Lanjutan Kisah “Bapak Tua Penjual Amplop Itu”

Tulisan saya yang terdahulu yang berjudul Bapak Tua Penjual Amplop Itu ternyata mendapat respon yang luar biasa dari pembaca. Setelah saya lihat statistik di Worpress ternyata tulisan tersebut sudah dibaca puluhan ribu kali dan tanggapan komentar hingga hari ini mencapai 336 buah. Saya sendiri tidak menyangka atas respon yang luar biasa tersebut, sebab tulisan ini hanyalah sekadar catatan kecil yang biasa saya tulis dari pengalaman yang saya temui.

Banyak yang bertanya kepada saya bagaimana caranya memberikan sedekah atau sumbangan buat bapak tua itu. Saya sendiri juga belum tahu teknis pengumpulan dan pemberian sedekah tersebut, karena maksud tulisan tersebut bukanlah untuk mengumpulkan infaq/shadaqoh buat si bapak. Pertanggungjawabannya nanti juga agak susah, tetapi yang lebih saya khawatirkan (mudah-mudahan saja tidak terjadi) adalah perubahan sikap si bapak yang karena sedekah yang berturut-turut tersebut khawatir membuat dia salah menafsirkan sehingga timbul sikap “mengemis” belas kasihan dengan menjual amplop.

Mudah-mudahan tidak begitu ya, tetapi mohon maaf saya belum bisa menyalurkan sumbangan, silakan salurkan sedekah ke lembaga amil terdekat dari Masjid Salman seperti Rumah Amal Salman ITB atau PKPU. Saya tetap punya pendapat bahwa cara terbaik membantu bapak itu adalah membeli jualannya, kalaupun melebihkan uang pembelian tidak apa-apa. Untuk urusan modal usaha dan perbaikan taraf hidup si bapak, biarlah itu tugas lembaga amil zakat tadi. Kalaupun anda jauh dari Bandung dan tidak bisa membeli amplopnya, anda masih bisa membeli dagangan orang-orang dhuafa di lingkungan terdekat anda. Masih banyak orang kecil lainnya dis ekitar kita yang membutuhkan perhatian. Tetapi sekali lagi, terima kasih atas semua niat baik, mudah-mudahan Allah SWT sudah membalas niat baik itu dengan pahala.

Seorang mahasiswa ITB aktivis Masjid Salman ITB, Romi Hardiyansyah, mencoba menemui bapak penjual amplop dan mewawancarainya di kantor Rumah Amal Salman ITB. Laporan wawancaranya itu dia muat di akun fesbuknya. Saya minta izin memuat hasil wawancara itu di dalam blog ini, sebagai informasi yang lebih lengkap tentang bapak penjual amplop. Banyak yang masih penasaran seperti apa bapak itu dan bagaimana hidupnya. Yang jelas bapak tua itu masih setia berjualan di depan gerbang kampus ITB atau di depan gerbang Masjid Salman, tidak hanya hari Jumat tetapi sekali-sekali pada hari yang lain.

Di bawah ini tulisan Romi Hardiyansyah yang dimuat di dalam http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150390709462123

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bapak Penjual Amplop

Setelah membaca catatan dari salah seorang dosen ITB melalui website pribadinya, saya mencoba menggali lebih dalam tentang bapak penjual amplop ini. Yang saya tahu bahwa bapak ini hanya berjualan setiap hari jumat saja di pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Namun, ketika hari selasa saya mendapatkan laporan dari salah seorang rekan bahwa bapak penjual amplop ini menjajakan dagangannya di salah satu gerbang keluar ITB. Saya tidak menemuinya karena jadwal kuliah yang padat. Barulah ketika rabu, 23 Nopember 2011, sepulang kuliah sekitar pukul 12.00, saya menemuinya di tempat biasa ia menjajakan amplop-amplopnya, yaitu di depan pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Saya berniat untuk menemuinya setelah saya melaksanakan shalat zhuhur.

Sekitar pukul 13.00, saya dan Kang Dadan (karyawan Rumah Amal Salman-ITB) bergegas menuju pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Kang Dadan ada keperluan untuk menyampaikan amanah infaq salah seorang jamaah di Jakarta kepada beliau sementara saya memang berkeperluan untuk bercakap-cakap dan membeli amplopnya. Kami meminta beliau merapikan dagangannya dan mau berbincang-bincang dengan kami di salah satu ruangan di kantor Rumah Amal Salman-ITB. Alhamdulillah beliau mau dan segera mengemas amplop-amplopnya. Selama mengemas amplop-amplopnya, kami menerima banyak komentar dari para pedagang-pedangang lain di sekitar.

