akhir semester atau akhir tahun), dan honor-honor lain yang saya tidak hafal, tiba-tiba masuk saja ke nomor rekening saya :-).

Mau tahu gaji saya per bulan di ITB? Nih saya spill ya. Dengan golongan pangkat IV-b dan jabatan fungsional Lektor Kepala, saya menerima penghasilan sekitar 10 juta per bulan. Penghasilan itu berupa (sebelum dipotong pajak) gaji pokok 4,6 juta + tunjangan jabatan fungsional 900 ribu. Total 6,1 juta. Setelah dipotong pajak penghasilan dan potongan lain-lain (BPJS, IWP 10% – apa tuh IWP?), maka gaji bersihnya hanya 5,6 juta. Kemudian tunjangan serdos setelah dipotong pajak 3,9 juta, tunjangan makan (setelah dipotong pajak) 830 ribu. Jadi total semuanya 5,6 juta + 3,9 juta + 830 ribu = 10,3 juta. Alhamdulillah, segitulah gaji saya sebegai dosen PNS di ITB per bulan.

Cukup? Alhamdulillah dicukup-cukupkan saja (dengan anak 3 dan istri satu), kemarin satu anak sudah tamat kuliah dan sudah mulai mandiri di Jakarta (meskipun masih saya bantu karena gajinya di kantor masih kecil). Rumah alhamdulillah sudah punya. Kendaraan punya sepeda motor buat ke kampus dan satu motor buat anak bungsu ke sekolah. Uang gaji segitu dicukup-cukupkan, karena saya bukan orang yang royal dalam pengeluaran (tidak nonton bioskop, rekreasi, jarang makan di luar, dsb).

Namun yang membuat saya senang, ITB juga memberi penghasilan tambahan seperti yang saya sebutkan sebelumnya (berbagai honor insentif), tetapi tidak selalu ada setiap bulan, kadang-kadang ada kadang tidak. Jika dapat tambahan insentif, maka saya tabung. Uang tabungan itulah yang dipakai untuk menutupi kekurangan pengeluaran per bulan dengan gaji 10 juta itu. Prinsip saya adalah selalu bersyukur dengan apa yang diperoleh, merasa cukup dengan apa yang telah diusahakan, tidak berharap yang muluk-muluk. Hidup dibawa santai saja, tidak usah stres atau banyak pikiran. Tidak usah iri dengan penghasilan orang lain. Tuhan sudah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya.

Dipublikasi di Indonesiaku, Seputar ITB | 2 Komentar

Mahasiswaku dan beruk pemanjat pohon kelapa di Pariaman

Ada dua orang mahasiswa di bawah perwalian saya asal Sumatera Barat, kampung halamanku. Mahasiswa pertama asal Pariaman, mahasiswa kedua asal Batusangkar. Keduanya berasal dari keluarga kurang mampu, namun alhamdulillah mereka mampu lulus masuk STEI-ITB yang terkenal sulit tembusnya dan sekarang kuliah di Prodi STI. Alhamdulillahnya lagi, mereka tidak perlu bayar UKT karena dapat KIP dari Pemerintah (dulu namanya beasiswa bidikmisi).

Saya tanya apa pekerjaan orangtuanya. Mahasiswa asal Batusangkar menjawab, ayahnya hanya berjualan roti bakar kaki lima di pasar Batusangkar. Mahasiswa asal Pariaman menjawab, ayahnya mendapat upah menjual jasa beruk pemanjat pohon kelapa.

Pariaman terkenal sebagai daerah penghasil buah kelapa terbaik, karena kabupaten ini terletak di pesisir pantai Sumatera. Puluhan ribu pohon kelapa tumbuh di sana. Untuk memetik buah kelapa, tradisi orang Pariaman adalah menggunakan beruk. Beruk (Bahasa Minang: baruak) adalah sejenis monyet yang bertubuh agak besar. Beruk-beruk itu dilatih untuk memanjat dan memetik pohon kelapa karena pohon kelapa di Pariaman umumnya tinggi-tinggi. Karena Pariaman terkenal dengan beruk pemanjat kelapa, di sana bahkan sampai ada Sekolah Tinggi Ilmu Beruk (STIB) tepatnya di desa Apar, kota Pariaman. Cek saja di artikel berikut: 6 Fakta Sekolah Tinggi Ilmu Beruk di Pariaman, yang Lahirkan Pemetik Kelapa Ulung. Desa Apar sekarang menjadi desa tujuan wisata di kota Pariaman, wisatawan dapat melihat beruk-beruk yang dilatih di STIB, mereka juga dapat menikmati buah kelapa yang dipetik oleh beruk.

