Seperti Inikah Sistem Pendidikan Kita?

Gambar kartun di bawah ini seakan menyindir sistem pendidikan di negara kita yang menganggap setiap anak didik dinilai dengan cara yang sama. Gambar kartun tersebut saya peroleh dari laman Facebook.

Our Education System

Hmmmm… padahal setiap anak didik itu unik, jadi sebenarnya tidaklah fair kalau kita memperlakukannya sama. Menilai anak didik dari satu jenis kecerdasan saja tidaklah adil. Kecerdasan itu banyak macamnya (multiple intelligence), ada kecerdasan matematik, kecerdasan bahasa, kecerdasan spasial, kecerdasan musik, dan lain-lain (lebih lengkap tentang multiple intelligence dapat dibaca di sini). Namun di dalam masyarakat kita, kecerdasan anak itu cenderung dinilai hanya dari kecerdasan matematik saja. Anak yang tidak pintar matematika dianggap anak yang bodoh, padahal mungkin saja kecerdasannya bukan pada sapek itu. Banyak orangtua yang memaksa anaknya ikut les matematika, les Kumon, dan lain-lain agar anaknya jago matematika, padahal minat dan bakat si anak boleh jadi ke arah yang lain.

Sistem pendidikan yang baik adalah yang menggali kecerdasan setiap anak sesuai bakat atau telantanya. Sayangnya model pendidikan seperti ini belum mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah. Mungkin banyak faktor penyebabnya (misalnya jumlah penduduk yang besar), tetapi mungkin juga karena masih ada paradigma bahwa semua pelajaran harus diberikan kepada semua anak, tidak peduli anak tersebut suka atau tidak, tidak peduli cocok dengan kebutuhannya atau tidak. Akhirnya, seperti gambar di atas, semua anak dilihat (baca: dinilai) dengan cara yang sama yang sebenarnya tidak fair. Tidak fair karena untuk kemampuan anak yang bermacam-macam dianggap adil dengan menilainya hanya dari satu aspek kecerdasan saja.

Pos ini dipublikasikan di Pendidikan. Tandai permalink.

29 Balasan ke Seperti Inikah Sistem Pendidikan Kita?

  1. Mantoel Toeink berkata:

    Maaf, numpang nimbrung sedikit meluruskan saja, Pak Rinaldi. 😀

    Cuma mau meluruskan yang bagian yang Pak Rinaldi sebut “les Kumon”. Saya sendiri pernah mengikutinya sampai akhir (waktu SMP-SMA awal) dan menurut saya pribadi ada pandangan yang salah mengenai “les Kumon”.

    Kumon itu sebenarnya bukan suatu les matematika yang mengajari anak berhitung cepat, tapi sebenarnya melatih anak untuk menyelesaikan suatu persoalan matematika berdasarkan kemampuannya pada saat ini. Jadi Kumon itu tidak sama dengan sekedar les berhitung cepat dan supaya anak jadi pintar matematika.

    Ketika pertama kali masuk Kumon, saya juga dites penempatan dulu (mirip seperti tes penempatan kelas bahasa Inggris, kalau sistem kelas di tempat2 les bahasa Inggris masih seperti yang saya ketahui) dan percaya nggak percaya, waktu itu tingkat pemahaman saya akan matematika hanya setara dengan anak kelas 3 SD padahal saya waktu itu kelas 3 SMP.

    Baru berdasarkan hasil tes itu, anak-anak yang mengikuti Kumon akan diberi materi (soal2 utk dikerjakan di tempat kursus di hari yang telah ditentukan di tempat kursus tersebut dan juga untuk dikerjakan sebagai PR setiap hari di rumah). Saya ingat betul waktu itu pembimbing Kumon saya menekankan berulang kali bahwa bukan berarti saya goblok karena diberi soal setara kelas 3 SD, tapi memang pemahaman orang akan matematika itu berbeda-beda, tidak selamanya dapat sesuai mengikuti jenjang pendidikan formalnya.

    ==testimoni, tapi maaf kalo jatuhnya jadi kayak nyombong==
    Saya lulus Kumon waktu kelas 2 SMA. Apakah Kumon membantu pelajaran saya? Buat saya, iya. Karena ketika SMA kelas 3, kuliah TPB, dan semester sekian di kuliah, penjelasan integral, vektor, probabilitas, lebih gampang nyantolnya karena saya sudah pernah mengerjakannya di Kumon.