Menurut para pedagang, tidak sedikit orang yang membeli satu atau dua amplop tapi dibayar seharga Rp 5.000, Rp 20.000, bahkan Rp 50.000. Si Bapak justru sering berkata kepada para pembeli bahwa uang yang diberikannya kelebihan. Namun, para pembeli mengatakan agar diambil saja lebihnya.

Setelah bercakap-cakap dengan para pedagang sekitar, si Bapak ini pun siap untuk kami ajak ke kantor. Ia membawa tas besarnya pada bahu sebelah kiri dan menjinjing plastik berisi amplop dengan tangan kanannya. Tibalah kami di salah satu ruangan di kantor Rumah Amal Salman-ITB dan mulailah percakapan kami. Sebenarnya selama perjalanan ke rumah amal pun kami bercakap-cakap di jalan.

Namanya Suhud, lahir di Tasikmalaya 76 tahun yang lalu. Ayahnya asli Tasikmalaya sedangkan Ibunya asli Kuningan. Bapak yang sudah hidup tiga perempat abad ini suka merantau kesana kemari semasa mudanya hingga sekarang tinggal menetap bersama anak terakhir dan cucunya di Manggahan, Dayeuh Kolot. Pak Suhud memiliki tiga orang anak yang semuanya laki-laki semua. Anak pertama dan keduanya tidak tinggal bersama Pak Suhud. Semua anaknya memiliki keterbatasan dalam ekonomi sehingga jika beliau menggantungkan diri kepada anaknya, tentu akan susah. Dari sinilah beliau memutuskan untuk berdagang di usianya yang sudah renta.

Pak Suhud sehari-harinya berjualan amplop. Ya, amplop. Ia hanya berjualan amplop, tidak dengan yang lain. Pak Suhud menjajakan amplop-amplopnya di Pasar Simpang Dago dari pagi sampai siang kemudian dilanjutkan menjajakan amplop-amplopnya di pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Selain itu, Pak Suhud juga menjajakan amplopnya di Sukajadi, Kebun Binatang, dan tempat-tempat lainnya. Beliau baru sekitar sebulan yang lalu menjajakan dagangannya di Salman.

Amplop-amplop tersebut ia ambil dari tetangganya. Kemudian Pak Suhud akan menerima upah sesuai dengan banyaknya amplop yang bisa ia jual. Setoran tersebut tidak dibatasi waktu, boleh kapan saja. Jika pembeli sedang sepi, boleh jadi hari itu tidak setor dulu sampai dengan banyak amplop yang terjual.

Pak Suhud memulai usaha ini dari 2001. Namun karena usianya yang sudah renta, 10 tahun tersebut tidak semuanya digunakan untuk berjualan amplop, terkadang jika sedang capai, ia tidak berangkat mencari nafkah. Sebelum berjualan amplop, Pak Suhud berjualan sayur mayur. Istri Pak Suhud meninggal dunia 6 tahun yang lalu sehingga penghasilan yang beliau dapatkan murni beliau gunakan untuk keperluan hidup beliau sehari-hari. Ketiga anaknya mengetahui bahwa ayahnya ini berjualan amplop untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Pak Suhud berangkat dari rumahnya di Dayeuh Kolot sekitar pukul 03.30 dan pulang menuju rumahnya sekitar pukul 14.00. Beliau menggunakan angkutan perkotaan atau bis kota sebagai sarana transportasinya. Beliau mengatakan lama perjalanan bisa sampai dua atau tiga jam. Sungguh, perjuangan yang sangat hebat bagi laki-laki paruh baya ini.

Penghasilan Pak Suhud sehari-hari jelas tidak menentu. Terkadang tidak ada satu pun amplop yang terjual sehingga untuk kembali pulang ia biasanya meminjam uang pada pedagang-pedagang sekitar dan berjanji akan menggantinya jika nanti amplopnya ada yang membeli. Tetangga yang menjadi tempat setornya tidak mempermasalahkan akan keterlambatan setoran, jelas beliau. Beliau menambahkan ongkos pergi-pulangnya tiap hari sebesar Rp 12.000, padahal penghasilannya tiap hari belum tentu sebesar itu. Pada siang hari, Pak Suhud biasa makan di tempat makan yang beliau katakan murah harganya. Pemilik rumah makan sering mengatakan bahwa jika beliau ingin makan, silakan datang saja tanpa perlu membayar.