Pelatih beruk di Pariaman

Jadi, ayah mahasiswaku ini, berkeliling setiap hari dengan beruknya, menawarkan jasa beruk untuk memanjat dan memetik pohon kelapa. Saya ingat semasa kecil dulu di Padang sering melihat laki-laki dengan beruk di pundaknya berjalan keliling kampung menawarkana jasa beruknya untuk memetik buah kelapa, kadang menggunakan seperda.

Sekolah Tinggi Ilmu Beruk di Desa Apar, kota Pariaman

Nah, dari upah memetik buah kelapa itulah mahasiswaku asal Pariaman ini bisa sekolah dan kuliah di ITB. Terharu aku mendengar ceritanya. Mahasiswa yang sederhana tapi punya motivasi yang kuat mencapai citacitra. Mudah-mudahan setelah lulus nanti dia bisa mengangkat harkat dan kesejahteraan keluarganya.

Ada banyak mahasiswa di ITB yang berasal dari keluarga kurang mampu. Mereka memiliki otak pintar, namun tetap punya semangat tinggi untuk mengejar mimpi menjadi seorang sarjana yang berguna bagi keluarga, bangsa, dan negara.

Dipublikasi di Pendidikan, Romantika kehidupan, Seputar ITB | Meninggalkan komentar

Mahasiswa angkatan tua

Seorang mahasiswaku, angkatan tua, curhat kepadaku. Dia masih mengulang beberapa mata kuliah, dengan adik tingkat yang jaraknya 3 angkatan. Yang membuat dia sedih adalah kehilangan teman seangkatan. Teman-teman seangkatan dia, circle-nya dia, sudah lulus semua. Mereka sudah berpencar dan sudah bekerja di berbagai tempat. Sudah mencari jalan hidup masing-masing. Tinggal dia sendiri masih di kampus. Ada sih beberapa mahasiswa seangkatan dia yang juga belum lulus, tapi dia tidak terlalu dekat dengan mereka.

Saya merasa kesepian sekarang”, katanya dengan mimik sedih.

Dulu ketika masih kuliah bersama-sama, banyak teman belajar. Sekarang ketika dia tinggal sendiri, tidak ada lagi teman tempat diskusi.

“Teman kuliah itu memang besar pengaruhnya buat akademik saya, Pak”, lanjut dia.

Karena masih banyak kuliah yang mengulang, berarti dia harus setahun dua tahun lagi “melata” di kampus.

Saya hanya bisa memberi dia saran yang membesarkan hati.

“Kamu sering-sering saja datang dan duduk di lab kami, minimal ada saya yang menyapamu setiap hari agar kamu tidak merasa sendirian dan kesepian”, kataku pula.

Dia pun sedikit ceria lalu pamit pulang.

Kepada mahasiswa angkatan tua, anda tidak perlu malu kuliah dengan adik angkatan yang jaraknya 3 sampai 4 tahun. Belajar dari orang yang lebih muda bukan hal yang memalukan. Setiap kuliah duduklah paling depan agar lebih berani dan memotivasi diri.

Dipublikasi di Pendidikan | Meninggalkan komentar

Balada emak dan anak lanangnya

Jadi, kalau seorang ibu sangat dekat secara batin dengan anak lelakinya (anak lanang), itu hal yang sudah umum diketahui orang. Sebab, anak bujangnya itulah nanti yang akan menjadi pelindung ibunya dan keluarganya. Boleh jadi kedekatan seorang ibu kepada anak bujangnya itu melebihi kedekatan dengan anak perempuannya.

