Hari-hari ini negara Amerika Serikat dilanda aksi gelombang unjuk rasa besar-besaran di seluruh negara bagian setelah tewasnya warga kulit hitam bernama George Floyd pada tanggal 25 Mei 2020. George Floyd, seorang lelaki Afrika-Amerika, tewas setelah seorang polisi Minneapolis berkulit putih Derek Chauvin menginjak dengan lutut di leher Floyd selama setidaknya tujuh menit.
Dalam video-video yang dikirim ke grup media sosial aksi runjuk berubah menjadi aksi kerusuhan, pembakaran, dan aksi penjarahan toko-toko dan supermarket. Situasi di Amerika menjadi chaos. Masyarakat Amerika menumpahkan kemarahannya atas aksi rasisme yang tidak pernah kunjung berhenti sejak negara itu berdiri, terutama menimpa warga kulit hitam dan kulit berwarna lainnya.
Rasisme sudah lama berlangsung di banyak negara, tidak hanya di Amerika saja. Rasisme, terkadang disebut juga rasialisme, memandang ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya. Misalnya bangsa kulit putih memandang lebih tinggi derajatnya dari bangsa kulit hitam, bangsa Yahudi merasa lebih unggul dari bangsa lain. Meskipun dunia sudah modern namun tindakan-tindakan merendahkan orang lain karena perbedaan biologis yang melekat pada diri orang lain masih berlangsung hingga saat ini.
Berkaca dari kasus George Floyd di AS, 1400 tahun yang lalu Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan kepada ummat manusia bahwa kemuliaan manusia di hadapan Allah SWT hanya dilihat dari ketaqwaannya, bukan dari segi ras, warna kulit, suku, maupun atribut identitas lainnya seperti harta, kecantikan, dan sebagainya.
Dalam khutbah terakhir Rasulullah saat wukuf di Padang Arafah tanggal 9 Zulhijjah tahun 10 H (atau tahun 632 M), Rasulullah melarang keras segala bentuk rasisme. Beliau mengatakan bahwa semua manusia berasal dari Adam dan Hawa, orang Arab tidak memiliki keunggulan dibandingkan orang non-Arab, orang non-Arab tidak memiliki keunggulan dibandingkan orang Arab. Begitu pula orang kulit putih tidak memiliki kelebihan dibandingkan orang kulit hitam, demikian pula sebaiknya. Orang yang lebih mulia di sisi Allah dinilai adalah orang yang paling bertaqwa.
Berikut kutipan dari khutbah Rasulullah yang bunyinya kira-kira sebagai berikut:
“Wahai manusia, Tuhanmu hanyalah satu dan asalmu juga satu. Kamu semua berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Keturunan, warna kulit, bangsa tidak menyebabkan seseorang lebih baik daripada yang lain. Orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling takwa. Orang Arab tidak lebih mulia daripada yang bukan Arab, sebaliknya orang bukan Arab tidak lebih mulia daripada orang Arab. Begitu pula orang kulit berwarna dengan orang kulit hitam dan sebaliknya orang kulit hitam dengan orang kulit berwarna, kecuali karena takwanya.”
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad:
“Wahai sekalian umat manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu satu (esa). Nenek moyangmu juga satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa selain Arab (Ajam), dan tidak ada kelebihan bangsa lain (Ajam) terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah (puith) terhadap yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan yang berkulit hitam dengan yang berkulit merah (putih), kecuali dengan taqwanya”. (HR. Ahmad, 22978).
Di dalam surat Al-Hujarat Allah SWT berfirman bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa bukan untuk saling bermusuhan, tetapi untuk saling mengenal. Orang yang paling mulai di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang pria dan wanita, dan menjadikanmu berbagai bangsa dan suku agar saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa, sesungguhnya Allah Maha Tahu lagi waspada” (QS. al-Hujarat,49: 13).
Malcolm X, seorang pemimpin warga kulit hitam Amerika yang berjuang melawan rasisme di Amerika tahun 1950-an dan 1960-an, pada bulan April 1964 menunaikan ibadah haji. Malcolm X yang bernama asli Malik El-Shabazz berteman baik dengan pendeta Martin Luther King, Jr. Di Tanah Suci Mekah dia mendapatkan pengalaman luar biasa yang belum pernah dia rasakan di Amerika. Ia terkejut dengan kesetaraan manusia di Tanah Suci. Jamaah haji dengan beragam warna kulit dan ras datang dari segala penjuru bumi. Mereka duduk, makan bersama-sama, dan beribadah bersama-sama tanpa ada perbedaan.
Dari tanah suci Makkah Malcolm X menulis sepucuk surat kepada para sahabatnya di Harlem, New York. Berikut ini adalah isi surat itu, seperti dikutip dari sini:
“Belum pernah saya menyaksikan keramahtamahan yang tulus dan semangat persaudaraan yang luar biasa seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang dari semua warna kulit dan ras di sini, di Tanah Suci ini yang merupakan rumah Abraham (‘alaihi salam), Muhammad (ﷺ) dan semua Nabi Suci lainnya. Selama sepekan ini, saya tak bisa berkata sepatah kata pun karena terpesona oleh keanggunan orang-orang dari semua warna kulit yang tampak di sekitar saya.”
“Saya telah diberkahi untuk mengunjungi Kota Suci Makkah. Saya mengelilingi Ka’bah (tujuh kali), dipimpin oleh seorang Mutawaf muda bernama Muhammad. Saya minum air dari sumur Zam Zam. Saya berlari tujuh kali antara bukit Al-Safa dan Al-Marwah. Saya berdoa di kota kuno Mina, dan saya berdoa di Gunung Arafat.”