    Sistem Kumon itu bertujuan untuk melatih anak sehingga dapat mengejar ketertinggalannya bahkan melampaui tingkatan kelasnya sendiri (jika memang sesuai dengan kemampuan). Suatu metode “fit the shoes to the feet, not the feet to the shoes”.

    Dan sebenarnya metode Kumon itu menekankan disiplin dalam berlatih (itu sebabnya saya suka gemes dengan orangtua yang menganggap anaknya ikut Kumon itu semacam jalan pintas dapat nilai bagus di sekolahan). Setiap hari ada PR yang harus dikerjakan, dua kali dalam seminggu harus datang ke tempat kursus, memperbaiki PR yang salah, dsb. Jadi Kumon itu mengajarkan anak2 untuk bisa karena biasa, bukan bisa karena tahu jalan pintasnya.

    Maaf kalau ada salah bicara, Pak Rinaldi. Saya cuma berniat meluruskan saja. 😀

    ==tambahan==
    Di negara asalnya, Jepang, metode Kumon tidak hanya diikuti anak2 yang masih bersekolah, tapi juga para lansia. Untuk apa? Untuk menjaga otak mereka agar tidak cepat pikun dengan mengerjakan soal-soal matematika (yang mungkin levelnya dimulai dari level anak SD, tidak langsung level kuliah).

  2. finadamayanthi berkata:

    Pemerintah kita terlalu males bikin sistem pendidikan baru kali. Jadi semuanya serba disama ratakan… Sentilan sentilun yang menggugah. hehehe 😀

  3. Eko Purwono berkata:

    Kurikulum 2013 yang akan dilaksanakan dalam bulan Juni 2013 mendatang akan menyamaratakan isi pendidikan dasar dan menengah di seluruh Indonesia dengan kurikulum dan buku pelajaran yang sama yang datang dari pusat. Semoga Kurikulum 2013 yang persiapannya serba dadakan dan banyak berisi hal-hal kontroversial tidak diberi anggaran (yang membengkak) oleh DPR RI sehingga tidak jadi dilaksanakan, hingga dikaji lagi isinya.

  4. iraajummah berkata:

    jika sistem pendidikan negara kita tidak seperti gambar di atas, mungkin gak ada anak yang MERASA dirinya BODOH~~ hehe 😀

  5. ummu allegra berkata:

    Maka dari itu, di usia dini, seperti pendidikan setara tk dan sd, saya prefer homeschooling. Untuk tk dengan metode sentra “yang benar” (karena hari gini lebih banyak tk bermetode sok sentra2an) saya masih merasa bisa menitipkan anak. Namun apabila tk konvensional di mana jumlah muridnya aja 30-40 anak, aduh mendingan jangan deh, lebih baik ibunya yang homeschoolingkan. Kemudian sd jg dmikian,dg catatan ortu mau mempelajari gimana homeschooling yg fun supaya anak tertarik untuk belajar, dan bukan dipaksa atau di drilling untuk belajar. Kalau di finlandia, metode belajar sudah seperti itu sehingga walau terlihat paling santai, namun pendidikan dia saat ini katanya terbaik di dunia. Untuk ijazah sd bisa ambil kejar paket A. Untuk smp sma, kalau bisa homeschooling akan lebih baik. Namun jika pun terpaksa di sekolah formal, at least dia sudah punya pijakan di mana dia tahu apa yang dia mau karena dia benar2 mengerti keinginan dan kebutuhannya untuk belajar, jadi bukan karena dipaksa. Sebenarnya sampai usia 18 tahun itu masih tahap perkembangan otak, jadi memori2 yang tidak menyenangkan mudah terekam dan sangat berpengaruh terhadap bagaimana dia berperilaku di saat dewasanya…maka kita harus berhati2 memilihkan pendidikan bagi anak2 kita, coz they’re so special, tidak ada dua orang anak yang persis sama…

  6. nika berkata:

    Ada bbrp sekolah di indonesia yg sdh memfasilitasi perbedaan kemampuan murid, tetapi parameter penilaian yg digunakan masih belum tepat. Sehingga yg terjadi adl ketika segerombolan monyet yg dites panjat pohon, ada bbrp monyet yg tdk bs memanjat pohon, dinilai bukan monyet. Pdhl di luar sana, bbrp monyet tersebut sangat ahli berenang.