Ketika anak bujangnya itu pergi merantau jauh, untuk bekerja atau menimba ilmu (kuliah), maka kerinduan seorang ibu kepada anak lelakinya itu tak tertahankan. Apalagi jika anak bujangnya jarang berkirim kabar, sekedar mengirim foto, atau sekadar mengirim pesan di whatsapp.

Seorang ibu dari mahasiswaku mengirim pesan DM (direct message) di Instagram, sepertinya dia menjadi follower di akun IG-ku, padahal saya tidak mengenalnya. Dia merasa senang setiap kali saya memposting foto-foto kegiatan mahasiswa di akun IG-ku, dan berharap salah satu foto itu ada putra lelakinya, tetapi tidak pernah ada. Setiap kali melihat foto teman-teman putranya di IG ku, menetes air matanya, namun tidak ditemukan putranya di antara foto-foto tersebut.

“Putra saya itu jarang mengirim pesan WA atau berkirim foto, Pak. Akun IG nya juga kosong, tidak ada sama sekali foto yang diposting olehnya. Ditelpon juga susah, jawab pesan WA juga susah. Bahkan saya mau menengok dia ke Bandung juga tidak boleh”, kata ibu tersebut via DM. Sedih.

Saya bisa merasakan betapa rindunya ibu tersebut dengan putranya. Tapi putranya tipe mahasiswa zaman kini, agak cuek-cuek bebek, sibuk, dan jarang berkirim kabar. Padahal seorang ibu di seberang sana menanti kabar tentangnya.

Lalu saya pun punya inisiatif. Saya panggilah mahasiswa tersebut ke lab saya. Kita ngobrol-ngobrol apa saja tentang kuliahnya (kebetulan dia mahasiswa perwalian saya). Lalu saya pun mengajak foto selfi dengannya. Selanjutnya karena dia baru selesai seminar, maka saya pun memfoto dia lagi tertawa bahagia usai seminar proposal.

Foto-foto itu pun saya kirim ke ibu tersebut via DM. Reaksi ibu tersebut sungguh luar biasa. “Masya Allahhh…, katanya, terima kasih banget saya bisa lihat anak saya. Bahagia banget saya lihat foto dia”, katanya dengan terharu.

Alhamdulillah, kekangenan seorang ibu dengan anak bujangnya yang jauah di mato akhirnya terobati. Saya pun ikut senang bisa membuat orang lain bahagia.

Jadi memang benar ya, hubungan batin seorang ibu dengan anak lelakinya sangatlah dalam.

Dipublikasi di Pengalamanku, Seputar ITB | Meninggalkan komentar

Aksi boikot sebagai senjata warga sipil melawan negara penjajah

Setelah beberapa minggu tentara Israel memborbardir Jalur Gaza di Palestina dan telah membunuh hingga hari ini sebanyak 20.000 ribu lebih warga Gaza (sebagian besar wanita dan anak-anak), serta masih ada ribuan korban lagi di di balik reruntuhan gedung-gedung, warga dunia melakukan gerakan boikot produk-produk asing yang mendukung Israel, termasuk di Indonesia.

Dalam sebuah acara di sekolah anak, penyelenggara semula menetapkan konsumsi untuk ratusan siswa adalah burger sebuah merek terkenal. Air minum pun dari produk terkenal. Atas masukan orangtua, konsumsi dan minuman itu diganti dengan merek Jepang dan merek lokal. Begitulah cara sebagian masyarakat menyikapi kepedulian kepada bangsa Palestina yang teraniaya.

Sekarang kami di rumah juga lebih selektif membeli produk makanan dan lainnya. Mulai dari burger, pizza, kecap, sabun, sampo, dan lain-lain. Penggantinya produk buatan lokal juga banyak pilihan. Kami menghindari produk-produk yang perusahaan induknya di luar sana menyumbangkan keuntungannya yang selanjutnya digunakan negara Israel membeli peluru untuk membunuh ribuan anak-anak dan wanita di Gaza. Memang tindakan ini bagai buih air di lautan, tidak apa-apa, tetapi itulah yang bisa kami lakukan.