Beliau mengambil 100 amplop dari tetangganya seharga Rp 7.500 dan ia menjualnya seharga Rp 10.000. Artinya, untuk 100 amplop yang terjual, ia hanya mendapatkan untung Rp 2.500 saja. Jika dipikir-pikir, siapa yang mau membeli amplop sebanyak itu? Kalau pun ada yang membelinya, keuntungan yang beliau peroleh jelas tidak bisa digunakan untuk makan nasi sekalipun. Allahu a’lam. Ketika ditanya kenapa memilih berjualan amplop, ia hanya menjawab sngkat saja, karena amplop ringan, masih bisa beliau bawa dibandingkan jika beliau berdagang yang lainnya.

Karena usianya yang sudah tua, tentu fisiknya pun tidak lagi seperti anak muda. Pak Suhud mengatakan bahwa matanya kini telah kurang awas (rabun), pendengarannya kurang berfungsi dengan baik, dan dadanya sering pengap. Saya memerhatikan, beliau berbicara dengan suara yang lirih sekal dan tangan yang benar-benar gemetar baik di kala berbicara, di kala merapikan amplop-amplopnya, di kala membawa tas, dan lainnya.

Dalam keadaan yang seperti itu, Pak Suhud tetap tegar untuk menjaga kehormatannya dengan tidak meminta-minta. Begitu pula yang dikomentarkan para pedagang di sekitar pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Mereka menambahkan, banyak yang badannya masih bujangan, perkasa, gagah, dan kuat, namun meminta-minta. Kami menutup pembicaraan siang itu dengan menyampaikan amanah infaq dari Rumah Amal Salman-ITB.

Sebenarnya, ketika awal sampai akhir perbincangan saya berusaha menahan air mata agar tidak keluar karena mendengar suara Pak Suhud yang begitu lirih dan tangannya yang gemetaran. Terima kasih Pak Suhud. Darimu, saya belajar sebuah perjuangan..

Semoga kelapangan dan keberkahan rezeqi menyertaimu Pak. Dan Allah, tidak akan menyiakan hamba-hamba-Nya..

Bandung, 23 Nopember 2011

Romi Hardiyansyah
0852 842 39760/aemrum@gmail.com

(Update tanggal 20 Januari 2012: tulisan ketiga tentang Bapak penjual amplop ini dapat dibaca pada posting-an berikut: https://rinaldimunir.wordpress.com/2012/01/20/bapak-penjual-amplop-itu-rajin-shalat/

Pos ini dipublikasikan di Romantika kehidupan. Tandai permalink.

53 Balasan ke Lanjutan Kisah “Bapak Tua Penjual Amplop Itu”

  1. Pak, numpang share link ini ya… http://www.facebook.com/pages/Donasi-Untuk-Siti-Aisyah-Hamri/278699592168024
    Siapa tau ada yg mau memberikan donasi untuk saudari Siti Aisyah Hamri yg mengalami kecelakaan pada hari Jum’at sore (25 november 2011).

    Bila ada yg mau menyalurkan bantuannya utk saudari Siti Aisyah Hamri, silakan salurkan ke rekening Mandiri 1310006999082 a.n Marliani Harahap

    Haturnuhun, pak Rin…

  2. Zulfikar Hakim berkata:

    Traffic yang kemarin memang tinggi sekali Pak, Alhamdulillah. Banyak yang menyebarkannya melalui media sosial, facebook, dan lainnya. Luar biasa sekali.

    Citizen Journalism ini semoga selalu bisa dibangun dan dipupuk. Salut buat Pak Rinaldi

  3. Seno Pradono berkata:

    Di tempat lain seperti Tangerang pun ada pedagang-pedagang seperti ini, walaupun mungkin jumlahnya tidak seperti di Bandung … Kalau yang istri saya pernah temui di Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang yaitu penjual wayang kertas (benar-benar menggambar sendiri di kertas bekas kayaknya), langsung diborong sama istri saya …

    Berarti ayat Al-Qur’an bahwa “Semua yang melata di dunia ini sudah ada jatah rizkinya”, itu nampaknya benar adanya … Wallahu’alam bishshowab …

  4. Ping balik: Itu yang Aku Sebut Punya Harga Diri « Abasosay's Weblog

  5. tips menulis berkata:

    wah cerita yang sangat menyentuh

  6. Fadly Alfian berkata:

    saya gak bisa menahan air mata saya

  7. Shauma Hayyu berkata:

    Terima kasih Pak, telah menulis sebuah tulisan yang sangat inspiratif :’).. Saya juga jadi terharu sampe keluar air mata..

