Pilkada Langsung atau Tidak Langsung, No Problem!

Saat ini sedang ramai perdebatan tentang RUU Pilkada di DPR RI. RUU Pilkada (atau Pemilukada) ini akan membahas apakah pemilihan Kepala Daerah nanti akan dilakukan secara langsung (oleh rakyat) atau lewat DPRD (seperti zaman Orba dulu). Di DPR fraksi-fraksi Parpol sudah terbelah dua. Kelompok pertama adalah Koalisi Merah Putih yang merupakan partai-partai pendukung Prabowo pada saat Pilpres kemarin, yaitu fraksi Gerindra, PKS, Demokrat, PAN, Golkar dan PPP. Koalisi Merah Putih mendukung pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD. Kelompok kedua adalah partai-partai pendukung Jokowi (minus Nasdem), yaitu PDIP, PKB, dan Hanura, yang menginginkan Pemilukada langsung oleh rakyat seperti selama ini.

Jika tidak tercapai kesepakatan dengan musyawarah dan mufakat dalam pembahasan RUU Pilkada itu, maka besar kemungkinan RUU Pilkada akan diputuskan dengan cara voting. Mengingat jumlah anggota DPR dari Koalisi Merah Putih lebih banyak daripada kelompok Jokowi, maka dapat dipastikan Pemilukada mulai tahun 2015 nanti akan melalui DPRD (lagi).

Bagi saya pribadi tidak masalah apakah pemilihan walikota/bupati atau gubernur nanti melalui Pemilukada langsung atau melalui wakil-wakil rakyat di DPRD. Menurut saya pemilihan lewat DPRD tidak selamanya buruk, tetapi pemilihan langsung pun bukan berarti tidak selalu baik. Kedua cara pemilihan tersebut punya manfaat dan mudarat masing-masing. Bagi rakyat secara umum, pemilihan langsung atau tidak langsung tidak mempunyai pengaruh yang terlalu berarti bagi mereka.

Pilkada langsung menguras energi dan ongkos politik yang mahal serta rawan politik uang. Karena biaya yang dikeluarkan kandidat sangat besar, maka banyak kepala daerah yang terpilih akan menutupi biaya yang dikeluarkannya dengan melakukan korupsi. Faktanya sebagian besar kepala daerah yang terpilih secara langsung tersangkut masalah korupsi (baca: 290 Kepala Daerah Terlibat Kasus Korupsi). Belum lagi kerusuhan massa yang timbul jika calon yang didukung kalah, para pendukung kandidat yang tidak puas melampiaskan kekecewaannya dengan melakukan aksi anarkis. Namun, Pilkada secara langsung menghasilkan pemimimpin daerah yang memiliki kedekatan dengan rakyat karena rakyat daerahlah yang langsung memilihnya, contohnya Jokowi (dulu), Ahok, Bu Risma, Ridwan Kamil, dan lain-lain.

Pemilihan melalui DPRD juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya tentu karena biaya yang dikeluarkan sangat sedikit dibandingkan Pilkada langsung. Karena yang memilih adalah para wakil rakyat, maka prosesnya lebih mangkus, cepat, dan tidak melibatkan massa sehingga potensi kerusuhan tidak sebesar Pilkada langsung. Namun tentu saja ada kelemahannya, yaitu rawan politik dagang sapi di kalangan Parpol untuk memuluskan calonnya bertarung di DPRD.

Baik Pilkada langsung ataupun tidak langsung (via DPRD) keduanya tidak melanggar demokrasi. Demokrasi itu bisa dilakukan langsung atau tidak langsung melalui para wakil rakyat di legislatif. Demokrasi yang diatur oleh UUD 45 tidak mengatakan secara spesifik cara pemilihan kepala daerah. Hanya dikatakan pemilihan berlangsung secara demokratis, nah demokratis itu bergantung penafsiran oleh UU. Saya membaca pendapat Yusril Ihza Mahendra tentang mengenai Pilkada ini (pidatonya dilakukan pada tahun 2013, jauh sebelum perdebatan RUU Pilkada), menurut saya pendapatnya logis dan berdasarkan hukum. Jadi, kalau Ahok mundur dari Partai Gerindra karena mengangap RUU Pilkada itu melanggar konstitusi saya kira kurang tepat. Konstitusi mana yang dilanggar?