Saat menukar air minum galon dari merek yang lama (produk perusahaan yang terafiliasi negara Israel) ke produk lokal, pedagangnya bersedia menerima pertukaran galon dari merek A ke merek B dengan tambahan biaya lima ribu rupiah.

Di kedainya saya lihat air minum galon merek terkenal menumpuk tak terjual. Kata penjualnya, pembeli sudah banyak beralih ke air minum galon produk lokal yang tidak terafiliasi dengan perusahaan global yang mendukung negara Israel. Merek LM menjadi favorit tetapi sayangnya ukuran galonnya tidak standard. Di Bandung air galon lokal merek Al-M*****m tiba-tiba kebanjiran order.

Hal yang sama juga terjadi ketika saya lewat restoran pizza terkenal, restoran ayam goreng terkenal, restoran burger terkenal, kedai kopi terkenal, semuanya sepi pembeli. Di supermarket juga begitu, produk toilettory dari perusahaan terkenal juga dijauhi pembeli.

Efek boikot itu memang dahsyat rupanya. Ya mau bagaimana lagi, pembeli adalah raja, suka-suka mereka membelanjakan uangnya membeli barang apa. Itulah cara masyarakat melakukan perlawanan dengan menggunakan senjata sipil, yaitu gerakan boikot.

Ada sisi positifnya juga aksi boikot itu, yaitu saatnya beralih menggunakan produk lokal. Produk buatan domestik banyak juga pilihannya. Momentum ini harus digunalan oleh produk lokal untuk meningkatkan kualitas produknya agar setara dengan produk yang dijauhi pembeli itu.

Dipublikasi di Dunia oh Dunia | Meninggalkan komentar

Menulis dengan Kapur

Sudah lama saya tidak mengajar menggunakan papan tulis hitam dan memaki kapur tulis. Hari ini di kampus ITB Jatinangor saya kembali menggunakan papan tulis dan kapur.

Di gedung Prodi saya di kampus Gnaesha tidak ada papan tulis memakai kapur, semuanya sudah berupa whiteboard dan menggunakan spidol. Kalau mengajar di depan kelas, saya menggunakan spidol berwarna-warni.

Jauh sebelum papan hitam itu diganti dengan papan putih, semua ruang kuliah di ITB hanya tersedia papan tulis hitam. Dosen harus membawa kapur tulis sendiri ke ruangan kelas. Dosen dan guru itu zaman dahulu adalah kuli kapur. Banyak orang yang tidak suka pakai kapur karena berdebu dan abunya bisa terhirup oleh saluran pernafasan. Maka, satu persatu papan tulis hitam dan kapur diganti dengan papan putih dan spidol.

Semuanya? Tidak juga. Di di gedung perkuliahan lama seperti GKU ITB, Gedung TVST, Gedung Oktagon, dan bahkan GKU baru (baik di kampus Ganesha maupun di kampus Jatinangor) tetap disediakan papan tulis hitam selain papan tulis putih.

Menulis di papan pakai kapur tulis itu terasa jadul banget, seolah sebuah nostalgia masa lalu, masa sekolah dulu dan masa kuliah. Ada beda rasa menulis pada papan tulis pakai kapur, terasa lebih mantap tekanannya. Menikmati bunyi tekanan kapur ke papan ada kesan tersendiri. Kalau pakai spidol tidak ada bunyinya.

Kampus-kampus di Amerika dan Eropa pun saya lihat di Youtube tetap menggunakan papan tulis hitam dan kapur. Dosen lebih suka menuliskan rumus dengan kapur. Jadi, ini sebuah pilihan saja, lebih suka yang mana. Kalau saya, menggunakan keduanya di kelas Kampus ITB Jatiangor seperti pada foto di atas.

Dipublikasi di Pendidikan, Seputar ITB | Meninggalkan komentar

Ketika nilai 0,02 sangat berarti (Perjuangan mahasiswiku)

Pernah suatu masa ada mahasiswaku yang memperjuangkan nilainya sebesar 0.02 agar bisa memperoleh indeks nilai A.

