Catatan Perjalanan Haji 2018 (Bagian 10): Melempar Jumrah Aqabah di Mina (10 Zulhijjah)

Setelah Maghrib bus-bus yang mengangkut jamaah haji bergerak dari Arafah ke Mina. Lalu lintas ke Mina sangat padat dengan bus-bus jamaah haji dari negara lain, tidak hanya bus jamaah haji Indonesia saja. Mina adalah perkampungan tenda. Berbeda dengan tenda di Arafah yang bersifat bongkar pasang, tenda di Mina adalah tenda yang permanen. Tenda-tenda ini hanya terisi selama musim haji saja, di luar itu Mina bagaikan kota mati yang sepi. Ketika mengikuti city tour di kota Mekkah (baca tulisan Bagian 8), kami melewati Mina. Dari atas bus saya melihat bangunan jamarat yang digunakan untuk melempar jumrah.

Melewati perkampungan tenda di Mina ketika city tour di Mekkah. Gedung yang terlihat di kejauhan adalah gedung jamarat untuk melempar jumrah.

Malam itu semua jamaah di atas bus masih berpakaian baju ihram. Baju ihram baru boleh diganti jika sudah melakukan tahalul, yaitu setelah melontar Jumrah Aqabah. Wajah-wajah jamaah terlihat kelelahan dan kurang tidur. Bus melintasi jalan-jalan di Mina yang padat merayap, semakin malam semakin banyak bus-bus yang berdatangan.

Seharusnya kami berhenti sebentar di Mudzdalifah untuk mengumpulkan batu-batu untuk melempar jumrah. Namun tempat kami mabit nanti di Mina adalah di Mina Jadid, atau Mina Baru, yang merupakan perluasan Mina. Jamaah haji yang setiap tahun semakin banyak tidak memungkinkan lagi tertampung di Mina, sehingga Pemerintah Saudi memperluas Mina hingga ke Mina Jadid. Mina Jadid ini sudah termasuk ke dalam wilayah Mudzdalifah. Jadi, bermalam di Mina Jadid pada hakikatnya adalah juga bermalam di Mudzdalifah. Dengan kata lain Mina Jadid itu di Mudzdalifah juga. Oleh karena itu, tujuan kami adalah langsung ke Mina Jadid.

Lalu, bagaimana dengan pengumpulan batu? Kami tidak perlu lagi mengumpulkan batu-batu, Pemerintah Saudi telah menyediakan kantung kecil yang berisi batu-batu kerikil untuk melempar jumrah. Kantung kecil itu dibagikan ketika kami masih berada di atas bus menuju Mina. Wah, semakin dimudahkan saja menjalankan haji oleh Pemerintah Saudi.

39939036_2018008001600548_4157742803129991168_o

Kantung kecil berisi batu pelontar jumrah yang dibagikan Pemerintah Saudi untuk jamaah haji Asia Tenggara

Jam 10 malam akhirnya bus sampai di gang masuk ke tenda Kloter 07 JKS di Mina Jadid. Satu tenda diisi oleh beberapa KBIH. Tenda di Mina lebih sempit dibandingkan tenda di Arafah. Untuk tidur saja susah, berjejer seperti ikan pindang, ditambah dengan barang bawaan. Satu kepala menghadap ke utara, satu lagi ke selatan, lalu dua pasang kaki bertemu di tengah. Sebagian jamaah yang tidak tahan dengan suasana sempit di dalam tenda lebih memilih tidur di dalam gang antar tenda.

Yang lebih menyedihkan adalah jamaah haji mandiri yang tidak tergabung dalam KBIH manapun. Teman saya di kloter yang lain, jamaah haji mandiri, mengeluhkan dia dan istrinya tidak mendapat tempat di dalam tenda. Tenda-tenda itu sudah dikapling oleh KBIH-KBIH, jadi dia dan temannya yang lain yang tidak tergabung di dalam KBIH tidak kebagian tempat. Setelah diskusi yang alot akhirnya dia memilih di luar saja, sementara istrinya bisa masuk ke dalam tenda.  Persoalan ini terjadi karena pemetaan yang tidak cocok antara jumlah jamaah haji dengan jumlah tenda.

Untuk mengetahui seperti apa suasana tenda di Mina, di bawah ini saya perlihatkan beberapa foto keadaan tenda pada siang hari.

