Bagi mahasiswa, IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) itu sangat penting. IPK dianggap sebagai performance akademik seorang mahasiswa. Bagi yang memiliki IPK tinggi tentu merasa bangga dan makin percaya diri, sebaliknya bagi yang IPK-nya pas-pasan tentu merasa minder, rendah diri, dan sebagainya. Anggapan semacam itu tidak salah, sebab IPK memang merupakan ukuran pencapaian akademik seorang mahasiswa. Sah-sah saja mereka berlomba mencapai IPK yang tinggi, mahasiswa memang didorong untuk meraih nilai yang baik. Banyak keuntungan yang diperoleh dengan IPK bagus, misalnya unggul dalam seleksi melamar pekerjaan (seleksi tahap pertama berdasarkan IPK), mudah mendapat beasiswa S2, dan sebagainya.
Tetapi IPK bukanlah satu-satunya penentu kesuksesan masa depan. Ada banyak faktor yang menentukan keberhasilan seseorang dalam mengarungi kehidupan. Kemampuan bersosialisasi, berkomunikasi, membangun jaringan pertemanan, menghargai, rasa empati, dan sederet softskill lainnya lebih menentukan sukses tidaknya seseorang dalam kehidupan. IPK adalah nomor sekian, yang baris atas justru kemampuan2 softskill di atas. Baiklah, saya tidak akan membahas perdebatan tentang softskill vs hardskill, sudah banyak tulisan yang memuat tentang dua hal ini.
Saya ingin membahas mahasiswa saya yang “terpinggirkan”, yang sering dipandang sebelah mata oleh teman lainnya karena yang bersangkutan sering tidak lulus banyak mata kuliah dan IPK-nya pas-pasan. Mereka yang “bernasib malang” itu ada yang terpaksa drop out kuliah karena sudah melewati batas waktu studi, tetapi ada juga yang bisa lulus dengan waktu maksimal (6 sampai 7 tahun).
Jujur saja saya tidak menilai mahasiswa tersebut sebagai orang yang “suram”. Saya bukan peramal nasib, sebab nasib dan jalan hidup seseorang sudah digariskan oleh Yang Di Atas. Saya percaya mahasiswa seperti ini tidak akan selamanya mempunyai kinerja buruk. Sebagian dari mereka akan bangkit dari keterpurukan setelah lulus dari ITB. Motivasi mereka melecut untuk tidak boleh jelek untuk kedua kalinya. Saya menemukan beberapa mahasiswa saya yang dulu dipandang sebelah mata sekarang banyak yang sukses dengan usahanya (ini jika kesuksesan diukur dari materi). Bahkan, saya berdecak kagum ketika salah seorang dari mereka pamit kepada saya akan mengambil program PhD di Jerman, padahal ketika kuliah dia bukan “siapa-siapa”, IPK-nya hancur-hancuran.
Karena itu, saya tidak ingin mahasiswa pesimis dalam hidup. Hidup itu harus dibangun dengan semangat optimisme. Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Selama orang masih tetap mau berusaha dan berjuang, di situ pasti ada jalan terbentang. Yang penting harus punya kemauan, itu kunci utamanya. Selagi masih hidup maka masih ada asa. Kalau sudah mati, maka …wassalam, tamatlah sudah.
salam kenal mas dari mahasiswa yang terpinggirkan karena kuliah tak selesai2
tapi IPK saya nggak jelek2 amat sih 🙂
Terimakasih pak. tulisan yang sangat memotivasi. bagi saya IPK merupakan tolak ukur dalam mengevaluasi mahasiswa, tapi bukan tolak ukur untuk menetukan masa depan mahasiswa. jika saja semua dosen berpikir seperti bapak, tentunya tak akan ada mahasiswa yg “terpinggirkan”..