  8. Ping balik: Bapak Tua Penjual Amplop Itu « Catatanku

  9. Budiman Firdaus berkata:

    Inspiratif pak,..
    Intinya berbagi, apapun caranya.. 🙂

    Joe Boed..

  10. Nur Ady berkata:

    sungguh pak cerita nyata ini sangat menggugah hati nuarani saya. dan membuat saya meneteskan air mata…membuat saya semakin semngat lagi bahwa di dunia ini harus berjuang.. saya masih muda g boleh patah semngat… sungguh bapak penjual amplop itu jadi inspirasi saya

  11. acakadut berkata:

    setiap kali membaca artikel ttg si bapak penjual amplop ini air mata saya selalu tak terbendung.. tulisan yang luar biasa dan sangat inspiratif Pak..
    semoga semakin banyak saudara2 kita yg lebih mampu untuk bisa saling berbagi dengan saudara2 kita yg kurang mampu

  12. ANDRI NURHIDAYAT berkata:

    subhanallah Allahuakabar………..saya tidak bisa membanyangkan mas, anda yang mengaami bertemu langsung..Subhanallah………..LUAR BIASA…

  13. Ping balik: … « Reborn of Askiichan

  14. widyanto berkata:

    subhanallah…
    kisah yang menjadi teladan perjuangan

  15. rudi rahmat berkata:

    – bersyukur / tidak banyak mengeluh,
    – berjuang sungguh2 (jangan kalah sama pak suhud) dan
    – berbagi
    terima kasih pak, catatan bapak telah menyadarkan saya akan 3 hal diatas.

  16. ila berkata:

    Ya Allah, maafkan hambamu yang lalai akan selalu bersyukur atas apa yang telah Kau beri. Maafkan hamba ya Allah

  17. kurnia erviani berkata:

    terharu dan salut

  18. ecky agassi berkata:

    terimakasih atas pelajarannya :’)

  19. gilang raka berkata:

    Teladan yg patut dicontoh semua orang,khususnya anak muda yg tengah berjuang menggapai cita2’y. Maju terus pak suhud! Hidup adalah jihad,jk ikhlas menjalani’y insya Allah dpt kebahagiaan akhrt kelak. Amin

  20. tuaffi berkata:

    Saya sudah baca yang pertama, ikutan sedih. Setua itu masih kerja keras.. 😦

  21. herman berkata:

    menjadi contoh bagi saya dan teman2 untuk lebih giat berusaha selagi muda.
    trimakasih pak Suhud

  22. Ping balik: [Inspiring Story] Bapak Tua Penjual Amplop « Dien Islam

  23. Fitrina berkata:

    Artikel ini di share di beberapa grup facebook, di bbm juga, cerita ini telah menginspirasi banyak orang, Terimakasih

  24. Nashru berkata:

    MasyaAllah.. saya sampai malu sendiri.. makasih buat bung rinaldi, telah mengingatkan saya…

  25. edy setyo berkata:

    Saya meneteskan air mata membaca tulisan ini. sungguh kisah yang membuat hati terbuka. dengan ini, sy belajar arti sebuah perjuangan. Bapak suhud, mudah-mudahan tetap diberi kesehatan, umur panjang serta perlindungan Allah SWT.

    Sy tergerak untuk ikut berpartisipasi memberikan zakat maal untuk beliau.
    Bagaimana caranya ya??

  26. om Innhank berkata:

    Sebuah tulisan yang menggugah hati. Kehidupan bapak dalam tulisan itu adalah satu dari sekian banyak kehidupan orang yang kita dapati dijalanan. bagi sy orang2 spt itulah sebenarnya yang bisa dikatakan pemberani. Berani hidup demi kejujuran dan sebuah keuntungan yg tdk seberapa.

    Sekecil apapun bantuan kita, insyaAllah akan sangat berarti bagi orang2 yang membutuhkan.