Ceritanya begini. Pada akhir bulan Desember beberapa tahun yang lalu saya mengumumkan nilai akhir mata kuliah beserta indeksnya. Seperti biasa pengumuman nilai saya taruh di website saya agar bisa dilihat oleh mahasiswa yang sudah pulang kampung liburan akhir semester jelang Natal & Tahun Baru. Pengumuman nilai akhir dan indeks lengkap dengan semua komponennya (UTS, UAS, kuis-kuis, tugas, dan kehadiran kuliah). Semua berkas ujian dan tugas sudah dibagikan sebelumnya kepada seluruh mahasiswa.

Seperti biasa saya beri waktu mahasiswa selama tiga hari untuk mengajukan komplain jika ada kesalahan dalam entri nilai-nilai yang diumumkan, sebelum nilai akhir dan indeks menjadi final dan tidak bisa diubah lagi. Silakan mahasiswa mencermati jika ada kesalahan dalam entri nilai, karena manusia biasa pasti tidak luput dari kesalahan typo.

Benar saja. Malam hari setelah nilai diumumkan, ada seorang mahasiswi mengirim email, mempertanyakan kenapa jumlah kehadirannya kurang dari satu kali. Seharusnya jumlah kehadirannya 28 kali tetapi pada pengumuman nilai tertulis 27 kali. Katanya, dia tidak pernah absen kuliah, selalu hadir di kelas. Nilai akhir mahasiswi tersebut 80,98, dia mendapat nilai AB, sedangkan batas nilai untuk A adalah 81. Jadi hanya butuh 0,02 lagi agar bisa A.

Di dalam perkuliahan saya kehadiran mahasiswa dalam kuliah memang diperhitungkan sebagai salah satu komponen penilaian meskipun bobotnya kecil belaka yaitu 2 sampai 3 persen. Jadi kalau tidak pernah absen kuliah maka dia sudah dapat nilai sebesar 2. Tetapi, meskipun sangat kecil namun sangat berarti pada saat seperti ini, apalagi untuk nilai-nilai perbatasan.

Saya membalas emailnya bahwa rekapitulasi kehadiran kuliah saya peroleh dari tendik yang merekap presensi kuliah. Saat itu presensi kuliah (bukan absensi atau absen 🙂 ) masih dilakukan secara manual, memakai buku presensi, jadi belum pakai aplikasi seperti sekarang. Pada akhir semester tendik kami merekap semua kehadiran kuliah lalu mengirimkan rekap tersebut kepada dosen pengampu.

Kata saya kepada mahasiswi tsb, jika kamu lebih yakin, silakan datang ke kampus dan temui tendik di TU untuk memeriksa presensi kuliah.

Ternyata dia benar-benar datang ke Bandung dari rumahnya di Tangsel untuk mengurus satu kali kehadiran kuliah yang tidak tercatat tsb. Saat itu tanggal 31 Desember jelang malam tahun baru, kampus masih buka hari itu sampai siang. Mahasiswi itu menemui saya di ruangan, lalu dia pergi ke kantor TU menemui tendik kami untuk memeriksa semua berkas presensi. Benar saja, tendik kami kurang teliti merekap sehingga ada satu kali kehadiran kuliah mahasiswi tersebut yang tidak tercatat.

Segera tendik menelpon saya lalu melaporkan kesalahan tsb bahwa benar jumlah kehadiran kuliah mahasiswi tsb adalah 28 kali.

Saya membuka kembali file Excell perhitungan nilai, menghitung ulang nilai akhir mahasiswi tersebut setelah jumlah kehadirannya ditambah 1, dan….taraaaa…nilai akhir mahasiswi tersebut berubah dari semula 80.98 menjadi 81.01,yang artinya dia berhak mendapat A!

Saya mengucapkan selamat kepada mahasiswi tersebut, tidak sia-sia perjuangannya jauh2 dari Tangsel ke Bandung naik travel hanya untuk mengurus satu poin yang sangat menentukan. Hadiah Tahun Baru.

Dia tersenyum bahagia dan pulang kembali ke Tangsel dengan mobil travel.

Hal-hal kecil membentuk kesempurnaan, tetapi kesempurnaan bukanlah hal yang kecil.

-(Michael Angelo)

Dipublikasi di Pendidikan, Pengalamanku | 1 Komentar