Mantapp Pa..inspirasie..buat para mahasiswa yang lagi galau..saya anjurkan baca tulisan ini. hehehe 🙂
iya nich
ayo dong blz
Setuju…Berani Hidup Tak Takut Mati, Takut Mati Jangan Hidup, Takut Hidup Mati saja (KH Imam Zarkasyi-Salah satu pendiri PM Gontor)
IPK hanya sekumpulan nomor…
salam
http://arebyne.wordpress.com/
memeang bener, yang penting sih emang skill nya pak
yang parah kalo kuliah cuman “kejer IP”
alhasil pas di perusahaan nanti ga bisa apa apa
IPK YANG TINGGI BIASANYA RAJIN IKUT REMIDI HEHEHEHEHE
hmmm semoga saja nasibq seperti mahasiswa yang bapak ceritakan saya mahasiswa ptn yang terancam drop out
Berdasarkan pengalaman pribadi saya tidak ada perbedaan yang nyata antara mahasiswa yang IPKnya tinggi dan rendah, selama PTNnya bagus.
Kenyataan teman-teman satu angkatan saya :
si A IPK > 3.8 : Sekarang sedang postdoc di Eropa
si B IPK 2.8 : Lulus PhD di Eropa skg jadi engineer disana
si C IPK 3.3 : Pegawai BI
si D IPK 2.5: Direktur perusahaan swasta
si E IPK 3.2: Pegawai Astra
si F IPK 3.3: Pegawai Pertamina
si G IPK 2.9: Lulus PhD dari Amrik skg kerja disana sebagai economist
Si H IPK 3.7: Sekarang Ass.profesor di Korea.
Si I IPK 3.6: Konsultan Accenture Jakarta
Si J IPK 2.9: Software developer di Singapore
si K IPK 2.7: Networking expert di UAE
si L IPK 2.6: Software developer di UAE
Si M IPK 2.7: Software developer di Silicon Valley
Si N IPK 3.0 : Pengusaha software house
Si O IPK 3.8 : Konsultan Accenture Hongkong
Si O IPK 3.3: Investment banker Singapore
So sama sekali gak ada ngaruhnya IPK itu terhadap karir di masa depan…. everything is mostly based on NETWORK, NETWORK and LUCK……
Suatu tulisan yg bagus sangat bagus Pak.
Memotivasi para mahasiswa yg terpinggirkan.
🙂
subhanallah…
inspirasi bnget..smoga bisa jadi manfaat buat sya dan yang lain dan smoga cita-cita saya tercapai..aamiin aamiin aamiin yrobb
terimakasih pak. tulisannya sangat inspiratif, smoga Allah mmbalas kbaikan bapak. saya mngalami fasa drop IPK yg sangat tidak enak. bolehkah saya ketemu bapak?
Boleh
terimakasih pak.. tulisannya memberi banyak pencerahan dan motivasi.. 🙂
jarang2 ada dosen yg bersedia menulis seperti ini.. kebanyakan yg sy kenal hanya menghargai mahasiswa yg lulus tepat waktu dengan IPK cumlaude..
Thanks Pak.Tulisannya Sangat Memotivasi.
sedikit lega dengan baca tulisan ini, 🙂 pas banget dengan semster ini dapat IPK anjlok terporosot di lumpur idup :’) Terimakasih Banyak ^^
saya sudah lewat masa studi dan saya bingung harus bagaimana nanti.
sangat memotivasi (y) setidaknya IPK yang bagus tanpa diimbangi softskill sama aja nothing 😀
Permisi, Saya mau tanya, Bapak yg menulis artikel ini berdomisil di kota mana? Terima kasih
Tks motivasinya pak, saat ini sy sedang menempuh s2 di institut ini, dan sy sempat merasa drop ketika memperoleh nilai BC dari beberapa mata kuliah, padahal dari tugas2 yg masuk nilainya sama dengan mhs yg memperoleh nilai AB, tentu saja kecuali untuk dua tugas yang telat dimasukan, karena sakit selama 2 pertemuan itu.
Saya merasa drop dan hopeless karena punya target kedepannya untuk memperoleh beasiswa S3, tetapi dgn nilai2 tersebut sulit untuk mencapai batas IPK tertentu yg dipersyaratkan penyandang dana beasiswa. Tapi setelah membaca postingan bapak ini, Alhamdulillah sy bs berpikir lebih positif dan menyerahkan segala sesuatunya pada Allah SWT. Seberapa kuat kita berharap kepada sesama manusia belum tentu bs membantu, kecuali kita berserah diri kepada-Nya.