  7. royan berkata:

    Mungkin bagusnya ada semacam “education channel”. Ada fase talenting. Semua anak usia dini diberikan talent scouting dan talent mapping. Setelah fase talenting ada channeling. Setelah terpetakan bakatnya, seorang anak diarahkan ke sekolah yang khusus untuk mengasah bakatnya tersebut. Diisi teman-teman dengan bakat, passion yang sama. Juga diberikan Fase ketiga experting. Dalam fase ini terdapat mentor2 yang expert. Saya pikir dengan begini lebih humanis, sesuai bakat, antusiasme tinggi, more passion yang bisa jadi nantinya pendidikan Indonesia berisi University of Art, Junior University of Sport, dll.

  8. ariefcute berkata:

    setuju..dg adult competence-nya.

  9. Yu Li, Kwan berkata:

    Reblogged this on YK.

  10. silvether berkata:

    ijin share gambarnya,,,hehehe

  11. Doni berkata:

    Menurut saya, ini masih ada hubungan nya dengan ketersediaan variasi lapangan kerja di indonesia yang dihubungkan dengan kesetaraan gaji…mungkin sistem pendidikan berdasarkan profesi atau bidang yang diminati akan cocok untuk iklim indonesia jikalau sistem penggajian terhadap level pekerjaan tertentu pun jelas…

    Misalnya:

    gaji karyawan toko dengan gaji kuli bangunan dibuat menjadi sama…. Maka diharapkan pekerja akan memilih pekerjaan berdasarkan “minat” atau keahliannya… bukan seberapa besar gaji nya….

    Atau profesi dokter, guru dan pengacara mendapat gaji yang hampir setara….

    Berbeda jikalau mereka menjadi pengusaha atau entrepreneur…

    Jadi ketika kita kembali membicarakan mengenai pendidikan, apapun yang di “minati” oleh para pelajar setidaknya memiliki “Hulu” yang jelas kemana mereka akan bermuara…
    Selama ini orang tua memaksakan anaknya untuk mendalami suatu hal dikarenakan sistem pendidikan yang menurut saya mengikuti ketersediaan lapangan pekerjaan….

    Banyak ahli di Indonesia yang mungkin berjuang terhadap “minat” nya namun belum tentu ia adalah seorang yang mau menjadi “pengusaha” yang dapat membuka peluang bagi mereka yang memiliki “minat” yang sama dalam hal tersebut.

    Mereka adalah hasil dari sistem pendidikan dan apapun yang diminati…. sementara “wadah” nya atau lapangan kerja nya belum tentu ada….

    sistem pendidikan memang penting, namun perlu diimbangi ketersediaan lapangan kerja….

    Jikalau tidak hulu, kemana air akan bermuara….? yang ada membanjiri tempat-tempat yang tidak semestinya….

    lulusan filsafat jadi public relation…. lulusan akutansi tapi punya minat jadi guru tk… lulusan pertanian jadi pegawai bank….

  12. Rizki berkata:

    Bagaimana cara meneladani Nabi Muhammad Saw dlm segi mendidik sahabat2nya yg beratus2 macam karakter yang berbeda2 akan ttp sahabat2nya tdk pernah bertengkar dan teori penyampaian pendidikan beliau pas sesuai kadar kemampuan kpd masing sahabat2 shngga islam kmudian menjadi kokoh dn kuat…. ada tipe2 sahabat yg disuruh menjadi pedagang, ad yg disuruh melakukan byk2 ibadah sholat, ad juga yg disuruh pergi ke gunung2 utk menjadi penggembala domba,, dsb

    jk nilai2 perilaku Nabi itu ditransfer kdlm sistem pendidikan modern apakah bisa? tentunya harus bisa…..
    Wallahu’alam

  13. Ping balik: Dunia Blog Indonesia – Bacaan Minggu Ini | My Digital Life Arena

  14. araaminoe berkata:

    buat asmie, betul banget masing-masing anak adalah masing-masing individu, jika kita terjebak dalam sistem besar seperti ini, maka kenapa tidak kita ciptakan sendiri sistem yang terbaik buat mereka [setidaknya berasal dari rumah] maka peranan orang tua sangat lah diperlukan. 😀
    Insyaallah bisa kok..