Tenda-tenda jamaah haji di Mina

Suasana di dalam tenda di Mina

Tenda-tenda jamaah haji di Mina

Kembali ke cerita tadi, ketika kami baru sampai di Mina dari Arafah. Setelah tiba di tenda Kloter 07 JKS, kami beristirahat sebentar. Catering makan malam yang terlambat dibagikan  kepada jamaah. Tenda penuh dengan tas dan aneka barang bawaan jamaah dari Arafah. Mau rebahan sebentar juga susah dan sempit.

Setelah beritirahat sebentar, jam 12 malam kami diinstruksikan oleh ustad pembimbing haji untuk bersiap-siap menuju jamarat. Ya, melontar jumrah Aqabah pada tanggal 10 Zulhijjah (hari Idul Adha) akan akan segera dilakukan. Sebenarnya waktu yang afdhol untuk melempar jumrah Aqabah adalah pada pagi hari setelah matahari terbit. Namun, mungkin karena pertimbangan padatnya jamaah haji yang melempar jumrah secara bersamaan, maka  kami melempar jumrah Aqabah pada waktu dinihari tanggal 10 Zulhijjah. Begitu juga pada hari tasyrik 11, 12, dan 13 Zulhijjah, kami melempar jumarh selalu setelah lewat waktu tengah malam.

Masalah waktu ini memang sering diperdebatkan, dan selalu ada sebagian ulama yang membolehkan maupun melarang dengan dalil masing-masing.  Soal pro dan kontra melempar jumrah Aqabah sebelum matahari terbit pada tanggal 10 Zulhijjah  tidak akan saya bahas di sini. Kalau saya baca berita ini dan ini memang Pemerintah Saudi telah mengatur waktu melempar jumrah Aqabah pada tanggal 10 Zulhijjah bagi jamaah haji Asia Tenggara. Saya kutip dari berita tersebut, “pada tanggal 10 Zulhijjah dilarang melontar jamarat mulai pukul 06.00–10.30 waktu Arab Saudi (WAS), 11 Zulhijjah pada pukul 14.00–18.00 WAS dan 12 Zulhijjah larangan melontar jamarat pada pukul 10.30–14.00 WAS”.

Dari tenda, kami berjalan kaki menuju jamarat. Karena tenda berada di ujung Mina, yaitu di Mina Jadi, maka jaraknya ke jamarat cukup jauh, yaitu sekitar 5 km (saya tidak tahu persis berapa km), dan jarak yang sama untuk pulang kembali ke tenda.  Tidak ada kendaraan yang mengantar ke jamarat, semua ditempuh dengan berjalan kaki. Baik muda, tua, maupun yang berkursi roda semua berjalan menuju jamarat. Tidak ada jamaah yang mengeluh dengan kondisi yang jauh itu. Semua dijalani dengan penuh keikhlasan untuk mengharapkan ridho-Nya. Apalagikah yang kita cari selama hidup di dunia ini kalau bukan ridho Allah SWT?

Dari semua rangkaian ibadah haji, melontar jumrah adalah kegiatan yang paling krusial dan paling melelahkan. Bayangkan jutaan jutaan jamaah bergerak ke tempat yang sama dengan berjalan kaki. Menempuh berjalan kaki sejauh 5 km insya Allah saya masih kuat. Saya membayangkan bagaimana dengan jamaah yang sudah tua, tentu tidak kuat berjalan sejauh itu. Tetapi…ya Allah, saya menemukan kebalikannya. Orang-orang tua yang sudah renta sekalipun sangat bersemangat berjalan kaki. Mereka tidak ada yang mengeluh. Perjalanan menuju jamarat dilakukan dengan ikhlas. Kalau hati sudah ikhlas, perjalanan seberat apapun akan dilalui tanpa beban.

Memperhatikan rombongan jamaah haji Indonesia yang berjalan kaki dari tenda ke Jamarat sungguh membuat hati siapa saja merasa terharu. Bapak – bapak dan ibu yang sudah sepuh, atau yang memakai kursi roda, atau memakai tongkat, berjalan kaki bersama-sama menembus terik matahari yang membara (kalau melontar jumrah pada siang hari), atau menembus malam yang gerah dan jalanan yang padat dengan bus dan manusia. Seorang anak mendorong kursi roda orangtuanya, suami mendorong kursi roda istrinya. Seorang ibu yang kakinya (maaf) pincang tetap berjalan dengan caranya yang khas. Sambil berjalan kaki mereka tetap bersemangat bertalbiyah atau bertakbir. Hati siapa yang tidak tergetar melihat semua ini secara langsung? Mereka menuju titik yang sama: Jamarat. Kalau Allah sudah memanggil hamba-Nya ke Baitullah, apapun akan dilakukan untuk memenuhi undangan-Nya.