Saya menilai pro kontra tentang RUU Pilkada itu lebih disebabkan aspek politik. Fraksi pendukung Jokowi di DPR sangat berkepentingan dengan RUU itu, sebab jika pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD, maka sebagian besar kepala daerah nanti akan dimenangkan oleh partai-partai dari Koalisi Merah Putih. Hanya dua propinsi saja nanti yang kepala daerahnya mungkin dari kelompok Jokowi cs, yaitu Bali dan Kalimantan Barat, sebab hanya di dua daerah itu jumlah anggota DPRD dari kelompok Jokowi sedikit lebih banyak daripada Koalisi Merah Putih (Baca ini: UU Pilkada Sah, Koalisi Prabowo Borong 31 Gubernur).

Jadi, “ketakutan” Parpol jika Pilkada melalui DPRD lebih karena khawatir tidak mendapat kekuasaan ketimbang melihat kepentingan rakyat yang lebih besar. Anehnya lagi, PKB yang sebelumnya mendukung Pilkada melalui DPRD berbalik mendukung Pilkada secara langsung (mungkin karena tergabung dengan kelompok Jokowi), sebaliknya PKS yang dulu mendukung Pilkada secara langsung sekarang mendukung Pilkada melalui DPRD (mungkin karena tergabung dalam Koalisi Merah Putih). Jadi terlihat sekali kalau RUU Pilkada itu lebih dominan aspek politiknya, dan politik = kekuasaan.

Silakan para wakil rakyat menentukan mana yang terbaik, mau langsung mangga, mau lewat DPRD silakan.

Pos ini dipublikasikan di Indonesiaku. Tandai permalink.

11 Balasan ke Pilkada Langsung atau Tidak Langsung, No Problem!

  1. Iwan Yuliyanto berkata:

    Pendapat Pak Prof. Yusril Ihza Mahendra memang sangat logis dan berdasarkan hukum. Fakta-faktanya tentang kasus korupsi oleh para kepala daerah pun sudah membuktikan kebenaran ucapan beliau.

  2. Alris berkata:

    Bagi rakyat seperti saya gak ada pengaruh signifikan mau dipilih langsung atau tidak langsung. Yang pasti pemilihan tidak langsung akan memangkas biaya yang sangat besar baik untuk kandidat maupun bagi negara. Biaya begitu besar buat pemilukada bisa dialihkan ke subsidi yang bermanfaat buat rakyat.

  3. firmansick berkata:

    artikel yang jujur

  4. pratam berkata:

    memang lebih baik “dagang sapi” saja Pak daripada pilkada langsung yang kadang memakan korban nyawa……

  5. Aldo berkata:

    Kalo jadi pilkada langsung,tolong libur kampus minimal 3 hari dong pak (dari H-1 pemilihan sampe H+1 pemilihan DPRD). Kalo cuma 1 hari mana bisa milih. Saya saja yang di Bekasi ga bisa pulang kalo liburnya cuma 1 hari,apalagi yang rumahnya jauh2

  6. Ping balik: Dilema Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung atau Tidak Langsung | Galih's Personal Blog

  7. Selain pilkada langsung dan pilkada tidak langsung, ada gak alternatif lainnya? Mungkin yang lebih efektif (berkaitan dengan kualitas calon), efisien, dan mampu meminimalisir atau bahkan menutup peluang mendapatkan jabatan melalui KKN.

  8. yoga nugraha berkata:

    mantap sekali pak, sangat enak dibaca dan dipahami buat yg awam spt saya

  9. Jumadi berkata:

    Ijin share ya, Pak Rinaldi πŸ™‚

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.