  15. ranggaym berkata:

    mantap pak!
    memang, sistem pendidikan negeri masih perlu perbaikan.

  16. siti rahmah berkata:

    weleh….weleh,,,,,,jadi opo generasi kita selanjutnya nanti?pendidikan karakter diterapkan karena krisis kepribadian,tapi bagaimana dengan UN yang tak pernah jujur dan adil,penuh kebohongan serta kecurangan demi nilai tinggi menjaga gengsi.guru yang jujur ditendang keluar angkasa agar tak pernah jadi masalah dalam pendidikan berbasis kebohongan!

  17. Abu Farah Al Makassary berkata:

    Sistem pendidikan yang baik hanyalaha Islam..Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar sebagaimana kebutuhan terhadap makan, minum, pakaian, rumah, kesehatan, dan sebagainya. Negara wajib menjamin pendidikan yang bermutu bagi seluruh warga negara secara gratis hingga perguruan tinggi dengan fasilitas sebaik mungkin (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islamiyah, hlm. 283-284).
    Secara struktural, kurikulum pendidikan dalam Khilafah Islam dijabarkan ke dalam tiga komponen materi pokok: (1) pembentukan kepribadian Islam; (2) penguasaan tsaqafah Islam; (3) dan penguasaan ilmu kehidupan (iptek, keahlian dan keterampilan). Kurikulum ini diikuti dengan berbagai kebijakan negara yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Salah satu kebijakan penting dalam hal ini adalah terkait biaya pendidikan yang murah bahkan gratis. Dalam Islam, negara wajib menyediakan pendidikan murah atau bebas biaya kepada warga negaranya, baik Muslim maupun non-Muslim, agar mereka bisa menjalankan kewajibannya atau memenuhi kebutuhan primer mereka, yaitu pendidikan. Rasulullah saw. bersabda:
    Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

    • kingdede berkata:

      Hmm..
      Bisa lebih terperinci, Akh?
      Struktur kurikulumnya bagaimana? Prosesnya seperti apa?
      Kalau saya lihat komentar Akh diatas sudah umum digunakan kader2 deh.

  18. Omy Lombok berkata:

    Arah pendidikan kita enggak jelas, mentri ganti maka gantilah sistim pendidikan kita, nah kalau mentrinya diganti setiap tahun guru-guru bagaimana ngajarnya ya ?

  19. Ping balik: Seperti Inikah Sistem Pendidikan Kita? | Catatanku | upiw's Blog

  20. tjonglingie berkata:

    Sebagai orang tua saja sy merasakan beban berat anak saya di kelas 10 (sma swasta bandung) dengan 19 matapelajaran, Dimana penilaian terdiri dari penilaian kognitif, psikomotor, akhlak mulia & kepribadian, tetapi yg menentukan kenaikan kelas adalah penilaian kognitif, lantas untuk apa penilaian yg lain nya bila hanya patokan angka saja yang dipakai (kognitif). Adanya kesempatan ‘remedial’ seolah2 anak hanya diajaraan untuk mengemis kepada masing2 guru pelajaran ybs, Dimana dgn berbagai macam karakter guru nya masing2. Sebenarnya dunia pendidikan kita, siswa2 nya hanya kurang di bidang “critical thinking” yang sangat perlu untuk diasah, bukan hanya dijejali berbagai macam bidang pelajaran tanpa pemahaman yang mendalam di tiap bidangnya. Saya hanya berharap sekolah2 disadarkan, jangan hanya terpatok pd penilaian angka saja, pemilahan siswa2 (kelas unggulan… kelas prestasi…), yg hrs lebih diperhatikan masalah2 dalam kesehatan mental anak2… bagaimana pd saat anak dewasa dapat menerapkan apa yg di dapat di sekolah (TK, SD, SMP, SMA) dikehidupan nya kelak.

  21. pamanAPIQ berkata:

    Artikel yang sangat bagus.

    Khusus mengenai les Kumon memang dilematis kan?
    Di satu sisi setiap anak unik.
    Di sisi lain materi standar sama semua.

    Lebih heboh lagi berapa devisa yang harus dibayarkan Indonesia ke Jepang?
    Hitungan kasar saya sekitar 1 juta dolar harus keluar dari Indonesia tiap bulannya.
    Bisa untuk memperbaiki pendidikan Indonesia uang 1 juta dolar tiap bulan.

    Terima kasih…

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.