Reblogged this on Catur Putra Prakoso Pamungkas.
Di ITB ada dua macam nilai indeks, yaitu IP (Indeks Prestasi) dan IPK (Indeks Prestasi Kmulatif). Untuk IPK, memang perhitungannya untuk semua nilai yang pernah diperoleh (kumulatif), termasuk pernah E sekalipun. IPK digunakan untuk menentukan yudisium kelulusan.
Namun, untuk nilai di transkip akademiik, nilai E yang pernah diperoleh tidak muncul di dalam transkip. Di dalam transkip yang muncul adalah nilai2 yang sudah lulus saja. Berdasarkan nilai-nilai di transkip, maka dihitunglah IP (Indeks Prestasi). Jadi, yang tertera di dalam transkip akademik adalah IP, bukan IPK. Yang digunakan untuk urusan keluar adalah IP. Di sinilah perbedaan antara IP di ITB dan IPK di tempat lain. Jadi, IP di ITB sama dengan IPK di tempat lain.
Terimakasih penjelasannya Pak.
Jadi dulu saya salah mengira, ternyata IP ITB sama dengan IPK di tempat lain. Saya dulu selalu mengejar IPK saat kuliah. Dulu IPK saya di ITB di bawah 2,5 tapi IP saya 2,65, ternyata yang dipakai IP bukan IPK. Saya sering mengulang nilai C agar bisa setidaknya IPK di atas 3,0, sehingga saya sering dimarahi dosen pembimbing saya. Sebenarnya saya masih memungkinkan lulus dari ITB tapi saya saat itu takut lulus dengan IPK pas-pasan setelah membaca-baca persyaratan IPK minimal sekolah pascasarjana. Sehingga saya memutuskan transfer ke universitas lain saja, saya memutuskan untuk kuliah dan tinggal bersama orang tua agar lebih mudah dan murah.
Wah makasih pak,sebagai anak itb saya jadi terharu baca tulisan bapa,semangat kuliah hahaha
motivasi yang sangat membangun, sukses!! remaja masa kini dan masa nanti tentunya hehehe
ITB terlalu pelit memberikan nilai.
Alumni ITB dengan IPK 2,5 saya lihat skill nya diatas alumni univ. swasta dengan IPK 3,5 meski kampusnya sama-sama terakreditasi A. Tapi pada seleksi beasiswa S2 ke kampus top luar negeri, yang alumni ITB gagal karena persyaratan IPK kurang mencukupi, sedangkan yang alumni swasta berhasil diterima. Apakah itu adil? Saya yakin seluruh mahasiswa ITB ingin sekali mendapat beasiswa S2.
Kalau karena tidak ingin mengobral predikat cum laude, seharusnya yang dipersulit mendapatkan nilai A nya, bukan mendapatkan nilai B nya. Zaman sekarang nilai akademik harus rata-rata B (IPK 3,0) supaya mudah mendapatkan pekerjaan dan beasiswa.
Kalau bisa ITB menerapkan zero DO kecuali yang sudah keterlaluan sekali. Rata-rata mahasiswa DO dari ITB karena kesulitan akademis malah menjadi lulusan terbaik di kampus lainnya.
Kalau memang kurikulumnya sulit, jangan menerima 100 mahasiswa hanya untuk akhirnya men-DO 10 mahasiswa yang sudah diterima tersebut. Sebaiknya hanya menerima 90 mahasiswa saja sejak awal. DO itu sangat menjatuhkan mental mahasiswa, bahkan ada yang bunuh diri karenanya.
“Alumni ITB dengan IPK 2,5 saya lihat skill nya diatas alumni univ. swasta dengan IPK 3,5 meski kampusnya sama-sama terakreditasi A.” -> Stanford University itu univ swasta. Jadi mau bilang ITB lebih baik drpd Stanford? owh.. oke. Sampai sini saya cukup tau saja.