“Ada puluhan ribu peziarah dari seluruh dunia. Mereka berasal dari semua warna kulit, dari yang pirang bermata biru hingga orang Afrika berkulit hitam. Tapi kami semua menunaikan ritual yang sama, menunjukkan semangat persatuan dan persaudaraan. Hal ini membuat saya percaya bahwa tidak akan pernah ada perbedaan antara yang putih dan yang bukan putih.”
“Amerika perlu memahami Islam, karena ia adalah satu-satunya agama yang menghapus masalah ras dari masyarakat. Sepanjang perjalanan saya di dunia Muslim, saya telah bertemu, berbicara, dan bahkan makan bersama orang-orang yang di Amerika dianggap kulit putih – namun perilaku kulit putih (yang biasanya terlihat di Amerika) terhapus dari pikiran mereka oleh ajaran Islam. Saya belum pernah melihat persaudaraan yang tulus dan sejati ditunjukkan oleh semua warna kulit seperti yang saya saksikan di Tanah Suci.”
“Anda mungkin terkejut dengan kata-kata yang datang dari saya. Namun selama perjalanan ini, apa yang saya lihat dan alami, membuat saya harus menata ulang banyak pola pikir yang sebelumnya saya pegang, dan membuang beberapa kesimpulan saya sebelumnya. Hal tidak terlalu sulit bagi saya. Terlepas dari keyakinan saya, saya selalu menjadi orang yang mencoba menghadapi fakta, dan menerima kenyataan hidup sebagai pengalaman dan pengetahuan baru. Saya selalu tetap berpikiran terbuka agar bisa mendapat kelenturan yang harus berjalan seiring dengan setiap bentuk pencarian demi kebenaran.”
“Selama sebelas hari di dunia Muslim ini, saya makan dari piring yang sama, minum dari gelas yang sama, dan tidur di alas yang sama – sembari berdoa kepada Tuhan yang sama – bersama dengan seluruh Muslim, yang matanya paling biru dari yang biru, yang rambutnya paling pirang dari yang pirang, dan yang kulitnya paling putih dari yang putih. Dalam setiap kata dan perbuatan Muslim kulit putih, saya merasakan ketulusan yang sama dengan apa yang saya rasakan di antara Muslim Afrika kulit hitam dari Nigeria, Sudan dan Ghana.”
“Kami benar-benar sama (bersaudara) – karena kepercayaan mereka pada satu Tuhan telah menghilangkan dominasi kulit putih dari pikiran mereka, perilaku mereka, dan dari sikap mereka.”
“Dari gambaran ini, saya pikir mungkin jika orang kulit putih Amerika dapat menerima Keesaan Tuhan, maka mungkin juga, mereka dapat menerima kenyataan bahwa manusia itu sama – sehingga mereka tidak akan lagi menilai, menghalangi dan menyakiti orang lain karena perbedaan warna kulit.”
“Dengan rasisme yang menjangkiti Amerika seperti kanker yang tidak dapat disembuhkan, hati orang kulit putih ‘Kristen’ harus lebih menerima solusi yang telah terbukti menyelesaikan masalah destruktif seperti itu. Mungkin ini saatnya menyelamatkan Amerika dari bencana yang akan segera terjadi – kehancuran yang disebabkan oleh rasisme yang digaungkan Jerman namun akhirnya meluluhlantakkan bangsa itu sendiri.”
“Setiap jam di sini, di Tanah Suci memungkinkan saya untuk mendapatkan wawasan spiritual yang lebih besar tentang apa yang terjadi di Amerika antara hitam dan putih. Negro Amerika tidak pernah dapat disalahkan karena permusuhan rasial – mereka hanya bereaksi terhadap empat ratus tahun rasisme kulit putih Amerika. Namun ketika rasisme mengarahkan Amerika ke jalan bunuh diri, saya percaya, dari pengalaman yang saya miliki dengan mereka, bahwa kulit putih dari generasi muda, di perguruan tinggi dan universitas, akan melihat catatan di dinding dan banyak dari mereka akan beralih ke jalan spiritual kebenaran – satu-satunya cara yang tersisa bagi Amerika untuk mencegah bencana akibat rasisme.”
“Belum pernah saya merasa sangat terhormat. Tidak pernah saya dibuat merasa lebih rendah hati dan tak ada artinya. Siapa yang akan percaya pada keberkahan yang dianugerahkan pada seorang Negro Amerika? Beberapa malam yang lalu seorang pria – yang di Amerika disebut kulit putih – yang merupakan diplomat PBB, seorang duta besar dan pendamping raja, memberikan kamar hotel dan tempat tidurnya untukku. Saya bahkan tidak pernah terpikir untuk bermimpi akan menerima penghargaan seperti itu – penghargaan yang di Amerika hanya akan diberikan kepada seorang raja – bukan seorang Negro.”
“Segala puji bagi Allah (ﷻ), Tuhan semesta alam.”
“Salam hormat,”
“Haji Malik El-Shabazz (Malcolm X)”
Demikianlah, Nabi Muhammad mendorong manusia untuk berjuang melawan rasisme. Rasisme merupakan sumber penyebab kesombongan di dalam diri manusia. Saat dunia semakin beragam dan saling berhubungan, sangat penting bagi kita untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW tentang kesetaraan dan keadilan di antara umat manusia. Tidak ada manusia yang merasa lebih baik dari manusia lainnya hanya karena perbedaan ras, etnik, maupun atribut fisik lainnya. Semua sama di hadapan Allah SWT, karena Allah yang menciptakan semua manusia. Yang membedakan manusia di hadapan Allahnya hanya dari segi iman taqwa saja.
Keren Da….