Kebebasan Berekspresi = Kebebasan Menghina?

Tidak putus-putusnya umat Islam di dunia diprovokoasi untuk marah. Junjungan umat Islam, Nabi Muhammad SAW, tidak henti-hentinya mendapat hinaan dan pelecehan oleh orang lain. Yang terbaru adalah penayangan film “Innocence of Muslim” di Amerika. Film berdurasi panjang ini juga sudah tersebar di situs Youtube. Seperti dikutip dari sini, “film ini mengisahkan tentang kehidupan Nabi Muhammad yang, parahnya, dibumbui dengan tema pedofil dan homoseksualitas. Sejumlah adegan dalam film yang berdurasi 2 jam ini telah diunggah ke internet dan bisa juga dilihat di sejumlah saluran satelit privat”.

Protes umat Islam di seluruh dunia terhadap film tersebut berlangsung hingga sekarang dan sudah banyak korban yang berjatuhan, termasuk Dubes AS yang tewas di Libya. Mungkin aksi demo anarkis inilah yang ditunggu-tunggu oleh pembuat film dan kaum Islamophobia, sebab dengan begitu mereka mempunyai alasan untuk membenarkan stigma bahwa Islam adalah agama yang identik kekerasan. Tujuan membuat film itu sendiri sangat jelas yaitu untuk menyebarkan kebencian kepada Islam, namun dibungkus dengan dalih kekebasan berekspresi.

Bagi dunia Barat, kebebasan berekspresi adalah segala-galanya. Manusia bebas mengekspresikan apapun yang dia inginkan dan tidak seorangpun yang berhak melarangnya. Film “Innocence” menambah deretan kebebasan berekspresi yang melukai hati umat Islam. Masih segar dalam ingatan kita novel “Ayat-ayat Setan” yang ditulis oleh oleh Salman Ruhdie, film pendek “Fitna” oleh Geert Wilders di Belanda, dan penayangan kartun Nabi di harian Jillands Posten di Denmark. Sasarannya jelas untuk membuat kontroversi, sebab mereka tahu benar kalau di dalam Islam tidak boleh memvisualkan Nabi, ditambah lagi dengan bumbu-bumbu yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai seorang yang memiliki sifat buruk.

Di dunia Barat penghinaan terhadap Yahudi dianggap sebagai anti-semit, penghinaan terhadap kulit hitam dianggap rasis. Di Eropa, jika anda menolak mengakui peristiwa Holacaust (pembantaian terhadap kaum Yahudi oleh tentara NAZI), maka anda akan dipenjara. Anehnya, penghinaan terhadap simbol-simbol Islam tidak dianggap Barat sebagai bentuk kriminal (crime), namun dipandang sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Begitulah standard ganda Barat terhadap Islam.

Umat Islam masih bisa “menahan diri” ketika penghinaan itu dilakukan kepada Sang Pencipta, hal itu dapat kita lihat dari tulisan-tulisan ateistik yang tidak mempercayai keberadaan-Nya. Penghinaan terhadap Tuhan sudah berlangsung berabad-abad sejak zaman dulu sampai sekarang. Namun, ketika penghinaan itu dilakukan terhadap Nabi junjungan mereka yang sangat dimuliakan dan dicintai itu, maka rasa amarah yang tidak tertahankan meletup sampai tidak terkendali.

Kecintaan umat Islam kepada Kanjeng Nabi itu tidak hanya dalam ucapan salawat dan salam yang selalu dibaca setiap shalat, tetapi kecintaan itu diabadikan dengan menamakan anak-anak mereka dengan nama “Muhammad”. “Muhammad” adalah nama yang paling populer di dunia (ketiga anak lelaki saya selalu mempunyaikata “Muhammad” di dalam namanya).

Begitu besar kecintaan orang Islam kepada Rasulullah, sebab kecintaan kepada Rasulullah adalah tanda kesempurnaan iman, sebagaimana Hadis Nabi yang berbunyi sebagai berikut:

Dari Anas r.a. ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sempurna keimanan seseorang diantara kalian hingga ia lebih mencintai aku daripada kedua orangtuanya, anaknya, dan manusia semuanya.”

atau dalam hadis lain yang senada:

“Rasulullah (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) bersabda, ‘Demi Dia yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah beriman seorang di antaramu hingga ia mencintaiku melebihi cintanya pada ayahnya dan pada anak-anaknya.'” [Sahih Bukhari, diriwayatkan dari Abu Hurairah RA]

Oleh karena itu, aksi-aksi demo menentang penghinaan terhadap Rasulullah seharusnya dapat dilihat secara adil. Mereka menjadi anarkis karena hati mereka sudah sangat terluka. Apapun, termasuk nyawa sekalipun, mereka korbankan untuk membela kemuliaan Nabi junjungan umat. Anda bisa paham maksud saya, tidak seorangpun yang rela bila orang yang dihormati atau dimuliakannya direndahkan atau dilecehkan oleh orang lain. Seorang anak tidak akan terima jika ibu kandungnya dihina oleh orang lain, dia akan sangat marah dan terluka, bahkan dia mau bersabung nyawa untuk membela kehormatan orangtuanya. Itu baru kepada orangtua, apalagi terhadap Rasulullah dimana kecintaan kepada beliau di atas kecintaan kepada anak atau orangtua. Saya bukan setuju atau mendukung aksi yang menjurus anarkis itu, tetapi saya bisa memahami mengapa hal itu bisa terjadi.

Kebebasan sendiri tidaklah benar-benar bebas sepenuhnya, namun tetap ada batas-batasnya. Ketika kebebasan itu memasuki ranah publik, maka ia dibatasi oleh penghargaan dan penghormatan kepada orang lain. Ketika anda telanjang (maaf) seorang diri di dalam kamar, tidak ada yang mempersoalkannya, namun ketika anda telanjang di depan umum dengan dalih sebagai sebuah ekspresi seni, maka anda bersinggungan dengan norma yang diyakini orang banyak bahwa memamerkan aurat di depan publik itu adalah sebuah pelanggaran terhadap norma agama dan etika.

Kebebasan, di mana pun itu, harus diiringi dengan rasa tanggung jawab. Kebebasan yang kebablasan, yaitu yang tidak menghargai hak dan keyakinan orang lain, hanya akan melahirkan api dendam dan kebencian yang tidak habis-habisnya. Kebebasan berekspresi tidaklah sama dengan bebas untuk menghina atau melecehkan apa saja, ada keyakinan pihak lain yang harus dipertimbangkan sebelum anda mengekspresikan diri anda

Pos ini dipublikasikan di Agama. Tandai permalink.

5 Balasan ke Kebebasan Berekspresi = Kebebasan Menghina?

  1. Ping balik: Kebebasan Berekspresi = Kebebasan Menghina? | Goresan Putra Mandailing

  2. Ping balik: Kebebasan Berekspresi = Kebebasan Menghina? | Goresan Putra Mandailing

  3. Ping balik: Cerita di Balik Keindahan Belitong | bijak.net

  4. Ely Vonica berkata:

    kalo mau share darimana ni?

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.