    Salam kenal 🙂

  27. Dewi Haripah berkata:

    sangat menyentuh….terima kasih sudah menulis crt ini……

  28. shofia aniisa berkata:

    ada seorang kawan yg menshare kisah bapak penjual amlop di grup fb kami Itb Motherhood.
    sangat menyentuh, terimakasih pak karna telah mengabadikannya dlm bentuk tulisan

  29. drluluch berkata:

    Sering sekali menemui bapak2/ibu2 seperti ini disekitar rumah saya. Miris melihat mereka yang usianya sudah senja namun masih harus membanting tulang mencari nafkah, saya jadi teringat kakek nenek saya. SUngguh tidak tega melihatnya. Dan senantiasa bersyukur atas hidup saya. Semoga mereka selalu dikaruniai kesehatan dan rezeki yang mencukupi, baik melalui sedekah kita maupun usaha mereka sendiri

  30. gandi berkata:

    sebuah cerita yg inspiratif dimana kita bs memetik hikmah yg terkandung didalamnya,,,,
    perjuangan seorang bapak yg hakiki untuk tetap bertahan hidup tanpa meminta belas kasihan orang ,,semogaa para pembaca bisa mencerna kisah bapak suhud agar kita selalu bersyukur atas apa nikmat yg telah diberikan,,,amin

  31. kulsum az zuhra berkata:

    Allah Maha Pemberi Rizqi..

  32. ansyel berkata:

    Terharu…
    mulai hari ini belajar utk “mencari-cari alasan” membeli barang pada pedagang yang ada di pinggir jalan…

  33. Usie berkata:

    Izin Sharp..thx

  34. Usie berkata:

    Izin Sharp..thx

  35. Ping balik: Kisah Bapak Tua Penjual Amplop (Renungan Hidup) « cyber storage

  36. Muslifahdeni berkata:

    Subhanalloh….
    Pelajaran yg hebat….

  37. Mulyadi berkata:

    Tulisan yang sungguh inspiratif, betul2 menggugah nurani.!!!
    Ya Allah bimbinglah hambaMu ini untuk selalu mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan
    sehingga tidak melupakan kepada orang2 yang serba kekurangan dan dhuafa di sekeliling kita sendiri. sebab siapa lagi yang harus menolong kalau bukan kita-kita yang lebih dekat dengan mereka tinggal. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan keteguhan hati bagi hamba-Nya yang bersungguh berusaha dan sabar, Amien…

  38. Asih berkata:

    Subhanallah, lagi2 Allah mengingatkan saya dari cerita ini. Untuk tetap istikomah di jalanNya seberat apapun hidup yg sdh dianugerahkanNya kpd saya. Untuk tak mudah mengeluh, menghargai semua anugerahNya dan terus bersyukur.. Alhamdulillah, terimakasih utk sharing nya, smg akan makin menguatkan iman kita, amiin

  39. eoktaviani berkata:

    bener” ga bisa nahan air mata…..

  40. nayarini berkata:

    dan….air mata saya pun tumpah :-‘(

  41. Ping balik: Kisah Bapak Tua Penjual Amplop

  42. Ping balik: Lanjutan Kisah “Bapak Tua Penjual Amplop” « springocean83

  43. ranggaym berkata:

    Wah, aku kenal kak Romi nih, FT 09 kan?
    Subhanallah… walaupun aku susah menitikan air mata, hatiku ‘nangis’ juga nih..
    Selain kita bantu membeli dagangannya dia, bagaimana kalo kita bantu mengiklankan amplop dia? Minimal di kampus

  44. loveme berkata:

    lagi iseng2 cari koleksi amplop tiba2 baca cerita ini, bener2 mangharukan sekali..terimakasih utk penulis.

  45. ozmydas berkata:

    salut dah buat bapak itu..

  46. Blogger Jambi berkata:

    sedih, terharu,,, smoga semua orang yg bernasib seperti bapak penjual amplop ini juga dapat huluran tangan dari saudara2 yg berkecukupan ya,,, sedekah gak buat kita miskinkan,,, mari berbagi,,,,,,,

  47. masih berusaha bekerja untuk mendapatkan uang :”)

  48. Sedih banget baca cerita nya, ini inspirasi buat kita harus selalu berbagi buat org yang membutuhkan nya, tp bukan untuk pengemis yg tidak pernah mau berusaha…. aku salut sama bapak penjual amplop ini….semoga TUHAN selalu memberikan rezeki yg melimpah untuk nya, dan Kesehatan…AMien

  49. Buyung-daenk berkata:

    Artikel anda luar biasa,cukup mengharukan kisah Bapak penjual amplop.

  50. Thyfanna Amelia Rumdani berkata:

    Pak Suhud…
    ingin ku bertemu dengan mu…
    tapi apa daya…
    Aku jauh dari Bandung…
    Aku hanyalah perempuan dari pulau borneo
    Tak ada kuasa tuk ke Bandung…
    Kisah mu selalu menuai air mata.., aku sangat salut pada mu…

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.