Makan Sate Padang Dulu, ah…

Siapa yang tidak kenal sate padang? Sate yang di Padang/Sumbar sendiri tidak diberi embel-embel kata ‘padang’, tetapi lebih sering memakai label ‘sate pariaman’ karena kebanyakan pedagangnya berasal dari daerah Pariaman (sebuah kabupaten di Sumbar). Di Sumatera Barat sendiri setiap daerah punya kekhasan sate masing-masing. Ada sate padangpanjang, sate bukittinggi, sate pasaman, dan sate pariaman.

Gerobak sate padang. Kata ‘padang’ adalah nama generik untuk semua jenis sate masakan minang.

Meskipun sate dari daerah Sumbar punya kekhasan masing-masing, tetapi tetaplah mereka mempunyai ciri yang sama: dagingnya dari daging sapi, direbus terlebih dahulu bersama bumbu-bumbu hingga empuk. Pemanggangan hanya sebentar saja sebab daging sudah matang, pemanggangan di atas bara api bertujuan untuk membuat sensasi rasa harum dari asap pembakaran sehingga menimbulkan aroma yang merangsang air liur.

Satu lagi yang sama, dan membedakannya dengan sate daerah lain yang dimakan dengan bumbu saus kacang, sate padang disiram dengan bumbu kuah kental yang berwarna kuning kecoklatan hingga kemerahan. Bumbu kuah ini terbuat dari tepung beras yang dimasak dengan kaldu daging, bumbu terdiri dari kunyit (yang membuat warnanya menjadi kuning), bawang, cabe (supaya pedas), dan lain-lain. Untuk menikmati sate padang maka temannya adalah ketupat.

Sate padang ada di mana-mana. Di kota Bandung ini banyak pedagang sate padang, baik yang berkeliling maupun yang mangkal di tempat. Kalau saya mau makan sate, saya biasanya selektif, karena kebanyakan dagingnya dari jantung sapi atau lidahnya. Saya tidak suka makan lidah atau jantung, gimana gitu membayangkannya meski bagi sebagian orang lain enak. Selain jantung dan lidah, ada juga jeroan usus. Pedagang memakai bahan dari jantung, lidah, dan jeroan usus mungkin karena harganya lebih murah daripada daging. Tidak banyak pedagang sate padang menyediakan murni daging, kalaupun dari daging kebanyakan dagingnya bagaleme (bahasa minang, artinya gajih atau lemak).

Salah satu langganan sate padang yang memenuhi spesifikasi saya (daging murni) adalah sate di rumah makan kapau di jalan Dipati Ukur (samping ITHB). Dagingnya besar-besar, satu porsi Rp12.000 sudah pakai ketupat. Selain daging murni, ada juga berbahan jantung, lidah, dan usus, tetapi dipisah letaknya sehingga konsumen bisa memilih.

Daging sate siap dipilih

Ini sate padang khas Bukittinggi, karena dagingnya dilumuri parutan kelapa. Saya tahu itu khas Bukittinggi karena sewaktu saya jalan-jalan di Pasar Bawah Bukittinggi (samping Jam Gadang) banyak pedagang sate yang daging satenya dilumuri parutan kelapa.

Saya beli setengah porsi saja (biar nggak terlalu banyak mengkonsumsi daging merah) yang harganya Rp7000. Setengah porsi ada empat tusuk sate, kalau satu porsi dagingnya delapan tusuk.

Daging sate dibakar dulu

Setelah dibakar kira-kira lima menit lamanya, daging sate dicelupkan ke dalam kuah kental agar bumbu kuah meresap.

Sate dibenamkan ke dalam panci kuah kental

Setelah itu ketupat dan sate disiram kuah kental tadi, lalu ditaburi bawang. Hmmm… baunya enak dan siap untuk dibawa pulang.

Mau?

Mau?

Pos ini dipublikasikan di Makanan enak. Tandai permalink.

2 Balasan ke Makan Sate Padang Dulu, ah…

  1. Sutan Pamuncak berkata:

    ambo mau cari sate padang kuah kacang di jakarta, tapi indak pernah dapat. Sate kuah kacang ini hanya kita dapek di Bukittinggi. Sate mak malin di kubang putiah sabana lamak

  2. Sutan Pamuncak berkata:

    Oi mak Ajo Ramon, Ajo Manih atau mak Syukur, tolonglah dimasak sate kuah kacang di batawi iko. Banyak nan suko orang awak itu mah….

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.