Melontar jumrah adalah mengulangi peristiwa sejarah ketika Nabi Ibrahim dan Ismail digoda oleh setan untuk membatalkan niat menyembelih Ismail yang merupakan perintah Allah. Nabi Ibrahim melempari setan dengan batu, begitu pula Nabi Ismail dan ibunya Siti Hajar. Ketiga peristiwa pelemparan batu itu diulang kembali oleh jamaah haji dengan melempar tiga jumrah (ulaa, wustha, dan aqabah). Makna pelemparan jumrah itu saat ini adalah melempari sifat buruk pada diri setiap manusia. Nabi Ibrahim berhasil mengalahkan godaan setan dan mematuhi perintah Allah. Atas ketaatan Nabi Ibrahim mematuhi perintah Allah, maka sebagai gantinya Allah menyuruh Nabi Ibrahim menyembelih seekor domba sebagai ganti menyembelih Ismail. Ummat Islam yang tidak pergi haji mengulangi peristiwa Nabi Ibrahim itu dengan menyembelih hewan qurban pada Hari Raya Idul Adha. Darah dan daging qurban itu tidak sampai kepada Allah SWT karena memang tidak diperuntukkan bagi-Nya, tetapi yang sampai adalah taqwa dari hamba-Nya karena telah menaati perintah-Nya.

Sepanjang perjalanan menuju jamarat kita melalui pinggir jalan raya yang padat dengan bus-bus yang membawa rombongan jamaah haji dari Arafah, Saya menemukan pemandangan yang mengenaskan, yaitu jamaah haji dari Afrika bergelimpangan tidur di pingir jalan. Mereka tidak menginap di tenda, entah mereka tidak mendapat tenda atau memang mereka tidak terorganisir.

Setelah berjalan kaki selama dua jam, akhirnya sampailah kami di gedung jamarat. Gedung jamarat ini ada tiga lantai. Kita dapat melempar jumrah dari lantai  mana saja karena jumrah dibuat seperti tugu yang tingginya tiga lantai. Untuk naik ke setiap lantai tersedia eskalator.

Gedung jamarat

Rombongan kami melempar jumrah di lantai satu. Setelah masuk ke dalam, kita menemukan jumrah yang paling besar yang terletak paling ujung, itulah jumrah Aqabah. Dinihari saat itu tidak terlalu padat dengan jamah haji. Kami dapat melempar jumarh Aqabah dengan mudah. Ada tujuh kali lemparan. Setiap kali kita melempar batu ke jumrah, kita membaca bismillaahi allahu akbar.

Melempar jumrah Aqabah

Hanya jumrah Aqabah saja yang dilempar pada tanggal 10 Zulhijjah itu. Dua jumrah yang lain (jumrah Ula dan jumrah Wustha) akan dilempar pada hari-hari tasyrik. Selesai melempar jumrah Aqabah, kami pun melaksanakan tahalul, yaitu memotong beberapa helai rambut. Alhamdulillah, dengan demikian rangkaian melempar jumrah tahap pertama sudah selesai, kami sudah boleh mengganti pakaina ihram dengan  pakaian biasa lagi. Tetapi, karena pakaian ada di dalam tenda, maka berganti pakaian nanti saja di tenda.

Rombongan kami berjalan kaki kembali menempuh jalan yang sama menuju tenda. Itu artinya berjalan kaki sejauh 5 km. Bagi jamaah yang tidak kuat pulang berjalan kaki, ada orang Arab yang menyediakan kursi roda dan mendorongnya hingga ke tenda. Seorang ibu di rombongan kami yang tidak kuat lagi berjalan, memilih menggunakan jasa sewa kursi roda ini. Ongkosnya nego,  tercapai kesepakatan 200 riyal atau sekitar 800 ribu rupiah (jika 1 riyal = Rp 4000).

Sempat pula kami kesasar ketika kembali ke tenda. Rupanya kami tidak hafal lokasi tenda semula. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya sampai jugalah kami di tenda ketika adzan Subuh berkumandang. Setelah sholat Subuh, sebagian besar jamaah tertidur karena kelelahan. (BERSAMBUNG)

Pos ini dipublikasikan di Agama, Cerita perjalanan. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.