Bapak Penjual Tahu Sumedang (2)

Tahuuu…..

Setiap pagi bapak penjual tahu sumedang lewat di depan rumah saya. Dia memikul dua buah ketiding bambu (apa ya Bahasa Indonesianya?). Satu ketiding berisi penuh tahu goreng, satu ketiding lagi berisi lontong. Di kota besar seperti Bandung masih cukup banyak pedagang yang berjualan makanan dengan cara dipikul secara tradisionil pada bahu seperti itu.

tahu1

Selain tahu dan lontong, dia juga menambah jualannya dengan membawa telur asin, kerupuk-keripik, dan camilan-camilan lain dari Sumedang. Sesak sekali pikulannya. Tentu berat sekali.

+ Wah, berat sekali ini, Pak. Berapa kilo berat semuanya?
Awalnya 40 kg, tapi berkurang terus setiap ada yang beli.
Sudah berapa tahun jualan seperti ini, Pak?
+ Sudah 30 tahun lebih pak, sejak Antapani ini masih sawah-sawah, belum perumahan seperti sekarang.

Tahu yang dijualnya didatangkan langsung dari Sumedang. Sumedang terkenal dengan tahunya yang khas. Tahu-tahu itu dipasok dari juragan tahu di Sumedang. Dia hanya menjualkan saja secara keliling, masuk kampung keluar kampung. Tapi dia memang tinggal di Sumedang, bolak balik ke Bandung.

+ Dari Sumedang ke Bandung naik apa, Pak?
Naik colt buntung, Pak
+ Kalau tahunya tidak habis dalam satu hari bagaimana?
Kalau tidak habis saya menginap dulu di mess yang disediakan juragan.

Juragan tahu menyediakan mess bagi penjual tahunya di daerah Bandung Timur. Para penjual tahu menginap di sana. Setiap pagi pasokan tahu goreng datang langsung dari Sumedang. Seminggu sekali mereka pulang ke Sumedang membawa penghasilan berjualan tahu, kemudian kembali lagi ke Bandung. Profesi ini sudah dilakoninya selama 30 tahun! Itu artinya sejak saya datang ke kota Bandung ini.

Saya sampai hampir lupa membeli tahunya karena asyik mengobrol.

+ Berapa harga tahunya, Pak?
Biasa, sepuluh lima ribu.
+ Saya beli dua puluh ya

Tahu Sumedang dan uang sepuluh ribu berpindah tangan. Cocok untuk teman sarapan pagi dengan nasi hangat.

tahu2

Saya selalu bersimpati kepada orang-orang kecil yang gigih mencari nafkah secara halal. Betapa berat beban yang dia pikul, tetapi keikhlasan tampak di matanya. Orang-orang seperti ini berjuang mencari rezeki untuk keluarga yang ditinggalkannya.

Saya jadi teringat almarhum ayah saya. Setiap hari, usai sholat Subuh, ia berjalan kaki menuju terminal bus. Bapak saya adalah penjual daging sapi. Daging sapi itu dibelinya di luar kota, awalnya di Lubuk Alung, lalu di Padangpanjang, kemudian di Bukittinggi. Daging-daging segar itu dibeli di sana, lalu dibawa lagi ke Padang sebelum hari siang dengan menggunakan bus umum. Di Padang daging sapi itu dijual ke pedagang sate atau dijual ke pedagang daging di los  Pasar Raya Padang.

Hal itu dilakukannya setiap hari untuk nafkah keluarga kami, tidak peduli hari hujan sekalipun subuh-subuh ayah saya sudah berangkat dari rumah. Dari perbedaan harga beli dan harga jual itulah ayah saya mendapat sedikit keuntungan membiayai sekolah saya dan kakak-kakak saya, hingga saya bisa berkuliah di Bandung. Saya bisa seperti sekarang adalah karena perjuangan ayah saya yang rela berjualan setiap hari. Alfatihah buat almarhum ayah dan ibu saya. Amiin.

Pos ini dipublikasikan di Romantika kehidupan. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.